Ada sebuah keprihatinan yang menggurat begitu dalam, setiap kali saya berkesempatan membaca beberapa komentar "kontroversi" di rubik media-media Islam. Entah itu disadari atau tidak, mereka telah terjebak dalam perselisihan tak berujung, dan dapat dilhat ego masing-masing begitu terasa mengambil peranannya.
Padahal bukankah setan itu suka menimbulkan perselisihan? Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah ini artinya dengan sukses setan telah menjebak mereka? Astaghfirullahal’adzim….
Tidak ada yang salah kita berargument pada suatu topik yang menurut kita perlu di tanggapi, tapi akan serasa menjadi masalah kalau argument kemudian berubah menjadi sentiment.
Dan saya, serta barangkali yang lainnya yang membaca komentar-komentar itu, ketika satu sama lain saling menyerang dan membanggakan diri, sebuah kesempatan diskusi yang seharunya bisa dibuat konstruktif, kemudian dijadikan ajang saling mengolok, hanya bisa ketar-ketir miris, sambil melesatkan tanya tak berkesudahan; inikah pengikut agama rahmat itu?
Saya bukanlah orang yang hapal dengan banyak ayat Al Qur’an dan hadist Nabi saw. Namun, sebuah ayat yang saya pelajari ketika masih kelas dua Aliyah, cukup memberi gambaran jelas, tentang larangan mengolok-olok suatu kaum/golongan/manusia. Karena boleh jadi, yang diolok-olok ternyata lebih baik dari yang mengolok-olok (Al Hujarat;11).
Belum terjawab pertanyaan saya yang sebelumnya, pertanyaan berikutnya muncul; Apakah mereka lupa dengan kalimat "Wallahu’alam bisahawab" ? Bukankah kebenaran itu mutlak hanya milik Allah swt, bukankah hanya Allah yang maha tahu kebenarannya? Sementara kita hanya pembela dan pengikut kebenaran. Bukankah para ulama’-ulama’ besar pun dikenal sangat berhati-hati dalam berpendapat, sehingga dengan sadar megatakan "Wallahu’alam bishawab"?
Kalimat inikah yang ditinggalkan sehingga dengan begitu mudah menghakimi pendapat bahkan pribadi orang lain? Astaghfirullahal’adzim… ampuni keangkuhan ini ya Rabb !
Barangkali, masih banyak yang harus dievaluasi pada diri kita, terlebih pada niat kita. Jika meyakini pada suatu kebenaran, maka harusnya disampaikan dengan cara yang akhsan. Bukan terlihat memaksa ingin menang sendiri. Seolah, petunjuk itu adalah hak kita. Padahal jelas, Allahlah yang memberi petunjuk, Allahlah yang membolak-balikkan hati setiap kita. Kita, mutlak berada dalam genggamanNya.
Jika demikian adanya, bahwa Allah swt adalah pemberi petunjuk. Mungkinkah dua orang atau lebih yang baru saja saling berbangga diri, saling mengolok-olok dan saling mengklaim benar dengan cara yang dituangkan dengan akhlak yang tidak akhsan, juga menunjukkan kekesalan pada lawan bicara, yang terlihat dari gaya bahasa dan tanda tulisan seperti tanda tanya dan tanda seru rangkap banyak akan saling legowo mendoakan setelahnya ? Sementara jelas hidayah Allah swt adalah penentu di akhirnya, bukan keluasan ilmu kita, bukan mahirnya cara penyampaian empatik kita.
Dan pagi ini, alunan pembukaan surat Luqman cukup menyentak perhatian saya.
Alif laam miim…
Inilah ayat-ayat Al Qur’an yang mengadung hikmah
Sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikkan
Yaitu orang-orang yang melasanakan shalat, menunaikan zakat dan mereka meyakini adanya akhirat
Merekalah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan merekalah orang-orang yang beruntung
Mari kita evaluasi diri masing-masing, benarkah saat ini setiap kita tetap dalam petunjuk yang Allah swt maksud? Mulai dari bagaimana kita mendirikan shalat, bagaimana kita menunaikan zakat dan bagaimana kita meyakini adanya akhirat, dengan keyakinan bahwa semua yang kita lakukan dengan detail akan dimintai pertanggung jawaban, meski mungkin hanya kata "ah" untuk saudara kita yang lain.
Dan sebuah kata-kata bijak menguntai di akhir tulisan ini, yang saya dapatkan dari note seorang teman :
Aku khawatir terhadap suatu masa
yang rodanya dapat menggilas keimanan.
Keyakinan hanya tinggal pemikiran,
yang tak berbekas dalam perbuatan.
Banyak orang baik tapi tak berakal,
ada orang berakal tapi tak beriman.
Ada lidah fasih tapi berhati lalai,
ada yang khusyuk tapi sibuk dalam kesendirian.
Ada ahli ibadah tapi mewarisi kesombongan iblis.
Ada ahli maksiat yang rendah hati bagai sufi.
Ada yang banyak tertawa hingga hatinya berkarat
Dan ada yang banyak menangis karena kufur nikmat.
Ada yang murah senyum tapi hatinya mengumpat
Dan ada yang berhati tulus tapi wajahnya cemberut.
Ada yang berlisan bijak tapi tak memberi teladan
Dan ada pelacur yang tampil jadi figur.
Ada orang berilmu tapi tak paham,
ada yang paham tapi tak menjalankan.
Ada yang pintar tapi membodohi,
ada yang bodoh tak tahu diri.
Ada orang beragama tapi tak berakhlak
Dan ada yang berakhlak tapi tak bertuhan.
Lalu di antara semua itu di mana kita berada?
Wallahu’alam bishawab…
***
/rf_Ya Allah, tunjukkan kami ke jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang Engkau murkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Aamiin…
Rifa ([email protected])