SEBAGAI mantan jendral Polri, saya kaget ada pembredelan media, apalagi jumlahnya sekaligus sampai 22 media. Lebih kaget lagi, ke-22 media yang dibredel itu adalah media Islam, yang konon alasannya radikal atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Saya minta Kominfo jangan gegabah!
Di era reformasi segala bidang, termasuk bidang hukum dan informasi media cetak, elektronik, cyber media, tidak boleh asal bredel dan asal blokir. Apalagi untuk masalah yang dianggap sensitif radikal. Harus dikaji secara mendalam dulu dengan bukti dan alat bukti yang terukur, bukan cuma pesanan.
Belum jelas apa alasan pastinya. Meskipun pemerintah mengatakan tindakan itu adalah pemblokiran. Tapi menurut saya, nantinya adalah pembredelan. Sesuai UU Pers Nomor 40/1999, seharusnya sudah tidak boleh ada pembredelan lagi.
Berbeda dengan pemblokiran situs pornografi yang pembuktiannya sangat mudah dan terukur. Sedangkan masalah akidah sangat kompleks dan rumit. Karena itu, jika akan memblokir atau membredel situs media-media agama, Kominfo jangan gegabah. Tidak boleh pembredelan dilakukan hanya atas laporan satu lembaga tertentu. Harus melalui kajian mendalam dan melibatkan beberapa lembaga yang berkompeten, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), perwakilan Ormas-ormas Islam, dan pakar-pakar Islam.
Saya juga baca di sebuah media on line, Humas BNPT Irfan Idris mengatakan, penutupan situs-situs media Islam itu disebabkan mereka suka menghina dan menjelek-jelekkan Jokowi. Jadi, itu sebabnya? Bukan karena pro ISIS?
Nah, kalau begitu berarti sudah bergeser dari surat permintaan resminya? Bukankah surat resmi BNPT ke Kementerian Kominfo karena media-media Islam itu pro ISIS? Kenapa sekarang Irfan mengatakan karena sering menjelek-jelekkan Jokowi?
Menurut saya, BNPT salah besar kalau seperti itu. Karena jkia masalahnya menjelek-jelekkan Jokowi, jelas itu bukan ranah tugas BNPT. Lagi pula, kalau media menyuguhkan fakta yang sebenarnya, apa itu berarti menjelek-jelekkan?
Saya heran, di era Jokowi hukum kok jadi demikian runyam. Ada apa? Apa yang terjadi? Apa dia tidak tahu, bahwa membredel media sekarang sudah dilarang UU? Lagi pula, kalau pun ada media yang melanggar, pemblokiran atau pembredelan harus melalui keputusan pengadilan. Tidak boleh membredel, memblokir atau membrangus media semaunya sendiri. (*)
Jakarta, 1 April 2015
Ttd
Irjenpol (Purn) Anton Tabah,
Komisi Hukum MUI Pusat, Pembina Perhimpunan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI)
Mobile: 0813 1044 8282