Oleh : Abu Rasyidah (Aktivis Gerakan Kontemporer Indonesia)
Sikap penolakan Prabowo atas hasil pilpres pasca release resmi hasil riil qount oleh KPU menyisakan beberapa pertanyaan.
Pertama, sebelumnya menjelang penghitungan akhir riil qount 22 Juli, kedua kubu baik Jokowi maupun Prabowo difasilitasi ketemu dengan beberapa tokoh diantaranya Habibie dan SBY. Meski pertemuan itu bersifat tertutup dan tidak jelas agenda apa yang dibicarakan. Namun opini media yang berkembang adalah kedua kubu sepakat untuk bisa menerima hasil pilpres secara damai.
Kedua, langkah Prabowo menolak hasil perhitungan riil qount tidak menggunakan mekanisme gugatan ke Mahkamah Konstitusi, menurut beberapa pakar hukum berpotensi diancam hukuman kurungan penjara 4-6 tahun. Benarkah ini murni sebagai sebuah ekspressi tindakan melawan hukum sebagai wujud ketidakpercayaan terhadap mekanisme hukum dalam konteks pilpres ? Ataukah sebagai trik politik untuk meningkatkan tawar menawar politik ?
Terlalu lugu menafsirkan setiap sikap politik yang ditampilkan oleh para elit politik atau penguasa saat ini murni benar-benar berangkat dari idealisme ideologis. Sebagaimana kita pahami, kultur politik dalam bingkai Demokrasi di negeri ini meniscayakan perilaku politik pragmatis. Apalagi penyampaian sikap politik Prabowo dihadiri oleh para pentolan elit politik seperti Aburizal Bakrie, Akbar Tanjung, Joko Santoso dll. Dan Mahfudz MD menyampaikan di beberapa media bahwa tokoh yang memiliki pengaruh besar mendorong sikap politik Prabowo itu adalah Akbar Tanjung.
Ketiga, jika sikap politik Prabowo itu dimaknai sebagai awal dari sikap oposisi. Maka sistem politik negeri ini tidak mengenal konsep oposan murni. Dan pengalaman oposisi bagi koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta tidak memiliki akar historis. Termasuk hampir semua parpol di negeri ini. Semua bisa fleksibel melihat arah angin kepentingan politik yang sarat dengan permainan kompromi politik. Kita melihat juga bahwa dalam proses perjalanan dukungan terhadap capres cawapres, dinamika internal partai pendukung Prabowo-Hatta begitu dinamis. Baik Demokrat, PPP, PAN maupun Golkar suaranya terbelah. Sebagian mendukung Prabowo-Hatta. Sebagian lagi mendukung Jokowi-JK. Mungkin hanya PKS sebagai satu-satunya parpol yang solid mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Ini berbeda dengan dinamika parpol pengusung dan pendukung Jokowi-JK. Apalagi sejak awal SBY kelihatan berseberangan dengan Prabowo karena faktor kesejarahan dan visi misi nasionalisasi sumber daya alam.
Alhasil menjelang Idul Fithri 1 Syawal ini penting direnungkan selain problem yang dihadapi dunia islam terutama saudara-saudara kita di Gaza Palestina, negeri ini menghadapi kenyataan politik selain profil parpol yang melahirkan para elit politik dan penguasa seperti di atas. Juga lahirnya presiden dan wakil presiden baru. Dewan perwakilan baru. Kabinet baru. Lembaga tinggi negara baru. Lembaga pemerintah yang baru. Tetapi tetap ditopang oleh sistem politik dan sistem ekonomi sebagai referensi kebijakan negara yang sama. Yakni sistem politik Demokrasi dan sistem ekonomi liberalis. Sebuah sistem yang memberi kerangka jalan mudah bagi intervensi dan penjajahan asing. Apalagi sosok Jokowi sangat dikenal sebagai sosok yang didukung oleh kepentingan asing dan aseng.
Berharap perubahan besar dan mendasar atas problem bangsa yang mendera negeri ini dari sekedar ganti rezim adalah sesuatu yang sangat utopis. Dari waktu ke waktu. Dari pergantian rezim ke rezim. Selalu berujung pada kekecewaan rakyat. Rakyat sebagai obyek eksploitasi aspirasi politik. Sekaligus rakyat sebagai korban dari kebijakan politik para elit. Perlu tidak hanya sekedar pergantian rezim tetapi juga pergantian sistem yang kompatible bagi referensi penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan negara agar menjadi lebih baik. Pilihannya adalah apakah menggunakan model sistem politik Demokrasi Liberalis, Sosialis Komunis atau Islam. Dan Islam adalah keyakinan mayoritas bangsa ini yang mengatur segala aspek kehidupan. Mulai dari A hingga Z. Mulai dari persoalan individu hinggan negara. Karena Islam yang memuat ajaran syariah, jihad dan khilafah diturunkan untuk kesempurnaan kehidupan manusia dan rahmat alam semesta. Allah Subhanahu Wa Ta’alla berfirman : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah kuridhoi Islam itu sebagai agamamu.” (QS. Al Maidah 3). Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah nikmat terbesar dari berbagai nikmat yang Allah berikan kepada umat ini. Yaitu Allah telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan agama yang lain dan juga tidak membutuhkan nabi selain nabi mereka, Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itulah, Allah menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan menjadikannya pula sebagai nabi yang diutus kepada seluruh manusia dan jin. Maka tidak ada yang halal melainkan apa yang dihalalkannya dan tidak ada yang haram selain apa yang diharamkannya serta tidak ada agama yang benar kecuali agama yang disyari’atkannya.” Wallahu a’lam bis shawab.