Oleh : Abu Nisa (Aktivis Gerakan Kontemporer Indonesia)
Keputusan Kenaikan BBM pun telah bergulir. Reaksi terhadap kebijakan ini datang bertubi-tubi. Terutama dari kalangan mahasiswa. Alasan Jokowi sebagaimana disampaikan dalam pidatonya, langkah kebijakan ini diambil untuk mengalihkan subsidi konsumtif ke produktif. Terutama untuk membangun infrastruktur yang lebih tepat. Pendidikan dan kesehatan misalnya. Untuk mengantisipasi dan meningkatkan keberdayaan ekonomi masyarakat miskin, Jokowi menyiapkan beberapa paket. Kartu Sehat, Kartu Sejahtera dan Kartu Pintar disinyalir sebagai jalan keluar. Namun bukan pemerintah jika tidak penuh rekayasa. Implementasi kebijakan kenaikan BBM yang menuai protes dan kecaman pun dipenuhi oleh beragam operasi peredaman penolakan. Demi target bahwa suka atau tidak, setuju atau tidak rakyat harus menerima kebijakan dzalim ini. Apapun ditempuh oleh pemerintah demi lancarnya implementasi kebijakan menikam rakyat ini.
Sentra penolakan kebijakan ini di Indonesia nampaknya berada di Makassar dan Jakarta. Sementara kalangan aktifis berasumsi politis, jika gerakan penolakan masif terhadap kenaikan BBM menjadi “gayung bersambut”direspon oleh Jakarta. Maka ini akan menjadi momentum yang bisa memantik. Bukan hanya untuk menghentikan kebijakan ini. Melainkan bisa menjadi proses antara tumbangnya rezim antek aseng dan asing.
Namun sayangnya semua elemen masyarakat tidak sama memandang kebijakan yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat ini. Ormas-ormas Islam misalnya seperti dibuatkan PR masing-masing.
FPI cs dihadapkan dengan Mukernas ABI (Ahlul Bait Indonesia) yang dibuka oleh Menag RI dan masalah Ahok.
Parpol-parpol disibukkan dengan friksi koalisi untuk bagi-bagi posisi di dewan.
Buruh yang selalu berada di pentas jalanan melakukan penolakan. Dibungkam oleh koordinator aksi massanya selama ini PDI-P. Jika dulu pernah kita dengar Bambang DH mantan Walikota Surabaya politisi PDI-P memimpin aksi turun jalan puluhan ribu buruh menolak kebijakan ini. Saat ini sebaliknya, dengan munculnya Jokowi yang diusung oleh PDI-P beserta koalisinya tidak bergeming. Sekalipun sikap itu bertolak belakang dengan Buku Putih Perjuangan PDI-P sendiri. Belakangan kemudian muncul interpelasi di DPR RI mempertanyakan kebijakan ini.
Di Makassar Sulawesi Selatan, pasca bentrok antara warga dengan mahasiswa depan Universitas Hasanuddin beberapa hari yang lalu menyisakan pertanyaan besar. Opini media berhasil mengkonstruksi asumsi bahwa bentrokan terjadi antara mahasiswa dan warga yang dirugikan oleh kemacetan jalan berjam-jam lamanya. Esok harinya beberapa kampus negeri dan swasta di Makassar diliburkan oleh masing-masing Rektor/Ketua Perguruan Tingginya. Tidak jelas alasan sebenarnya kenapa diliburkan. Tetapi bagi orang yang bernalar normal cukup memahami bahwa aroma peredaman penolakan kebijakan kenaikan BBM cukup kental dan efektif. Terdengar kabar burung beberapa pentolan mahasiswa di beberapa malam yang lalu mendapatkan sejumlah tips sebagai uang saku batalnya demo BBM. Hanya terdengar 1 ormas yang masih komit dan konsiten. Cuman seperti pepatah “Anjing Menggogong Kabilah Tetap Berlalu”. Sejauh protes itu disampaikan sebatas wacana saja maka dalam pandangan penguasa sah-sah saja. Penguasa menganggap perbedaan pandangan dalam koridor Demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Tidak masalah sekeras apapun yang disampaikan tetapi tidak menjadi “political pressure” maka dianggap tidak berbahaya.
Alhasil penolakan kebijakan BBM menjadi sebuah gambaran begitu sporadisnya umat Islam sebagai entitas mayoritas bangsa di negeri ini. Untuk menyikapi dan merumuskan agenda perjuangan bersama menyangkut persoalan keumatan.
Wallahu a’lam bis showab.