Orang-orang komunisme, kaum Marxisme, memang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Walau tidak percaya agama, mereka tidak segan-segan akan mengenakan jubah pendeta atau mengenakan baju koko, sarung, serta peci, untuk menipu umat demi mencapai tujuannya. Nah, inilah sifat pertama dari kaum komunis: Menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan.
Jika ada orang yang mengaku Pancasilais, mengaku agamais, mengaku ini dan itu, namun kelakuannya menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, maka dia menyerupai orang komunis.
Derifat atau turunan dari pandangan hidup dan atau pola-pikir yang demikian itu akan melahirkan manusia-manusia yang munafik. Berkata A namun melakukan B atau bahkan Z. Berjanji tidak korupsi, plus dengan kitab suci di kepalanya, namun ketika menjabat malah bertindak korup, dia juga seperti orang komunis!
Orang munafik juga sangat gemar berbohong, sehingga saking seringnya, nuraninya sudah tumpul dan tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana kebohongan. Untuk menipu orang banyak, orang ini akan berbusa-busa mulutnya dan berjanji ini dan itu. Namun ketika berkuasa dia malah melupakan semua janjinya atau yang lebih parah melakukan sesuatu yang malah bertentangan dengan janjinya, maka ini pun ciri-ciri kaum komunis.
Ada nasihat bijak yang mengatakan: “Jangan sekali-kali mempercayai omongan para politisi dan penguasa, tapi percayailah apa yang dilakukannya…”
Mudah-mudahan kita bukan termasuk orang-orang seperti ini.
Sebagai penutup, saya akan tulis kembali kesaksian Oscar Pollak, Pemimpin Redaksi Suratkabar kaum Demokrat Sosialis Wina “Arbeiter Zeitung” yang berkunjung ke Moskow di tahun 1955. Pollak menulis: “Para pejabat naik mobil mewah mengkilap, sedangkan rakyatnya naik trem butut berdesak-desakan. Para pejabat tinggal di rumah-rumah apartemen yang baru dan bagus, sedang rakyatnya tinggal di pondok-pondok kayu yang nyaris roboh…” (“The Secret Name”, by Lin Yutang, 1961, hal. 136).
Itulah kondisi masyakarat komunisme di Uni Soviet dimana ketimpangan sosial dan ketidak adilan juga lebar, sama seperti tatanan masyarakat kapitalistis. Indonesia bagaimana ya? []
Oleh: Abdullah