Entah disadari atau tidak, pasca kejadian bom bali vol. 1 tahun 2002 umat Islam sering dilabeli dengan ketiga istilah ini fanatik, radikal, dan teroris. Ketiga hal tersebut mendadak menjadi hal yang akrab dalam kehidupan kita sehari-hari.
Berbagai pihak mulai dari media massa, LSM, dan para tokoh pengasong gagasan pluralisme secara bersama-sama menolak keberadaan dari individu ataupun kelompok –yang menurut mereka– pengusung ketiga nilai tersebut.
Mereka memandang bahwa individu atau kelompok tersebut mengancam eksistensi bangsa Indonesia yang plural, majemuk, dan kebhinekaan.
Nampaknya usaha mereka berhasil. Secara tidak sadar masyarakat Indonesia mengendap dalam benak pikiran mereka. Mungkin saya akan sedikit berbagi pengalaman. Dulu ketika pertama kali saya melakukan wawancara pekerjaan di sebuah perusahaan jasa pembiayaan barang.
Salah seorang pewawancara berkata kepada saya “Apakah anda seorang yang Fanatik?” Dia bertanya seperti itu hanya dikarenakan penjelasan bahwa saya pernah aktif di ROHIS sewaktu saya masih bersekolah di SMA.
Lain lagi dengan salah seorang kerabat saya yang sudah mencap diri saya sebagai seorang yang berpaham garis keras (baca:radikal) hanya dikarenakan saya mengatakan riba adalah haram dan tidak mau mencontreng partai berlambang tumbuh-tumbuhan ketika pemilu 2009 lalu. Alhamdulillah sampai tulisan ini dibuat belum ada yang mencap dan mendakwa saya sebagai seorang teroris.
Nampaknya terlihat adanya perbedaan antara istilah sholih dan fanatik di dalam masyarakat. Istilah sholih (sholeh menurut ejaan masyarakat banyak) lebih merujuk kepada individu yang “hanya” melaksanakan aktivitas ritual keagamaan seperti sholat 5 waktu, puasa Ramadhan, menunaikan zakat, dan pergi haji.
Sedangkan fanatik lebih kepada seputar menjauhi atau menolak larangan-larangan Allah SWT. Ataupun fanatik biasanya diidentikkan dengan ajakan untuk menjadi Islam yang kaffah (menyeluruh). Sempat tergelitik ketika ada seorang perempuan yang ditanya mengenai pacarnya. Sang perempuan tersebut dengan bangga bercerita bahwa pacarnya adalah seorang yang sholih, dan taat beragama.
Label-label aneh yang dialamatkan terhadap umat Islam menjadi hal yang sangat menyakitkan. Sebut saja FPI atau biasa disebut Front Pembela Islam. Ormas pimpinan Al-Habib Muhammad Rizieq Shihab ini menjadi sasaran empuk oleh berbagai isu negative tersebut.
FPI sering dianggap memalukan ajaran Islam yang Rahmatan Lil “alamin. Kelompok ini dituduh mengusung nilai radikal yang membahayakan dan mengancam tatanan kebangsaan. Media pun mengaminkan isu tersebut dengan terus memutar dan memutar rekaman “kekerasan” FPI. Dari mulai kasus penyerangan kantor PlayBoy, kasus penyerangan AKKBB, dan yang terakhir kasus Ciketing Bekasi.
Padahal jalan “kekerasan” (saya lebih suka menyebutnya ketegasan) yang diambil FPI merupakan respon atau akibat, bukan menjadi sebab. Dalam struktur FPI juga ada bagian yang mengurusi urusan sosial. Contoh kecil ketika bencana Tsunami, dan peristiwa jebolnya tanggul Situgintung, para laskar FPI ramai-ramai turun membantu meringankan masalah warga ketika itu.
Dan entah kenapa media pun tidak menyorotinya mengabadikan melalui kamera para awak wartawannya, walaupun sejatinya para aktivis FPI pun juga tidak membutuhkan hal itu.
Berbeda dengan FPI yang bermain di kawasan hilir yakni mengenai urusan nahi munkar, baik berupa kemaksiatan, pemurtadan, dan aliran sesat. MMI dan JAT yang salah satunya pernah dan sekarang dipimpin oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dicap baik langsung atau tidak langsung sebagai organisasi pencetak teroris.
Sosok yang disapa dengan Ustadz Abu merupakan seorang yang akrab dengan isu teroris dari mulai lembaga dan pesantren yang dipimpinnya, tidak ada satupun yang luput dari pemberitaan media terkait pemberitaan teroris tersebut. Istilah teroris merujuk kepada individu atau kelompok yang menyuarakan penegakan syariat Islam secara formal.
Ancaman yang diberikan kepada pelaku teroris sangat berat dari kurungan penjara sampai dengan hukuman mati. Kegiatan teroris sering disebut sebagai Extra Ordinary Crime. Dan nampaknya pemerintah ingin ada proses yang panjang mengenai perang melawan terorisme dengan membentuk sebuah lembaga bernama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Badan tersebut sekarang diketuai oleh lelaki sepuh bernama Ansyad Mbai yang berkali-kali dalam wawancaranya selalu mengaitkan aksi terorisme dengan upaya penegakan Syariat Islam serta mengupayakan untuk menghidupkan kembali UU Subversif pada masa Orba yang telah lalu.
Istilah fanatik, radikal, dan teroris bak kacang goreng yang laku keras, ramai dibicarakan, dan mudah diucapkan. Ketiganya merupakan suatu kesatuan setidaknya begitu menurut mereka para pengasong SEPILIS, Beberapa waktu lalu ada diskusi mengenai sebuah buku -yang saya lupa judulnya-. Seorang pembicara yang bekerja sebagai direktur dari salah satu UIN di Indonesia.
Pembicara tersebut mengatakan ideologi radikal tumbuh subur di masjid di seputar Jakarta, dan Solo hanya dikarenakan ada jumlah yang signifikan dari pengurus masjid di kedua kota tersebut yang menghendaki adanya penegakan syariat Islam secara formal, dan pelaksanaan pidana Islam. Pembicara tersebut mengatakan bahwa Ideologi radikal tersebut adalah prakondisi terhadap adanya ancaman terorisme.
Untuk terakhir mungkin saya akan mengutip surat Al Maidah ayat 54 yang mungkin sudah sering kita kaji dan baca walapun mungkin masih belum kita amalkan. “Wahai orang-orang yang beriman!.
Barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum. Dia mencintai mereka, dan merekapun mencintaiNya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang yang beriman dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di Jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikanNya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah maha luas maha mengetahui.
Wa Allahu A‘lam Bi Showab..
Dan Allah Jua lah yang Lebih tahu..
mukminsehat.multiply.com
[email protected]