Oleh Edy Mulyadi* Rencana akuisi Bank Tabungan Negara (BTN) oleh Bank Mandiri akhirnya dibatalkan. Eh, paling tidak, ditunda sampai pemerintah SBY berakhir. Adalah Presiden (SBY) yang meminta agar rencana akuisisi lebih dari 60% saham pemerintah di BTN oleh Bank Mandiri ditunda.
Salah satu alasannya, gagasan tersebut telah menimbulkan keresahan publik, khususnya di kalangan karyawan BTN. Keresahan inilah yang mati-matian dihindari SBY, dengan berharap dia bisa lengser dengan soft landing. Nah, keberatan SBY terhadap proses akuisisi tersebut disampaikan oleh Sekretaris Kabinet Dipo Alam melalui Surat Edaran Nomor SE-05/Seskab/IV/2014 kepada Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dan pejabat setingkatnya.
SBY sendiri sebelumnya sudah membuat surat edaran yang dibagikan pada sidang kabinet pada 16 Januari 2014, yang isinya agar para menteri tidak mengambil kebijakan strategis menjelang berakhirnya pemerintahan. Menurut Dipo, sehubungan pengalihan saham BTN dan Mandiri berpotensi meresahkan masyarakat. Sehubungan dengan itu, akuisisi tersebut nantinya akan ditunda sampai ada penjelasan pihak terkait yang lebih komprehensif. Lagi pula, lanjut Dipo, rencana akuisi tadi tidak dilakukan melalui suatu kajian yang mendalam. Keruan saja Dahlan uring-uringan. Dia tidak menerima disebut tidak melakukan kajian mendalam terkait rencana yang sempat menyulut aksi demo besar-besaran karyawan BTN tersebut.
Menurut dia, untuk keperluan itu sudah melibatkan konsultan keuangan bertaraf internasional. “Memangnya saya menteri yang ngawur, apa?” sergah Dahlan sengit seperti dikutip media online. Sepertinya bos grup Jawa Pos itu bukan sekadar berungut-sungut karena agendanya mencaplok BTN oleh Mandiri jadi terhalang. Dahlan bahkan menebar tudingan, bahwa ada pihak-pihak tertentu yang mengompori keresahan karyawan BTN. Mantan Dirut PLN itu bahkan mengklaim kalangan internal BTN yang resah itu paling-paling ada satu dua orang saja. Tidak cukup sampai di situ. Dia bahkan terang-terangan menuding Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli sebagai aktor di balik keresahan karyawan BTN . Eks wartawan Tempo itu yakin, bahwa tudingannya terhadap Rizal Ramli tidak mengada-ada. Pasalnya, Menteri Keuangan era Gus Dur yang sukses mengebut pembahasan RAPBN hanya dalam tempo tiga hari tadi, berada berasama-sama ribuan karyawan BTN yang berdemo menolak akuisisi BTN oleh Mandiri pada Minggu (20/4). “Kalau ada dari pihak luar yang resah, paling orang seperti Rizal Ramli yang semua orang sudah tahu apa maksudnya,” ungkapnya penuh bersayap.
Kena batunya Hmm… pada titik ini Dahlan yang sering selonong boy kena batunya. Sepertinya keliru besar jika dia melemparkan kekesalannya gara-gara wacana pencaplokan sesama bank pelat merah yang gagal kepada Rizal Ramli. Pasalnya, tidak ada secuil pun bukti bahwa lelaki yang dikenal sebagai ikon perubahan tersebut berada di belakang penolakan karyawan. Apa yang dilakukan tokoh yang gigih mengusung ekonomi konstitusi tersebut berdasarkan kalkulasi ekonomi. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu menilai rencana tersebut tidak benar dan tidak beralasan. Itu hanya skenario dan akal-akalan segelintir pihak untuk kepentingan sekelompok tertentu saja. Selain itu, akusisi menjadi motivasiBank Mandiri untuk memperbesar asetnya. Apalagi, sebelumnya Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin pernah menyatakan, jika berhasil mengakuisisi BTN, maka aset Mandiri bisa menembus Rp 900 triliun.
“Mosok mengakuisisi BTN dengan maksud agar loncat asetnya dan kembali jadi nomor satu di Indonesia. Ini cara yang tidak cerdas. Mau enaknya sendiri yang memakai cara instan. Kalau mau menjadi nomor satu, tingkatkan dulu efisiensinya. Caranya, turunkan berbagai biaya. Kalau ngotot juga, silakan akuisis bank swasta. Setelah itu masuk ke Laos, Vietnam, dan Myanmar. Jangan utamakan gengsi dulu dengan mencaplok yang lebih kecil. Ini sama saja dengan kakak makan adiknya,” papar Rizal yang juga penasehat ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bersama tiga ekonom penerima hadiah nobel tersebut bukan tanpa dasar. Di sisi lain, sebagai mantan penasihat BTN pada 1996, Rizal Ramli tetap mampu menjaga objektivitasnya. Hal itu ditunjukkan dengan desakannya agar agar manajemen dan seluruh karyawan BTN bertekad mendongkrak kinerja keuangan dan pelayanan. Selain itu struktur pendanaan BTN juga kurang berimbang. Maklum, dana jangka panjangnya kurang dari 10% terhadap total dana pihak ketiga (DPK). Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk memperbaiki struktur pendanaan jangka panjangnya, adalah dengan menerbitkan obligasi bertenor 10-15 tahun. Selain itu, perbaikan kinerja juga harus dilakukan dari sisi kredit bermasalah alias non performing loan (NPL) yang masih lumayan tinggi, yaitu sekitar 4,75%. Kalau sukses menerbitkan bond dan menekan NPL jadi 2% saja, bisa dipastikan BTN akan lebih sehat. “Saya yakin BTN bisa. Karyawannya kan banyak yang jago,” ujarnya optimistis.
Dari sisi peningkatan layanan, dia juga menyarankan manajemen perlu menggandeng bank BUMN lain untuk menambah jaringan Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Pasalnya, salah satu kelemahan BTN ada padalah masih terbatasnya jumlah dan fasilitas ATM dibandingkan bank-bank papan atas sejenis. Langkah tersebut jauh lebih murah jika BTN harus membeli banyak ATM sendiri dalam jumlah besar. Pada titik ini, kerja sama dengan bank-bank pelat merah, termasuk Mandiri. Bukan diakuisisi! Rizal Ramli memang hadir pada saat ribuan karyawan BTN berdemo di kantor pusat BTN menolak akuisisi tempat mereka bekerja oleh Mandiri. Tapi hal itu tidak serta-merta menjadi pembenaran atas tudingan, bahwa dia mengipas-ngipasi agar timbul keresahan di kalangan mereka. Bahwa kehadiran dan orasi tokoh yang sejak mahasiswa sudah berjuang menentang penindasan dan ketidakadilan itu kemudian menjadi ‘bahan bakar’ semangat dan heroisme karyawan BTN, tentu itu sah-sah saja. Tampil di jalanan bersama demonstran bukanlah hal baru bagi yatim piatu sejak usia tujuh tahun itu.
Disahkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa antara lain merupakan buah perjuangan Rizal Ramli bersama aparat dan perangkat desa. Berkali-kali mereka menggelar aksi unjuk rasa demi memperjuangkan digolkannya UU yang diyakini bakal mendongkrak perekenomian dan kesejahteraan 78 ribu lebih desa di seluruh Indonesia. Jejak Rizal Ramli juga bisa ditelusuri pada perjalanan panjang UU Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Bersama ribuan buruh, dia juga berkali-kali melakukan aksi dan orasi di jalan. Yang terbilang fenomenal adalah, ketika Capres Konvensi Rakyat 2014 ini larut dalam demonstrasi menentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan dilakukan rezim SBY pada 2008. Karena aktivitasnya itu, Menteri BUMN Sofyan D Djalil mencopot Rizal Ramli dari posisinya sebagai Komisaris Utama Semen Gresik (Persero). Padahal, di bawah arahannya, Semen Gresik yang sebelumnya kedodoran berhasil menjadi BUMN moncer, bahkan masuk dalam tujuh besar BUMN yang paling menguntungkan.
Bukan itu saja, juga santer pemerintah akan menangkap tokoh yang di kalangan Nahdiyin akrab disapa Gus Romli. Sejumlah orang dekatnya di Komite Bangkit Indonesia (KBI) bahkan berkali-kali diperiksa Mabes Polri di Trunojoyo, Jakarta Selatan. Saat itu memang berhembus isu yang digelontorkan penguasa, bahwa Rizal Ramli menunggangi aksi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM. “Salah. Bukan menunggangi demo anti kenaikan BBM. Yang benar, Rizal Ramli memimpin aksi penolakan kenaikan harga BBM, kebijakan pemerintah yang neolib dan menyengsarakan rakyat,” tukas Adhie M Massardi aktivis KBI. Jadi, terlalu gegabah bila hanya ‘bermodal’ fakta hadir dan berorasinya Rizal Ramli di tengah-tengah karyawan BTN, Dahlan lalu melekatkan stigma ‘provokator’ kepada Rizal Ramli. Tidak berlebihan kalau disebut Dahlan memang menteri yang ngawur seperti yang sibuk dia tepis sendiri. Entah ada hubungannya atau tidak antara pembelaan Rizal Ramli terhadap BTN dan karyawannya dengan pembatalan rencana akuisisi bank itu oleh Mandiri. Satu hal yang pasti, langkah bapak tiga anak itu sekali lagi membuktikan, bahwa dia memang pejuang yang benar-benar berpihak pada kaum dhuafa yang terzalimi. (*) Jakarta, 25 April 2014 Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democarcy Studies(CEDeS)