Oleh : Abu Nisa (Pemerhati Sosial Politik)
Pertikaian Ahok Versus DPRD mengindikasikan pekatnya conflict of
interest di antara pemegang kebijakan. Seperti halnya antara KPK
Versus Polri. Di satu sisi, DPRD diduga korup. Begitu juga dugaan
korupsi yang melibatkan Ahok. Namun media mainstream nampaknya
membangun opini hingga membuat Ahok di atas angin. Sedemikian rupa
membentuk Ahok bak pahlawan yang tegas dan keras melawan korupsi dan
para pelakunya. Pertikaian ini menjadi hal yang strategis mengingat
DKI Jakarta adalah barometer utama politik di Indonesia. Seperti
banyak ahli strategi menyatakan jika mau menguasai Indonesia maka
kuasai dulu Jakarta. Begitu kira-kira pokir (pokok pikiran) dalam
benak Ahok.
Yang dimaksud Ahok tentang dugaan korupsi atas DPRD adalah proyek
pengadaan UPS sejak tahun 2012 – 2015. Dari identifikasi ditemukan
bahwa tahun 2012 dan 2013 sudah diaudit oleh BPKP. Tahun 2014 dan 2015
sedang diaudit. Yang terakhir di tahun 2015 ada selisih antara yang
disepakati dari hasil paripurna dengan yang disampaikan pada
Kemendagri. Jumlahnya berkisar 12,1 trilliun Rp. Dugaan kasus korupsi
ini disinyalir melibatkan SKPD, beberapa anggota DPRD,
perusahaan-perusahaan pemenang tender dan sekolah-sekolah penerima
UPS. Ahok menggunakan 3 strategi dalam menguaknya. Pertama,
menggunakan dugaan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). Kedua,
menghadirkan bukti diantaranya ajuan anggaran dari SKPD pendidikan.
Ketiga, mendorong Kejagung dan KPK untuk menginvestigasinya. Sekalipun
terjadi lempar tuduh di antara Ahok Vs DPRD terkait dengan kasus dana
siluman tersebut. Dan kasus dana siluman yang melibatkan 49 sekolah
dan puluhan perusahaan pemenang tender yang tersebar di DKI, Jawa
Tengah dan Jawa Timur itu didukung pula oleh Yusuf Kalla.
Sebaliknya DPRD DKI melalui pengacaranya berencana melaporkan Ahok.
Rasman Arif Nasution yang juga merupakan mantan pengacara Budi Gunawan
ini, kata M Taufik (Wakil Ketua DPRD DKI), akan mengawal empat hal.
Pertama, DPRD DKI akan melaporkan mengenai etika dan norma Ahok.
Kedua, DPRD DKI akan melaporkan soal dugaan penghinaan yang dilakukan
Ahok kepada anggota DPRD DKI, berkaitan dengan anggaran siluman.
Ketiga, adanya dugaan pemalsuan dokumen oleh Ahok. Hal ini mengacu
pada draf APBD bukan hasil pembahasan yang diserahkan ke Kemendagri.
Ketiga hal ini, akan dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri. Keempat,
yang juga akan dilaporkan DPRD DKI, adalah soal dugaan suap yang
dilakukan kepada DPRD DKI sebesar Rp 12,7 triliun. Point terakhir ini
akan dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Proses aduan
kepada Ahok itu berjalan paralel dengan penyelidikan hak angket. Meski
sebelumnya banyak pakar hukum tata negara seperti Raffly Harun yang
mengatakan bahwa Ahok tidak bisa diberhentikan melalui hak angket. Di
tengah semakin tidak solidnya anggota DPRD DKI sejumlah 106 orang yang
menanda tanganinya. Dimana Nasdem dan PKB dari Koalisi Indonesia Hebat
sudah mencabut dukungannya. Selain itu menurut informasi terbatas,
juga berkembang banyaknya dugaan korupsi atas Ahok. Diantaranya, 1)
Bersama Jokowi disinyalir sebagai aktor utama dalam dugaan skandal
Trans Jakarta yang merugikan negara sekitar Rp.1,5 triliun. 2)
Berdasarkan hasil audit BPK mengungkap 86 temuan kasus yang berakibat
merugikan negara senilai Rp1,54 triliun dalam APBD DKI 2013. 3) BPK
juga menemukan realisasi belanja Pemprov DKI senilai Rp 59,23 miliar
yang tidak didukung dengan bukti pertanggungjawaban alias “dana
siluman”.
Konflik antara Ahok Vs DPRD nampaknya akan berakhir dengan kompromi
politik. Seperti halnya yang terjadi pada kasus KPK Vs Polri. Hal ini
nampak salah satunya sebagaimana yang disampaikan oleh Kemendagri
sebagai pihak yang banyak diharapkan bisa menyelesaikannya. Melalui
Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri Reydonnyzard Moenek,
mengatakan : “Intinya, fasilitasi mediasi dan klarifikasi besok itu
akan membuat segala sesuatunya menjadi terang benderang. Karena ini
suami istri layaknya rumah tangga iya dong. Kami sebagai orangtua
wajib memfasilitasi baik dan benar.” Apa esensi dari perseteruan itu
sebenarnya ? Dan bagaimana ujung dari perseteruan itu pada akhirnya ?
Ini adalah pertanyaan publik yang bisa menguak urgensi pembahasan
APBD sebagai komponen utama pelayanan masyarakat DKI Jakarta. Paling
tidak ada beberapa hal yang bisa dipahami di balik kekisruhan politik
Ahok Vs DPRD antara lain : Pertama, konflik antara Ahok Vs DPRD
mengisyaratkan tarik ulur kepentingan siapa yang lebih bisa bermain
mengendalikan APBD. Tentu dengan menggunakan legitimasi perundang
undangan yang ada. Terlalu sulit untuk mengatakan seperti klaim Ahok
bahwa penyelamatan uang APBD dari korupsi untuk kepentingan rakyat.
Sementara dirinya juga berada dalam pusaran dugaan korupsi dan
permainan suap seperti yang disangkakan kepadanya. Cuman kepiawaian
Ahok saja bisa menguasai medan birokrasi, opini media, legal aspek,
ekonomi dan politik. Dan menyimpan hidden agenda kebencian terhadap
Islam dan komunitas para pejuang pengusungnya. Kedua, konflik
kepentingan antara kekuatan politik utama itu terjadi sebagai
konsekuensi logis atas pilihan sistem politik yang menyandarkan
otoritas pembuat undang-undang pada manusia. Sehingga yang terjadi
adalah bahwa produk legislasi dalam bentuk perundang undangan hanya
menjadi legitimasi atau cap stempel untuk menggoalkan kepentingan para
elit politik beserta para penyokongnya. Dan setiap konflik kepentingan
itu pasti akan berujung pada kompromi politik untuk tidak saling
menjatuhkan atau bagi-bagi kue kekuasaan/aset kekuasaan. Atau ada
pihak yang dikorbankan untuk menutupi wajah kompromi politik di balik
konflik kepentingan tersebut. Ketiga, rakyat selalu menjadi korban
dari konflik kepentingan antara kekuatan politik tersebut. Selain
mengambangnya pembahasan APBD yang krusial dalam kerangka pembangunan
daerah untuk kepentingan rakyat akibat kisruh itu. Rakyat masih didera
dengan beban berat tekanan ekonomi, sosial dan politik akibat berbagai
kebijakan yang tidak pro rakyat. Belum lagi persoalan masif turun
temurun DKI Jakarta menyangkut kemacetan, banjir, dan infrastruktur
umum yang lain. Keempat, DPRD menyimpan track record dugaan beragam
kasus korupsi tetapi Ahok jauh berpotensi memiliki dugaan kasus yang
sama. Bahkan lebih berpotensi berbahaya karena kebijakannya menyimpan
hidden agenda yang didukung oleh media-media mainstream. Sebuah hidden
agenda untuk menguasai dan mengendalikan DKI Jakarta sebagai pintu
masuk mengendalikan Indonesia. Ingatlah akan firman Allah Subhanahu Wa
Ta`alla : “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa
berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali
karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan
hanya kepada Allah kembali(mu)”. (QS Ali Imran : 28). Wallahu a’lam
bis shawab.