[oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si]
“Pupus”
Aku tak mengerti
Apa yang kurasa
Rindu yang tak pernah
Begitu hebatnya
Aku mencintaimu
lebih dari yang kau tahu
meski kau takkan pernah tahu
Aku persembahkan
Hidupku untukmu
Telah ku relakan
Hatiku padamu
Namun kau masih bisu
diam seribu bahasa
dan hati kecilku bicara
Reff:
Baru kusadari
cintaku bertepuk sebelah tangan
kau buat remuk sluruh hatiku
Semoga aku akan memahami
Sisi hatimu yang beku
Semoga akan datang keajaiban
Hingga akhirnya kaupun mau
Siapa tak kenal lirik lagu di atas? Ya, petikan lagu “Pupus“ milik grup band Dewa ini belakangan sering terdengar di layar kaca, karena menjadi jingle dari iklan salah satu operator seluler. Menilik lirik tersebut, jelas sekali lagu ini bicara tentang rasa patah hati dari seseorang yang cintanya tak berbalas oleh orang yang dicintainya. Maka pantas jika di dalamnya terdapat frase “cintaku bertepuk sebelah tangan”. Tepat sebagaimana adegan dalam iklan yang bersangkutan. Oh, sedih nian, hiks…
Cinta dan Benci karena Allah Swt
Ketika seorang muslim punya rasa cinta, dan sebaliknya juga rasa benci, haruslah senantiasa dilandaskan pada hukum syara’. Artinya, keridhoan Allah Swt atas munculnya rasa cinta ataupun benci itu harus menjadi pertimbangan utama. Cinta karena Allah adalah mencintai hamba Allah karena keimanannya dan ketaatan kepada-Nya. Benci karena Allah adalah membenci hamba Allah disebabkan kekufuran dan perbuatan maksiatnya.
Dalam Islam terdapat tuntunan tentang bersikap lemah lembut dan berkasih sayang kepada sesama kaum mukmin. Hadits dari Umar bin Khaththab ra, diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid, Rasulullaah saw bersabda: ”Allah mempunyai hamba-hamba yang bukan nabi dan bukan syuhada, tapi para nabi dan syuhada tertarik oleh kedudukan mereka di sisi Allah.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, siapa mereka dan bagaimana amal mereka? Semoga saja kami bisa mencintai mereka.” Rasulullah saw. bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan karunia dari Allah. Mereka tidak memiliki hubungan nasab dan tidak memiliki harta yang mereka kelola bersama. Demi Allah keberadaan mereka adalah cahaya dan mereka kelak akan ada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak merasa takut ketika banyak manusia merasa takut. Mereka tidak bersedih ketika banyak manusia bersedih.” Kemudian Rasulullah saw. membacakan firman Allah: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (TQS Yunus [10]: 62)”.
Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt dalam firman-Nya: ”…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (TQS Al-Baqoroh [02]: 216).
Juga dalam hadits dari Nu’man bin Basyir Rasulullah saw bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal berkasih sayang dan saling cinta-mencintai dan mengasihi di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh anggota tubuh yang lain turut merasa sakit dengan tidak bisa tidur dan demam.” (Mutafaq ‘alaih). Dan dalam hadits Jarir bin Abdullah: “Barangsiapa tidak menyayangi (orang beriman,) maka dia tidak akan diberi rahmat.” (Mutafaq ‘alaih). Ungkapan dihalanginya dari rahmat, yakni rahmat Allah, adalah indikasi atas wajibnya menyayangi kaum Mukmin.
Di antara indikasi lain atas kewajiban ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya dari Abû Hurairah, ia berkata; Aku mendengar Abû Qasim saw. yang benar dan dibenarkan bersabda: ”Sesungguhnya rasa kasih sayang tidak akan dicabut kecuali dari orang yang celaka.” (Kitab Mim Muqowwimat).
Latah Kasih Sayang
Tanggal 14 Februari senantiasa didaulat sebagai hari kasih sayang. Banyak orang, yang biasanya didominasi muda-mudi, menjadikannya sebagai momen tepat untuk menyatakan atau mengungkapkan perasaan cinta kepada orang yang dicintainya. Tentunya dengan harapan besar agar cintanya tak bertepuk sebelah tangan sebagaimana lagu Dewa tadi. Dari sini akhirnya aktivitas memuja cinta menjadi tren. Segala sesuatu terkait cinta selalu ramai peminat. Lagu cinta, coklat, suasana berwarna merah muda, hingga apa pun yang beraroma cinta, takkan pernah sepi, sekalipun ketika hari Valentine sudah lewat. Akibatnya, perwujudan cinta tak jarang bisa jadi sangat ekstrim. Misalnya dengan nge-sex. Seolah tak sempurna cinta jika tak dibuktikan dengan penyerahan segala hal yang dimiliki, termasuk virginitas.
Generasi muda kini terjebak oleh nuansa genre baru Valentine yang bernuansa seks. Karena dimensional budaya berfantasi birahi itu dianggap lebih nikmat. Bahkan, hura-hura Valentine dijadikan alat untuk melampiaskan hawa nafsu dengan dalih yang bermacam-macam, mulai dari tanda saling mempercayai, ataupun ungkapan cinta. Itulah budaya Valentine sebagai bahasa dan polah gaul mereka. Wajar, banyak generasi tua yang menentang perayaan Valentine itu.
Berdasarkan data yang pernah dilansir oleh Yayasan Hotline Pendidikan, sekitar 20% persen pelajar Surabaya yang hamil sebelum nikah, ternyata melakukan hubungan seks ketika perayaan Valentine tahun 2012 silam. Setidaknya data itu berdasarkan 84 kasus pelajar SMP hingga SMA di Surabaya yang mengalami hamil sebelum nikah. “Mereka ngakunya hanya sekali saja berhubungan saat merayakan Valentines day dan langsung hamil,” kata Isa Ansori, Ketua Yayasan Hotline Pendidikan. Yang lebih mencegangkan, para pelajar ini mengaku mayoritas making love di rumah saat orang tua mereka tidak ada. Selain itu, mereka juga menyewa hotel atau losmen dan melakukan di tempat-tempat wisata (surabayapagi.com, 14/02/2013).
Sex on Valentine yang seolah telah menjadi fenomena ini mengundang keprihatinan Pengurus Pusat Ikatan Dai Indonesia (IKADI). Prof. Dr. Ahmad Satori Ismail, Ketua Umum PP IKADI menegaskan perayaan Valentine pada 14 Februari adalah haram bagi umat Islam karena peringatan hari itu bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan. “Hari Valentine adalah hari kasih sayang bagi warga di Dunia Barat yang berada di luar Islam,” jelasnya.
Dilihat dari asal muasalnya, jelas Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, Valentine merupakan hari raya bagi kaum non-Islam di Roma, Italia. “Untuk itu, Valentine haram bagi mereka yang beragama Islam,” jelas Satori mengingatkan. Menurutnya, peringatan Hari Valentine merupakan budaya yang tidak pantas diterapkan dalam ajaran Islam karena identik dengan kebebasan kaum remaja dalam menjalin atau mengikat suatu hubungan di luar nikah. ”IKADI mengimbau seluruh orang tua Muslim untuk memberikan pemahaman kepada anak-anaknya bahwa Hari Valentine bukanlah sesuatu hal yang harus dirayakan,” jelasnya menegaskan.
Ia juga menyebutkan, fenomena perayaan Valentine dalam beberapa tahun belakangan ini sangat marak di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan kota-kota lainnya. “Para remaja, walau baru kelas satu SMP, sudah mengenal budaya nista ini. Mereka biasa merayakannya dengan mengadakan lomba saling merayu antara lawan jenis, saling memberikan bunga dan hadiah kepada pacarnya, mengadakan pesta musik yang terkadang disertai minuman keras tanpa mempedulikan terjadinya percampuran laki-laki dan perempuan non-mahram. Bahkan, acara tersebut oleh mereka dijadikan ajang untuk mengekspresikan hawa nafsu kepada lawan jenis, misalnya mencium pipi, memegang tangan, sampai melakukan perbuatan yang kelewat batas, naudzu billahi min dzalik. Lucunya, perayaan ini pun tidak hanya dilakukan anak muda. Bapak-bapak, ibu-ibu, dan tante-tante pun tidak ketinggalan ‘bertaklid’ (ikut-ikutan) merayakan budaya sesat ini,” ungkapnya pilu (republika.co.id, 10/02/2014).
Jadi rasanya ada logika yang kurang tepat dari pernyataan psikolog remaja, Tika Bisono, setahun lalu, tentang perayaan Valentine. Terlebih jika landasan pernyataan itu adalah pandangan sekular-liberal. Ya sudah pasti beraroma kebebasan individu dalam bertingkah laku.
Tika saat itu menilai Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok sudah bertindak berlebihan dengan melarang remaja muslim merayakan Hari Valentine. Menurut Tika, merayakan Valentine selama tidak sampai berlebihan justru bisa mempererat hubungan seseorang yang sebelumnya sempat merenggang. “Kalau perayaan dengan pesta-pesta jor-joran, boleh menghimbau. Kalau kirim-kirim bunga memang ada yang salah,” kata Tika.
Hari Valentine, kata Tika, tidak selalu identik dengan hubungan asmara antara antara laki-laki dan perempuan. Dia melanjutkan, siapapun bisa menunjukkan perasaan kasih sayang kepada orang yang dikasihi di perayaan Valentine. “Justru dengan menunjukkan kasih sayang, yang tadinya berantem bisa baikan. Di Barat sendiri merayakan Valentine juga kebanyakan hanya mengirim bunga atau mengirim kartu ucapan. Bisa dari suami ke istri atau istri ke suami, orang tua ke anak atau anak ke orang tua. Tidak selalu mengirimkannya ke pacar,” terangnya.
Dia menegaskan perayaan valentine merupakan produk budaya. Meski Hari Valentine ini berasal dari Kebudayaan Barat, namun tidak salah apabila masyarakat Indonesia turut menjadikan Valentine sebagai hari kasih sayang. “Kita Indonesia punya Hari Kesetiakawanan Sosial. Itu kan memper (mirip) dengan Valentine. karena hari itu berisi saling mengasihi,” katanya.
Namun, Tika mafhum pemahaman keagamaan memang sering bertabrakan dengan budaya. Dia meminta sebaiknya produk budaya dipisahkan dari kegiatan-kegiatan keagamaan. “Mereka pastinya menolak. Tapi, kita harus melihat konteks. Masa mengirimkan colekat untuk menunjukkan kasih sayang tidak boleh,” terangnya.
Lebih lanjut, Tika menambahkan sebagian orang telah salah persepsi dengan melihat Hari Valentine identik dengan pergaulan bebas yang mengarah pada hubungan seks di luar nikah. Padahal, kata Tika, seks bebas sama sekali tidak terkait dengan tujuan dari merayakan valentine sendiri. “Seks bebas sama sekali tidak terkait dengan Valentine. Ini celebration of love, merayakan hari kasih sayang. Oke-lah kalau ulang tahun pasangan sendiri lupa, hari perkawinan lupa. Tapi di Hari Valentine masa mengucapkan i love you saja dilarang. Sekarang saya tanya, kamu kapan terakhir kali bilang i love you sama istri anda?,” tambahnya (okezone.com, 14/02/2013).
Nah, di sini hendaknya kita cerdas memilah. Harus diakui bahwa perayaan Valentine bukan berasal dari Islam. Masalah yang ada pada Valentine bukan semata-mata tentang cinta itu berasal dari siapa dan untuk siapa. Tapi hendaknya dirinci mulai dari asal budaya Valentine yang telah membuat latah masyarakat ini, yang dengan kata lain tidak boleh diikuti. Karena itu, sebagai muslim, cara pandang untuk bertingkah laku, termasuk menilai perayaan Valentine ini harus dari jati diri kita. Karena hal ini sebagai konsekuensi keimanan. Yaitu posisi kita sebagai makhluk bagi Allah Swt dan pengikut Rasul-Nya.
Firman Allah Swt: “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah…” (TQS Al-Hasyr [59]: 07). Dan sabda Rasul saw: ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud no. 4031 dari Ibnu Umar ra dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676) dan Al-Irwa` no. 2384). Syaikhul Islam Ibnu Taimiah –rahimahullah- berkata, “Hukum minimal yang terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh (menyerupai) kepada mereka (orang-orang kafir), walaupun zhahir hadits menunjukkan kafirnya orang yang tasyabbuh kepada mereka. Dengan hadits inilah, kebanyakan ulama berdalil akan dibencinya semua perkara yang merupakan ciri khas orang-orang non-muslim.” Jadi, jelas, tak pernah ada perintah dalam Islam kepada umatnya untuk mengikuti budaya bukan Islam.
Fitrah Mencinta: Kasih Sayang Sesama Manusia
Allah Swt telah menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, dengan suatu fitrah tertentu yang berbeda dengan hewan. Antara laki-laki dan perempuan, masing-masing tidak berbeda dari aspek kemanusiaannya, yang dengannya Allah Swt telah mempersiapkan kedua-duanya untuk mengarungi kancah kehidupan. Yang satu tidak melebihi yang lainnya pada aspek ini.
Allah Swt telah menjadikan laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam satu masyarakat. Allah Swt juga telah menetapkan bahwa kelestarian jenis manusia bergantung pada keberadaan dan interaksi kedua jenis tersebut pada setiap masyarakat. Karena itu, tidak boleh memandang salah satunya kecuali dengan pandangan yang sama atas yang lain, bahwa ia adalah manusia yang mempunyai berbagai ciri khas manusia dan segala potensi yang mendukung kehidupannya.
Allah Swt telah menciptakan pada masing-masingnya potensi kehidupan (thâqah hayawiyyah), yaitu potensi yang juga diciptakan Allah pada yang lainnya. Allah telah menjadikan pada masing-masingnya kebutuhan jasmani (hâjâtul ‘udhwiyyah) seperti rasa lapar, rasa dahaga, atau buang hajat; serta berbagai naluri (gharâ’iz), yaitu naluri mempertahankan diri (gharîzah al-baqa’), naluri seksual untuk melestarikan keturunan (gharîzah al-naw’), dan naluri beragama (gharizah at-tadayyun). Kebutuhan jasmani maupun naluri-naluri ini ada pada masing-masing jenis kelamin.
Secara khusus tentang naluri seksual (naluri mencintai), pemenuhannya tidak lain hanya melalui satu cara, yaitu pemenuhan naluri tersebut seorang perempuan oleh seorang laki-laki atau sebaliknya. Karena itu, hubungan laki-laki-perempuan atau sebaliknya, dari segi naluri seksual, adalah hubungan yang alamiah dan bukan merupakan hal yang aneh. Bahkan ia adalah hubungan asli yang dengannya dapat diwujudkan tujuan penciptaan naluri ini, yaitu melestarikan keturunan manusia. Jika di antara kedua lawan jenis (laki-laki-perempuan) tersebut terjadi hubungan dalam bentuk hubungan seksual, hal itu sangat wajar dan alamiah serta bukan hal yang aneh. Bahkan hal itu merupakan keharusan demi kelestarian jenis manusia. Namun demikian, membebaskan naluri ini sangat membahayakan manusia dan kehidupan bermasyarakat. Padahal tujuan adanya naluri itu tiada lain untuk melahirkan anak dalam rangka melestarikan keturunan.
Karena itulah, setiap orang harus memiliki pemahaman tentang pemuasan naluri seksual untuk melestarikan keturunan (gharîzah al-naw’) dan berikut tujuan penciptaan naluri tersebut. Pemahaman ini harus selalu didominasi oleh ketakwaan kepada Allah Swt, bukan didominasi oleh kesenangan mencari kenikmatan dan pelampiasan syahwat. Jika naluri manusia bangkit, ia akan menuntut pemuasan. Sebaliknya, jika naluri itu tidak bangkit, ia tidak menuntut pemuasan. Jika belum berhasil mewujudkan pemuasan, manusia akan gelisah selama naluri tersebut masih bergejolak. Setelah gejolak naluri tersebut reda, rasa gelisah itu pun akan hilang.
Tiadanya pemuasan naluri tidak akan menimbulkan kematian dan gangguan, baik gangguan fisik, jiwa, maupun akal. Naluri yang tidak terpuaskan hanya akan mengakibatkan kepedihan dan kegelisahan. Dari fakta ini, pemuasan naluri bukanlah sesuatu keharusan sebagaimana pemuasan kebutuhan-kebutuhan jasmani. Pemuasan naluri tidak lain hanya untuk mendapatkan ketenangan dan ketenteraman.
Faktor-faktor yang dapat membangkitkan naluri ada dua macam: (1) fakta yang dapat diindera; (2) pikiran yang dapat mengundang makna-makna (bayangan-bayangan dalam benak). Jika salah satu dari kedua faktor itu tidak ada, naluri tidak akan bergejolak. Sebab, gejolak naluri bukan karena faktor internal, sebagaimana kebutuhan jasmani, melainkan karena faktor eksternal, yaitu dari fakta-fakta yang terindera dan pikiran yang dihadirkan.
Namun, pembahasan ini tidaklah dimaksudkan mengingkari manusia untuk meraih kenikmatan dan kelezatan hubungan seksual, tapi menjadikannya sebagai suatu bentuk kenikmatan yang dibenarkan oleh syariah. Yaitu semata-mata dalam rangka melestarikan keturunan yang selaras dengan tujuan tertinggi seorang Muslim untuk mendapatkan keridhaan Allah Swt. Firman Allah Swt: “…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu…” (TQS Al-Hujuraat [49]: 13).
Ayat-ayat yang datang, menjelaskan bahwa pada dasarnya naluri seksual (naluri mencintai) diciptakan untuk kehidupan suami-istri dalam suatu pernikahan, maksudnya untuk melestarikan keturunan. Dengan kata lain, naluri ini semata-mata diciptakan Allah Swt demi kehidupan bersuami-istri saja, bukan hubungan seksual laki-laki dan perempuan di luar ikatan pernikahan.
Firman Allah Swt: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembang- biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 01). Serta: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (TQS ar-Rûm [30]: 21). Dan hadits Rasulullaah saw, dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata: “Rasulullaah saw bersabda ‘Hai para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang sudah mampu menikah, maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat.’” (HR Jama’ah).
Masyarakat pun harus memiliki suatu peraturan dalam rangka mengendalikan diri manusia, pikiran tentang hubungan yang bersifat seksual melulu dan anggapan bahwa hubungan itu merupakan satu-satunya perkara yang dominan. Maka, harus ditegaskan perlunya mengubah secara total pandangan masyarakat mengenai hubungan laki-laki-perempuan. Pengubahan pandangan ini diharapkan akan menghilangkan dominasi pemahaman yang hanya berorientasi hubungan seksual (Kitab Nizhomul Ijtima’i).
Selanjutnya, kebijakan negara yang berlandaskan syariat Islam. Di sinilah peran penting sistem Islam dalam bingkai Negara Khilafah untuk mengelaborasi aturan Allah Swt dalam kehidupan manusia. Negaralah yang berperan untuk menjaga aqidah agar umat mendapatkan kemudahan yang sesuai syariat dalam memenuhi nalurinya untuk mencintai lawan jenis. Misalnya, menegakkan aturan menutup aurat yang sempurna saat berada dalam kehidupan umum, memudahkan fasilitas urusan pernikahan, tidak melarang poligami, menegakkan larangan berzina, hingga meluruskan dan senantiasa memelihara pemahaman umat agar tidak muncul kaum pecinta sesama jenis (homoseksual).
Khatimah
Praktik selalu tak semudah retorika. Bicara memang lebih mudah. Namun, jika kita tidak bersama Allah dan ajaran Rasul saw di tengah malam dan di ujung-ujung waktu siang hari, maka bagaimana mungkin kita bisa memahami cinta Allah Swt dan Rasul-Nya kepada kaum muslimin. Karena sungguh, hanya cinta kepada Allah Swt dan Rasul-Nya sajalah yang tidak akan pernah bertepuk sebelah tangan.
Terkait hal ini, ada sebuah hadits: “Sesungguhnya Allah Swt. berfirman, ”Barangsiapa menghinakan wali (kekasih)-Ku, ia telah terang-terangan memusuhi-Ku. Wahai Anak Adam, engkau tidak akan mendapatkan apa saja yang ada pada-Ku kecuali dengan melaksanakan perkara yang telah Aku fardhukan kepadamu. Hamba-Ku yang terus-menerus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan melaksanakan ibadah sunah, maka pasti Aku akan mencintainya. Maka (jika Aku telah mencintainya) Aku akan menjadi hatinya yang ia berpikir dengannya; Aku akan menjadi lisannya yang ia berbicara dengannya; dan Aku akan menjadi matanya yang ia melihat dengannya. Jika ia berdoa kepada-Ku, maka pasti Aku akan mengabulkannya. Jika ia meminta kepada-Ku, maka pasti Aku akan memberinya. Jika ia meminta pertolongan kepada-Ku, maka pasti Aku akan menolongnya. Ibadah hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah memberikan nasihat.” (Dikeluarkan oleh ath-Thabrâni dalam kitab al-Kabir).
Dalam sebuah hadits Qudsiy, Allah Swt berfirman: “Aku menuruti keyakinan (sangka) hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku selalu menyertainya bila ia mengingat-Ku. Maka jika ia mengingat Daku dalam dirinya, Aku pun mengingatnya didalam diri-Ku, dan jika dia mengingat-Ku ketika dia sedang berada di tengah-tengah khalayak ramai, niscaya Kuingat dia di dalam kumpulan orang yang lebih baik daripada mereka itu. Bila ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta, dan bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Maka, siapa saja yang membela Allah dan Rasul-Nya, dia tidak akan pernah dihinakan. Sebaliknya, siapa saja yang menghina-Nya, maka dia tidak akan pernah diberi pertolongan. Dia sangat dekat dengan hamba-Nya, ketika dia berdoa kepada-Nya. Dia Maha mengabulkan doa hamba-Nya, ketika dia memohon untuk dikabulkan. Dialah Dzat yang Maha Perkasa di atas hamba-Nya. Dialah Dzat yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui.
Wallaahu a’lam bish showab []