Dalam sejarah Indonesia merdeka, rakyat diperkenalkan dengan berbagai Orde dari rezim yang memerintah. Sebelumnya dikenal Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Dalam 10 tahun terakhir negara diperintah oleh Orde Citra dan Korup.
“Kaum bijak mengatakan, sejarah ditulis oleh para pemenang. Kenyataannya memang demikian. Pak Harto, misalnya, menyebut zaman Soekarno dengan Orde Lama. Dia sendiri mengklaim pemerintahannya sebagai Orde Baru. Saya kira sejarah ini harus ditulis ulang. Penyebutan Orde Lama sarat dengan stigma negatif. Padahal, era Soekarno lebih tepat bila disebut sebagai Orde Kemerdekaan. Sebaliknya zaman pak Harto lebih pas disebut Orde Otoriter,” ujar Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, DR Rizal Ramli, di sela-sela peresmian Rumah Usaha Kreatif Masyarakat (UKM), di desa Gondosuli, Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (12/1).
Menurut peserta Konvensi Rakyat Capres 2014 yang akrab disapa RR1 ini, di akhir kekuasaan Presiden Soekarno terjadi sejumlah ekses. Namun harus diakui jasa-jasa Bung Karno sangat besar sebagai pendiri bangsa, khususnya dalam perjuangan kemerdekaan. Kejatuhan Bung Karno juga tidak bisa dilepaskan dari intervensi internasional dalam konteks perang dingin antara Blok Barat vs Blok Timur.
Sebaliknya Soharto pada tahun-tahun awal pemerintahannya justru sudah memulai dengan sikap represif. Pemerintahan otoriternya semakin menemukan pembenaran pasca terjadinya peristiwa rekayasa kerusuhan 15 Januari 1974 yang dikenal dengan Malari. Sikap ini terus dipegang hingga tahun-tahun terakhir menjelang kekuasaannya tumbang. Karena itu, Orde Baru lebih tepat bila disebut sebagai Orde Otoriter.
Di sisi lain, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini mengakui Soeharto juga banyak meninggalkan prestasi positif bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Antara lain, kehidupan petani yang relatif baik dan harga-harga yang cukup stabil. Walaupun hidup dalam alam otoriter, pada umumnya rakyat bisa menjalani hidup tanpa beban yang berlebihan.
“Selanjutnya, pada masa Habibie meninggalkan warisan kebebasan pers yang sangat luar bisa. Media massa yang sebelumnya terbelenggu, pada masa Habibie menemukan peran sebenarnya sebagai pilar keempat demokrasi. Kemudian era Megawati, memberikan contoh tentang peranan penting wanita dalam kehidupan bernegara,” ungkap Capres paling reformis versi Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) ini.
Bagaimana dengan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)? Menteri Keuangan era Gus Dur ini menyebut era SBY sebagai Orde Citra, yang korup. Selama 10 tahun kekuasaannya, prestasi yang dihasilkan sangat minim. Pasalnya, presiden dan para menteri kabinetnya sibuk membangun citra dengan bermacam iklan dan propaganda tanpa kinerja nyata.
Pada saat yang sama, karya utama SBY adalah meningkatkan jumlah utang luar negeri Indonesia dengan luar biasa besarnya. Di awal pemerintahannya, utang Indonesia sebesar Rp1.000 triliun. Kini jumlahnya melonjak naik Rp 1.000 triliun menjadi Rp2.300 triliun lebih.
Pada masa pemerintahan SBY rakyat seperti menjadi yatim piatu. Rakyat harus berjuang sendiri menghadapi beratnya beban hidup akibat himpitan kenaikan harga berbagai barang dan jasa.
Pertumbuhan ekonomi yang dibangga-banggakan pun lebih banyak karena berkah situasi eskternal, terutama tingginya harga komiditas primer di pasar internasional selama 10 tahun terakhir dan juga ditopang arus masuk dana di pasar keuangan. Tidak berlebihan jika pada beberapa waktu dikenal istilah ‘negara auto pilot, negara tanpa pilot. Namun ketika harga komoditas turun dan uang panas di pasar finansial kembali ke negara-negara maju, ekonomi mulai bermasalah dan memasuki ‘lampu kuning’.
Adalah fakta sejarah, bahwa tiap-tiap presiden punya ciri khas. Soekarno membawa pesan pentingnya menjaga dan mempertahankan kemerdekaan. Soeharto pentingnya pembangunan. Habibie pentingnya kebebesan pers. Megawati pentingnya peranan wanita. Dan, masa SBY menunjukkan pentingnya sebuah negara tanpa presiden,” pungkasnya yang disambut gelak tawa 2.000 hadirin yang memadai Balai Desa Gondosuli. (*)
Rumah Perubahan
Karanganyar, 12 Januari 2014