Negeri muslim di belahan utara Benua Afrika dan lebih spesifik kawasan Timur Tengah, akhir-akhir ini semakin menarik untuk dikaji. Baik itu soal kondisi internal negara ataupun terkait kebijakan politik dan reaksi beberapa negara yang bila kasat mata seperti ikut campur dalam masalah krisis Timur Tengah. Dimana krisis yang mengoyak stabilitas keamanan di kawasan kaya sumber alam dan energi tersebut kian mengkhawatirkan.
Dimulai Tunisia, kemarahan kecil rakyat dipicu oleh kasus meninggalnya si tukang sayur Buoazizi pada 4 Januari 2011. Tepat 10 hari kemudian, rezim Ben Ali, sang diktaktor Tunisia yang telah berkuasa selama 23 tahun tumbang digantikan ketua parlemen Fousad Mebazza. Ben Ali penguasa pemerintahan sekuler yang gagal menjalankan sistem pemerintahannya.
Pemerintahan yang korup, represif, ketertutupan akses politik, pengangguran, liberalisasi ekonomi, pasar bebas, miskin sumber daya alam dan ketergantungan pada asing merupakan fakta tentang penderitaan rakyat Tunisia.
Seperti yang dilansir arrohmah.com (11/01/11), runtuhnya rezim diktaktor Tunisia yang menelan 78 jiwa rakyat sipil menjadi kekhawatiran bagi semua diktaktor timur tengah. Mereka khawatir rakyat di negara mereka akan menjadikan revolusi di Tunisia sebagai inspirasi. Abdul Bari Atwan, yang pernah menulis buku The Secret History of Al-Qa’ida memberikan ‘saran’ menarik untuk pemerintahan Amerika terkait revolusi di Tunisia. Atwan menyarankan pemerintahan AS menyiapkan sebuah pulau di Kepulauan Pasifik untuk menerima sekutu Arab dan para diktaktor lainnya.
Yvonne Ridley, jurnalis Muslimah yang juga seorang mualaf asal London, UK, berpendapat bahwa rakyat dunia Arab saat ini telah kehilangan rasa takut terhadap rezim-rezim Arab yang menindas dan korup yang disangga oleh kekuatan AS dan Eropa, dan akan mulai berjatuhan seperti efek domino.
Dia melanjutkan, "Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengirimkan Air Force One untuk mengumpulkan semua diktator, tiran dan para penguasa yang lalim yang digaji oleh AS dan membawa mereka kembali ke Washington. Seperti kotoran hewan peliharaan di New York Central Park, anda harus bertanggung jawab atas kekacauan anjing Anda."
Benar sekali apa yang mereka katakan. Karena itulah yang terjadi sekarang. Revolusi Tunisia bagaikan virus mematikan. Kini, dapat disaksikan bagaimana timur tengah bergejolak. Dari Mesir, Aljazair, Yordania, Yaman, Irak, Suriah, Iran, hingga Libya.
Mesir. Sejak 25 Januari 2011 rakyat Mesir berjuang melawan ketertindasan diktatornya Husni Mubarok selama 17 hari. Walau memakan ratusan rakyat perlawanan rakyat Mesir berhasil.
Sang diktator yang menguasai Mesir selama 30 tahun akhirnya tumbang. Menjelang Pemilu Presiden, Mesir kini dipimpin pihak militer. Walaupun, Kabel diplomatik terbaru terbitan WikiLeaks soal krisis Mesir dirilis. WikiLeaks menyebut pemerintah Amerika Serikat (AS) sejak awal memang telah menyiapkan Kepala Badan Intelijen Mesir Omar Suleiman sebagai presiden Mesir mendatang. Walau tidak menutup kemungkinan posisi presiden diraih El Baradei yang juga boneka Amerika.
Di Aljazair, Yordania, Yaman, Irak, Suriah, dan Iran, beberapa kelompok massa terus berkumpul meneriakan yel-yel anti pemerintah. Sama dengan Tunisia dan Mesir, penyebab utama adalah masalah social seperti kemiskinan, pengangguran dan rezim yang korup.
Dan sekarang Libya, 300 lebih rakyat anti pemerintahan Khadafi dinyatakan meninggal sejak 15 Februari 2011 akibat serangan militer dan pihak pro pemerintah rezim Khadafi. Ratusan ribu rakyat memilih keluar Libya. Lagi-lagi permasalahannya sama. Khadafi adalah diktator Libya yang represif, korup dan kaya. Yang menguasai Libya sama lamanya dengan Mubarok. Menjelang kemundurannya, ada kemungkinan militer dan kroni-kroni Khadafi sendiri yang akan menggantikan posisi presiden Libya.
Revolusi yang kini terus menyebar di kawasan Timur Tengah memberikan warna tersendiri terhadap analisa banyak pengamat. Muncul anggapan revolusi tersebut didalangi pihak Barat. Pengamat Timur Tengah Azyumardi Azra yakin revolusi yang menyebar di Timur Tengah murni dari gerakan rakyat. Revolusi terjadi karena rakyat telah muak dengan kekuasaan otoriter yang korup dan gagal membangun kesejahteraan rakyatnya. "Gerakan-gerakan perlawanan itu murni dari rakyat, bukan dari Barat khususnya Amerika Serikat," kata Azyumardi dalam percakapan dengan detikcom (28/02/11).
Para penguasa Timur Tengah yang tumbang seperti Ben Ali dan Hosni Mubarak selama ini merupakan sekutu bagi AS. AS punya kepentingan mempertahankan para sekutunya untuk tetap memimpin negaranya masing-masing. Tapi menghadapi revolusi rakyat yang tidak terbendung, mau tidak mau membuat AS berbalik mendukung revolusi tersebut. "AS dan negara-negara lain tidak punya pilihan lain, kecuali menerima pergantian kekuasaan tersebut," urai Azyumardi.
Menanggapi penolakan tentang tiada campur tangan AS dan Barat dalam krisis timur tengah menarik untuk dibahas. Ingat, krisis timur tengah kini menjadi persaingan tersendiri bagi kepentingan AS dan Barat di kawasan kaya minyak tersebut. Aljazeraa.net (29/01) mengutip pernyataan Simon Tisdall dalam artikelnya di The Guardian yang menggambarkan sikap hipokrit dari AS. “Secara teoritis, Amerika mendukung reformasi politik Mesir, tetapi dalam prakteknya mendukung rezim despotik untuk alasan praktis yang berkaitan dengan kepentingan nasional,”tulis Simon.
Dalam kasus Tunisia, beberapa hari setelah rezim Ben Ali digulingkan, Amerika menawarkan bantuan militer dan kemanusiaan kepada Tunisia. Dan menyiapkan rezim baru yang pro Amerika. Kepada Mesir, AS sempat berusaha mempertahankan rezim Mubarak dengan tuntutan reformasi total yang damai . Joe Biden , wakil presiden AS bahkan membela Mubarak dengan mengatakan bahwa Mubarak bukanlah diktator.
“Mubarak telah menjadi sekutu kita dalam beberapa hal dengan. Dan dia sangat bertanggung jawab atas kepentingan geopolitik regional, perdamaian Timur Tengah upaya, tindakan Mesir juga melakukan normalisasi hubungan dengan – Israel. … Aku tidak akan menyebut dia sebagai diktator, “tegas Biden (CSmonitor.com 28/01). Begitu pula dengan Libya, ada urusan apa sampai-sampai AS menekankan ada aktivitas demokrasi yang baik di Libya.
Perlu dicatat, Amerika dan Barat akan selalu bersikap pragmatis. Seperti persaingan yang terjadi diantara mereka. Seperti AS dan Inggris atau Prancis. Alasan atas nama kepentingan inilah yang membuat Soeharto di Indonesia, atau Marcos di Philipina tumbang. Amerika akan mengganti Mubarak dengan rezim baru yang tampak demokratis tapi masih dibawah kontrol Amerika. Begitupula yang sebentar lagi akan terjadi pada Libya. Termasuk mungkin wilayah yang jauh dari Timur Tengah, Indonesia. Dengan kata lain, sudah saatnya boneka senior AS diganti boneka junior AS. Sudah saatnya, boneka senior menjadi tumbal revolusi rakyat.
Oleh karena itu, sangat disayangkan jika perubahan yang terjadi di negara-negara Timur Tengah yang sedang mengalami krisis politik ini hanya berakhir pada pergantian rezim saja. Apalagi jika tetap berada dalam kontrol langsung dari AS dan Barat.
Sebab persoalan Timur Tengah dan negeri muslim lainnya disebabkan karena rezim yang mudah diintervensi asing. Yaitu AS dan Barat. Akhirnya, semua pengorbanan nyawa rakyat Timur Tengah harus dibayar dengan tetap langgengnya ideologi rezim.
Kapitalisme. Yang jelas-jelas telah mengakar kuat menjadi sistem yang wajib diadopsi di Negara tersebut. Yang jelas membuat manusia mengalami penderitaan yang tak kunjung berakhir. Hasilnya, revolusi ini hanyalah memakan korban nyawa demi reformasi atau perubahan yang tidak hakiki, tidak berkah dan mendasar. Demi kepentingan kelompok pragmatis dan kepentingan Amerika Serikat dan Barat tentunya.
Zuhandri, Korda BKLDK Palembang, Tim redaksi dakwahkampus.com dan mahasiswa semester 7 Teknik Kimia Universitas Sriwijaya. 085273277455