Jika memilih maju maka yakinlah akan menang. Jika telah tiba waktu siapkan mental untuk kalah!!
Calon legeslatif pemilu kali ini menjamur, dipastikan kontestan yang bertanding dalam pesta rakyat 2009 melebihi tahun-tahun sebelumnya. Setelah ini, tepatnya setelah hari pemilihan dan pengumuman siapa yang berhak menduduki singgasana kursi dewan, hanya segelintir calon saja yang akan meraihnya, selebihnya kembali akan menjadi pecundang.
Ah, terlalu cepat mendefenisikan mereka sebagai pecundang. Toh buktinya banyak juga di antara mereka (sebagaimana pengalaman pemilu sebelumnya) menjadi tokoh-tokoh sentral dalam berbagai aktifitas dan pergerakan.
Tetapi klaim menjadi pecundang kembali juga bukan asal keluar. Di luar sana, sangat banyak mereka yang terkena depresi akibat kegagalan meraup suara menuju kursi kehormatan. Gelora semangat semasa kampanye berubah menjadi jeritan penuh derita dan kesedihan. Ketika hasrat tidak digapai, serasa palu godam menghujam di atas kepala. Manusiawi memang!!
Jika kita mencoba untuk menyikapinya dengan bijak. Kecewa memang, siapa yang tidak kecewa jika program kemaslahatan yang telah dirancang gagal diaplikasikan. Tetapi larut dalam kekecewaan bukanlah satu solusi. Lebih parah lagi, menjadi rongrongan bagi siapa yang terpilih.
Realita politik yang sedang dipertontonkan oleh pejabat kita sangatlah tidak bijak. Ketika tidak meraih jabatan tertentu malah menjadi “pengawas” yang siap membeberkan kesalahan orang lain.
Bukan tidak boleh memantau, tetapi memantau dengan alasan untuk menjatuhkan sungguh bukan suatu sistem politik yang fair.
Saya teringat salah seorang presiden Indonesia pernah mengatakan bahwa orang yang tidak menghadiri upacara peringatan kemerdekaan Indonesia bisa dicap tidak memiliki nilai nasionalisme, bahkan di daerah tertentu ketika itu diberikan wewenang untuk kepolisian agar memaksa masyarakat mengkikuti perayaan hari bersejarah tersebut. Tetapi sangat ironi, setelah turun dari kursi kepresidenan justru ia tidak menyambut undangan untuk duduk di bangku kehormatan upacara hari kemerdekaan.
Dua hal yang sangat ingin saya kritisi. Pertama adalah miskinnya penilaian untuk mengukur nasionalisme; hanya dengan mengikuti upacara agustusan. Kedua, sikap yang ditunjukkan sang presiden yang tidak memenuhi undangan upacara.
Sikap kontroversial yang ditampilkan ini terlihat jelas. Di satu sisi dia menilai rasa nasionalisme itu melalui upacara agustus, tetapi di sisi lain justru dia yang bersikap antinasionalisme. Tidak ada satu komitmen pasti antara masa menjabat presiden dan setelahnya. Sungguh sebuah kemunafikan yang nyata.
Jika kita mengembangkan tesis ini, maka di sana akan kita temukan pelbagai kenyataan pahit yang mengarah ke arah sana. Kasus penjatuhan nama baik dan kritikan pedas yang ditampilkan oleh sebagian pengamat cederung bertujuan untuk menjatuhkan pemangku kebijakan.
Demokrasi yang mencakup bebas berpendapat sering dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menjatuhkan lawan politiknya. Jangankan memilih mendukung di balik layar, ia malah memposisikan diri sebagai musuh dalam selimut. Penulis katakan dalam selimut karena ia berada di lingkup sistem yang sedang dijalankan, dan seharusnya ia sebagai pendukung sistem tersebut.
Hanya satu penyebabnya. Sejak kecil mungkin kita diajarkan untuk menang, sangat jarang kita diberikan arti dari sebuah kekalahan.
Perfeksionitas dalam pandangan ini sungguh tidak bisa kita jadikan sebagai standar kesempurnaan. Karena mereka yang berhasil bukan saja ketika meraih kemenangan, tetapi ketika mereka bijak menanggapi kekalahan, mereka tergolong orang yang menang.
Ketika kita dihadapkan kepada sebuah kegagalan, tidak semestinya mencari kambing hitam. Tetapi beri apresiasi kepada siapa saja yang menang. Dalam skala pemilu kali ini, setelah gagal dalam peghitungan suara, bukan berarti program telah habis, Kita bisa mengeksplorasikan diri dalam pemerintahan yang terpilih.
Tujuan dari dilaksanakannya pesta demokrasi ini adalah untuk mencerdaskan rakyat dan membawa perubahan bagi masyarakat. Dalam taraf lebih luas sering dikatakan sebagai usaha mengembangkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Tetapi bagaimana usaha dan upaya ke arah ini akan diajalankan, sementara aktor politik yang ada tidak didukung oleh sebagian kecil golongan yang justeru menjadi public figure.
Sikap para elit seperti ini justeru akan membingungkan masyarakat. Di satu sisi masyarakat harus giat mendukung kinerja pemerintah, di sisi lain mereka dibuat ragu dengan stigma yang dilepas oleh para elit parpol. Alhasil, arah perubahan yang dituju selalu mengalami sandungan.
Mental menerima kekalahan rasanya belum dimiliki elit kita saat ini. mereka lebih senang melempar tuduhan dan mencari kesalahan orang lain. Padahal pemilu yang diselenggarakan kali ini telah menyita berbagai pihak dengan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, apa salahnya jika kita tidak membingungkan negara dengan permasalahan pribadi atau kepentingan organisasi.
Pemilu legeslatif usai sudah, persaingan pun telah selesai.
Cukuplah masa bersaing itu sebelum pemilu. Kini, saat rakyat butuh dengan perubahan, marilah seiiring mengayun langkah menciptakan sebuah pemerintah yang bersih demi tercapainya amanat rakyat.
Kerja sama antar elit perlu ditegakkan guna tercapainya cita-cita bangsa. bangsa kita saat ini sudah sangat lelah dengan pertikain tanpa ujung antar parpol. Untuk menjadikan Indonesia sebagai negeri yang madani, tidak dibutuhkan banyak suara, tapi seberapa besar anda bisa bekerja untuk rakyat.
Bangsa ini membutuhkan tangan-tangan dingin yang bergerak bukan atas dasar emosi apalagi keserakahan. Ketika memberi kritikan ia juga bisa membeberkan solusi. Bukan hanya memperuncing masalah, tetapi argumennya bisa dijadikan patokan untuk mencari kebenaran. Elit parpol tidak hanya diajarkan cara meraih suara, tetapi pelajari pula bagaimana etika memberi pendapat.
Kritikan yang bertujuan menjatuhkan pihak tertentu akan berakibat fatal bagi perkembangan bangsa ini. sudah sangat banyak komentator dan kritukus lahir dari rahim bangsa, tetapi lihatlah, berapa di antara mereka yang berhasil membawa perubahan.
Bukan bermaksud menyempitkan makna reformasi; atau kebebesan berpendapat di muka umum. Tetapi tulisan ini berusaha mengetengahkan sebuah polemik yang telah menjadi kebiasaan para elit di Indonesia. kemudian akan menjadi pertimbangan bagi kita sebagai rakyat awam, agar tidak gerah dengan statement yang kadang kala tidak berbobot.
Politik akan mengajari anda belajar banyak hal, termasuk untuk menerima kekalahan. Sikapi politik sebagai ajang pembelajaran, bukan arena mencari mangsa atau kekuasaan. Seberapa besar kemampuan anda untuk mawas diri, maka sebesar itulah politik telah mengajari anda. Semoga.
Penulis adalah Zahrul Bawady M. Daud, Alumni Madrasah Ulumul Quran Langsa, Mahasiswa Al-Azhar Kairo