Apa kiprah KAMMI untuk bangsa? Sebuah pertanyaan sederhana, namun pasti terasa sulit menjawabnya. Kenapa? Jelas, membaca perkembangan terkini, organisasi ini diakui atau tidak memang miskin kiprah. Barangkali kiprah terbesar organisasi ini hanya berada pada fase awal kelahiran yaitu ikut menurunkan rezim Soeharto.
Selepasnya, ibarat ada dan tiada. Mungkin pernyataan ini terkesan mengerdilkan dan mengecilkan kiprah KAMMI, tapi apa boleh buat, kenyataan memang demikian. Sebagai organisasi besar, setidaknya secara kuantitas (jumlah anggota), miskinnya kiprah ini menjadi tanda tanya besar, ada apa dengan KAMMI, kemana KAMMI selama ini?
Menyambut Muktamar KAMMI yang akan berlangsung di kota Serambi Mekah nanti, rasanya KAMMI perlu mendapat penyegaran. Penyegaran ini penting agar KAMMI bisa diperhitungkan dalam kancah gerakan mahasiswa. Setidaknya, ada 3 hal penyegaran KAMMI ini. Memang bukan sesuatu yang baru, tapi selalu perlu. Diantaranya:
Penyegaran pertama, meruntuhkan Rezim SBY-Boediono. Bagi kader KAMMI yang mengidap pesimisme tingkat akut, maka mereka akan menganggap penyegaran ini hanya sia-sia, impian kosong belaka, tidak akan pernah tercapai. Mungkin, ratusan kader KAMMI masuk dalam golongan menyedihkan ini. Namun, seperti kisah para pecundang, telah terbukti bahwa pesimisme tidak akan pernah menghasilkan apa-apa. Namun, ketika mimpi-mimpi benar-benar menjadi kenyataan dan usaha itu dilakukan oleh kelompok lain, maka mereka hanya bisa melongo.
Kasus ini, pernah terjadi ketika anak-anak KAMMI menolak BHMN pada universitas-universitas di Indonesia. Mereka, para kader KAMMI, terutama yang bercokol di Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM) menyerah pasrah. Mereka sadar bahwa pemberlakuan BHMN itu salah, tapi perjuangan loyo, tanpa nyali, tak punya ruh perjuangan yang tinggi. Akhirnya, ketika kelompok lain berhasil menggagalkan pemberlakuan BHMN, mereka benar-benar hanya bisa melongo. Seolah tak percaya kalau kenyataan ini benar-benar terjadi.
Semestinya, KAMMI harus belajar banyak dari contoh kasus diatas. Dengan kajian apapun dan dengan bukti-bukti yang sederhana saja, rezim SBY-Boediono ini sangat tidak layak dipertahankan, dan sangat perlu disudahi. Tapi, lagi-lagi KAMMI hanya bisa diam.
Penyegaran kedua, menegaskan independensi
Bisa jadi, independensi dibilang soal klasik. Dibilang tidak relevan lagi untuk dibicarakan. Padahal sebenarnya inilah kunci kewibawaan KAMMI dalam berkiprah untuk bangsa ini. Sikap-sikap independen dalam mensikapi beragam isu menjadi bagian penjagaan kewibawaan itu sendiri.
Namun, independensi ini rupanya tidak juga dimiliki oleh KAMMI, baik secara institusi maupun kader-kadernya secara individu. Ada beberapa sebab kenapa independensi ini tidak juga dimiliki oleh KAMMI. Salah satunya adalah soal “dapur” yang masih menjadi persoalan dalam tubuh KAMMI. Ya, mereka masih mengandalkan “Bapak Angkat” untuk menjalankan roda organisasi. Maka, sejauh itu pula independensi ini tak pernah bisa terwujudkan, dampaknya KAMMI tidak menjadi gerakan mahasiswa yang disegani kawan maupun lawan, namun hanya sekedar menjadi kacung “Bapak Angkat”.
Penyegaran ketiga, merumuskan arus utama (mainstream) gerakan
Perumusan arus utama gerakan ini sebenarnya sudah sering dirumuskan dengan cukup baik oleh KAMMI. Hanya saja, kadang implementasi jauh dari harapan. Entah, kenapa hal ini bisa terjadi. Jangan-jangan para kader sendiri tidak benar-benar percaya dengan arus utama gerakan yang diusungnya. Jika persangkaan in benar tentu sebuah kondisi tragis dan mengenaskan. Bagaimana mungkin seseorang atau organisasi tidak benar-benar percaya atas sesuatu yang diperjuangkan. Padahal adanya kepercayaan dan keyakinan atas sesuatu yang diperjuangkan itulah sejatinya ruh dan bara sebuah gerakan.
Arus utama gerakan yang saya maksud disini adalah “istilah” yang sering didengung-dengungkan KAMMI dan menjadi kebanggaan ketika membicarakannya. Pada kurun waktu tertentu, “istilah” itulah yang menjadi titik ujung gerakan. Semacam tegaknya Khilafah dalam bahasa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Sepanjang sejarah pergerakan, KAMMI telah berhasil menelurkan “istilah” gagah tersebut. Katakanlah “Junta Pemuda”, “Intelektual Profetik” dan sekarang ini sedang mengusung “Muslim Negarawan” Pertanyannya adalah sejauh mana arus utama gerakan ini bisa membekas dari pribadi tiap kader KAMMI dan punya dampak yang sinifikan bagi perubahan atas republik ini kepada tatanan yang lebih baik?
Sepertinya, proses internalisasi sedang berlangsung Bekasnya dan dampaknya bisa jadi akan muncul 10 atau 15 tahun mendatang. Namun, koreksi tetap terus dilakukan apakah sesuatu yang diusung itu masih relevan terhadap perkembangan jaman, atau malah sebaliknya menjadi narasi yang usang, basi dan utopis.
Untuk itulah diperlukan penyegaran. Salah satunya adalah dengan kembali mengobarkan perlawanan terhadap kapitalisme global. Sejatinya, inilah yang saat ini benar-benar relevan. Lihat saja, pemimpin negeri ini sejatinya adalah antek kapitalis global. Rezim, pro Amerika Serikat (AS). Ideologi kapitalisme global sudah sejatinya selalu dan selalu terus mendapatkan perlawanan.
Termasuk menimbang demokrasi dengan efisiensi dalam setiap urusan ketatanegaraan dan kemasyarakatkan. Dengan mengedepankan lokalitas dan nilai-nilai ketimuran, dalam hal ini Islam menjadi bagian dari spirit ketimuran yang perlu diimplementasikan. Anjuran, untuk “Menikmati Demokrasi” sudah selayaknya dienyahkan dalam kamus pemikiran kader KAMMI sebab sesat dan menyesatkan. Demokrasi bukan untuk dinikmati, terutama demokrasi ala barat. Tetapi harus “dilawan” dan disiasati dengan efisiensi dalam setiap bentuknya.
Itulah beberapa penyegaran yang bisa dilakukan oleh KAMMI. Sambil, terus mengawasi dan menendang jauh-jauh para penumpan gerap gerakan. Mereka adalah orang-orang yang masuk KAMMI hanya demi kepentingan pribadi, mendapatkan akses politik untuk ambisi keuntungan diri semata. Misalnya, orang yang masuk KAMMI hanya agar bisa mendapatkan beasiswa sekolah S2, selepasnya mereka tidak pernah punya kontribusi sama sekali untuk kemajuan KAMMI.
Inilah salah satu wajah penumpang gelap “Terkutuk” yang perlu diwaspadai. Atau mereka yang hanya menjadikan KAMMI sebagai kendaraan politik untuk meraih ambisi pribadi, mendapatkan pekerjaan sebagai asisten pribadi anggota dewan atau staf ahli sebuah fraksi partai politik. Mereka sama saja. Semacam gulma diladang gerakan.
Inilah beberapa penyegaran yang perlu mendapatkan perhatian KAMMI. Setidaknya, sebagai wacana perbicangan dan pantikan awal agar Muktamar yang akan dilangsungkan tidak sepi ide. Tapi, kaya akan ragam ide, usulan dan gagasan yang menjadikan bangunan KAMMI lebih kokoh dan bisa bertahan sesuai semangan jaman. Begitu juga, bisa menjadi gerakan yang diperhitungkan dengan kiprah-kiprah relevan dalam konteks ketatanegaraan dan kemasyarakatan.
*Yons Ahmad, Mantan Humas KAMMI Pusat. Peminat kajian kenegaraan. CEO Kanetwork Indonesia, tinggal di Jakarta.