Negeri ini kembali terhentak, buminya bergetar lagi karena lagi-lagi bom menggetarkan tanah tempat penghuninya berpijak. Skalanya mungkin tak sebesar dulu kala istilah terorisme pertama kali menjadi lekat di telinga masyarakat Indonesia, tapi tetap saja meskipun kecil bumi Indonesia kini bergetar lagi.
Mungkin bukan karena besar atau kecil bom yang meledak tapi memang istilah terorisme itu sendiri yang telah menjadi teror bagi penghuni negeri ini.
Ketika pertama kali pelaku terorisme didapati sebagi orang yang berjenggot, serta kerap kali bertakbir dan berucap jihad maka terorisme pun hampir didefinisikan seperti itu. Dan definisi terorisme itulah yang akhirnya meneror penghuni bangsa ini.
Mereka yang tidak tahu atau mungkin kurang tahu tentang apa itu jenggot, takbir, dan jihad akan terteror dengan ketidaktahuan mereka. Setiap kali ada manusia berjenggot yang lalu lalang, merasa was-waslah mereka, mungkin ada bom di balik ransel yang dikenakannya.
Ketika ada banyak orang berkumpul dan meneriakkan takbir, paniklah mereka, mungkin itu persiapan mental untuk meledakkan bangsa ini, padahal mereka sedang membesarkan nama Rabb-nya. Dan ketika mereka mendapati ceramah keagamaan tentang jihad di sebuah pesantren, mendugalah mereka, jangan-jangan itu pesantren sarang teroris.
Hampir saja bangsa ini dibuat bingung dengan definisi-definisi tersebut. Jenggot, takbir, dan jihad juga merupakan istilah yang lekat dengan Islam hingga mungkin beberapa masyarakat Indonesia mendapati dalam kepalanya sebuah kesulitan untuk membedakan yang mana terorisme dan yang mana Islam?
Beruntunglah bangsa ini masih mempunyai muslim-muslim yang cerdas yang mampu memberikan penjelasan dan menggiring masyarakat untuk berpikir lebih cerdas bahwa terorisme dan Islam itu beda! Hingga tak sampai masyarakat mencampuradukkan antara Islam dan terorisme. Indonesia harus tau bahwa masyarakatnya harus cerdas dan harus ada yang mau mencerdaskan.
Masyarakat Indonesia pun harus melihat Islam dalam wajah yang lebih cerdas dan harus ada yang mau memperlihatkan wajah itu. Jika salah satu parameter intelektualitas sebuah bangsa diukur dari kualitas perguruan tingginya maka memang jelas bahwa kampus harus jadi sarangnya intelek muda.
Berkaitan dengan wajah Islam, maka wajah Islam di kampus lah yang harus menjadi representasi wajah Islam yang cerdas, dan Lembaga Dakwah Kampus harus mau memainkan peran ini.
Tak Perlu Mengenakan Title Kampus Jika Tak Cerdas
Jika lembaga dakwah kampus tak bisa mentransformasi gerakan menuju dakwah yang cerdas, untuk apa title kampus tetap melekat dalam sebuah lembaga dakwah? Kampus menjadi representasi masyarakat yang cerdas, yang tidak banyak manusia Indonesia memiliki kesempatan menjadi cerdas ala masyarakat kampus. Hanya 12,72 % manusia Indonesia yang memiliki kesempatan itu (Data Biro Pusat Statistik 2009).
Gerakan lembaga dakwah kampus pun kini harus bisa menanamkan kekhasan kampus sebagai gerakan intelektual muda. Syiar dan pelayanan yang menjadi fokus gerak lembaga dakwah kampus harus bisa menjadi representasi gerakan yang cerdas. Syiar yang dilakukan lembaga dakwah kampus bukan lagi hanya di masjid karena mereka yang ada di masjid sudah terlanjur menjadi sholeh.
Syiar lembaga dakwah kampus harus cerdas dan mampu menyentuh ruang-ruang logika mahasiswa. Kenapa ini dan kenapa itu tak cukup hanya sekedar dijawab dengan sebuah dalil, pengurus lembaga dakwah kampus pun harus mulai berjalan pada realita (tanpa meniggalkan dalil), menggenggam kondisi nyata yang terjadi di masyarakat.
Kampus yang menjadi miniatur kehidupan sesungguhnya harus dioptimalkan oleh lembaga dakwah kampus. Bagaimana kampus hari ini akan menjadi realita bangsa 10 atau 20 tahun yang akan datang. Begitupun seorang muslim. Bagaimana muslim kampus hari ini akan menjadi realita muslim bangsa pada 10 atau 20 tahun yang akan datang. Dan hari ini tentu kita berharap akan ada muslim-musim pembaharu yang cerdas pada 10 atau 20 tahun yang akan datang.
Lembaga Dakwan Kampus Hari ini
Lembaga Dakwah Kampus bukan lagi hanya sekedar penyelenggara kajian, pengumandang adzan, atau pemelihara jenggot. Pengurus Lembaga Dakwah Kampus harus bisa menjadi representasi muslim yang cerdas, yang tidak hanya pandai berdzikir dan membaca al Qur’an.
Pengurus Lembaga Dakwah Kampus adalah arsitektur peradaban masa depan, mereka adalah pilar yang akan menyokong tingginya martabat Indonesia di mata dunia, mereka juga penyokong pijar dan terangnya peradaban dunia.
Lembaga Dakwah Kampus harus mampu dan mau untuk itu agar Indonesia tahu bahwa muslim itu cerdas dan kami punya cita yang tinggi terhadap bangsa ini.
Wallahu a’lam
Topan Bayu Kusuma, Mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer UI Angkatan 2007