Menurut Pahlawan kita bersama, Mohammad Natsir, ada tiga benteng atau kekuatan yang dimiliki oleh umat Islam, yaitu: masjid, pesantren dan kampus. Ketiga benteng ini adalah kekuatan yang menjaga keutuhan dan rasa kebersamaan dalam ukhuwah Islamiyah umat Islam dimanapun berada.
Ketimpangan atau kelemahan dan keterbelakangan umat Islam disebabkan karena melalaikan ketiga hal ini. Olehnya itu, maka optimalisasi ketiga unsur ini, apatah lagi dalam konteks keindonesiaan kita, adalah mendesak untuk ditingkatkan.
Benteng Pertama: Masjid
Masjid adalah tempat umat Islam bersujud, menyatakan diri sebagai makhluk yang tunduk dan pasrah pada ketentuan Allah Swt. Di masjid, umat Islam menjalankan ritual seperti ibadah mahdhah, dengan bertujuan semata untuk mendapatkan keridhaan dari Allah saja. Bukan untuk popularitas, karir, atau loncatan demi mencapai tujuan duniawi tertentu.
Selain sebagai tempat ibadah, masjid adalah tempat dimana umat Islam—apapun suku bangsanya—berada dalam posisi yang sama. Jika seorang miskin datang lebih awal pada shalat berjamaah dan berada di shaf pertama, maka posisinya tetap tidak bisa diganggu gugat. Ia bisa duduk bersama dengan jamaah lain yang mungkin lebih tinggi derajat sosialnya. Ini menunjukkan bahwa dalam beribadah di masjid, faktor status sosial tidaklah berpengaruh banyak pada posisi kita dalam menempati shaf dalam shalat.
Dewasa ini kita melihat masjid yang dimiliki umat Islam sudah bertebaran dimana-mana. Dari hari ke hari, masjid-masjid itu dimodifikasi sedemikian, dipercantik dengan tujuan agar para jamaah betah untuk beribadah di dalamnya. Namun, yang disayangkan dari bangunan masjid yang megah itu adalah masih minimnya pembinaan keislaman bagi para jamaah. Padahal, pembinaan, juga membicarakan masalah umat Islam di sekitar lingkungan masjid atau yang lebih luas begitu penting untuk ukhuwah Islamiyah dan pencerdasan umat Islam.
Benteng Kedua: Pesantren
Ternyata, para santri adalah golongan pejuang yang di masa penjajahan dulu banyak memberikan sumbangsih bagi kebangsaan kita. Para laskar seperti Hizbullah di tanah Jawa adalah para santri. Jauh sebelumnya, perjuangan Imam Bonjol di Sumatera Barat basisnya juga kaum santri. Bahkan Jenderal Soedirman dulunya adalah aktivis Islam yang tak lalai dalam shalatnya.
Sudah banyak pesantren bertaburan di negeri kita ini. Dan, pembinaan pesantren ini ternyata banyak melahirkan tokoh besar dalam sejarah kita. Tokoh-tokoh bangsa kita saat ini, sebutlah seperti Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin, Hidayat Nurwahid, Abu Bakar Ba’asyir, adalah alumni Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo (Jawa Timur) yang ketika mereka menjadi santri, kurikulum pesantren tersebut bahkan tidak diakui oleh pemerintah kita. Tapi, yang menarik kemudian adalah, dari pesantren inilah muncul satu persatu tokoh besar dalam lingkup komunitasnya, bahkan dalam ranah keindonesiaan.
Pesantren adalah basis dari perjuangan Umat Islam. Maka kurikulum pesantren dibuat sedemikian rupa agar para santrinya kelak, apapun profesi yang akan mereka geluti, akan tetap menjalankan syariah secara baik. Dalam konteks intelektual, lulusan yang diharapkan dari pendidikan pesantren adalah agar para santri bisa menjadi cerdas secara pemikiran dan shaleh secara pribadi dan sosial.
Benteng Ketiga: Kampus
Kampus juga sudah banyak bertaburan di negeri kita. Kampus adalah tempat dimana para civitas akademika bisa mengembangkan diskursus keilmuan, penelitian pada akhirnya nanti akan berujung pada pengabdian masyarakat. Maka tak heran kemudian kita melihat rata-rata tokoh besar negeri ini, pernah mengenyam bangku kuliah di perguruan tinggi.
Maka, jika kemudian ada kegiatan kampus yang malah kontra produktif, itu berarti ada yang salah apakah dalam sistem pendidikan tinggi kita ataukah dari pembinaan keislaman yang begitu rendah. Tawuran yang menjadi rutinitas sungguh tidak pernah diajarkan dalam sistem pendidikan kita, bahkan dalam agama. Dalam kajian tentang “Power” (kekuatan) dalam ranah teori Hubungan Internasional, kita mendapati bahwa “Semakin tinggi peradaban umat manusia, maka semakin rendahlah tingkat pengunaan kekerasannya.” Ini berarti bahwa, sesiapa dari kita yang masih hobby menggunakan kekerasan—dalam luar batas toleransi—berarti sesungguhnya ia masih berada pada tingkat peradaban yang rendah, walau hidup di jaman yang modern.
Benteng kampus inilah yang oleh Pak Natsir diperhatikan. Karena beliau melihat bahwa umat Islam Indonesia ini akan bisa bertahan dan maju kalau tingkat pendidikannya juga bagus, maka beberapa kampus seperti UII di Jogja dan UMI di Makassar juga mendapatkan perhatian dari Pak Natsir.
Kemajuan bangsa kita yang mayoritas adalah umat Islam adalah tidak terlepas dari kemajuan dari ketiga unsur ini. Masjid yang ramai jamaahnya, kegiataannya adalah rahmat bagi warga di sekeliling masjid tersebut. Begitu juga dengan pesantren yang senantiasa melahirkan para insan yang terdidik dan shaleh, adalah kebutuhan kita bersama untuk mengantisipasi perubahan zaman yang begitu permissif. Kampus yang melahirkan intelektual yang tercerahkan yang berpikir pada pengabdian masyarakat adalah kita harapkan juga.
Tiga benteng di atas, adalah kekuatan yang mesti terjaga dalam tubuh umat Islam. Jika ketiga tubuh ini terjaga dengan bagus, maka negeri kita yang mayoritas Islam bisa tampil sebagai negeri yang kuat, shaleh, dan produktif. ***
Profil Penulis :
Yanuardi Syukur, lahir di Tobelo (Halmahera Utara), 13 Januari 1982. Tamat dari Ponpes Darunnajah, Antropologi FISIP Unhas Makassar, kemudian melanjutkan ke Program Pascasarjana UI Angkatan 2008. Tulisannya pernah dimuat di Identitas, Fajar, Tribun Timur, Annida, Saksi, Sabili, eramuslim.com dan beberapa buku antologi. Email: [email protected]. Blog: yankoer.multiply.com