Keberlangsungan perjalanan syari’at Islam di Aceh saat ini sepertinya berada dalam situasi yang sangat mengkhawatirkan. Pelangagaran terhadap nilai-nilai Islam telah semakin parah memasuki semua lini kehidupan masyarakat kita. Mulai dari kasus-kasus pelenggaran syari’at yang dilakoni oleh rakyat kecil, sampai kasus-kasus besar yang diperankan oleh para elit dan intelektual dan bahkan oleh mereka yang yang diamanahkan menjadi polisi yang bertugas mengawali syari’at Islam(WH).
Ada dua pemandangan yang sangat bertolak belakang yang akhir-akhir ini kita saksikan riuh dibicarakan oleh hampir semua media dan segmen anak negeri. Pertama, polemik Qanun Jinayat yang hingga saat ini masih belum berhasil diimplementasikan karena keengganan Bapak Gubernur kita untuk menandatanganinya.
Kedua, kasus asusila WH kota Langsa yang cukup menyedotkan perhatian publik dan semua media massa di Aceh. Kedua pemandangan ini adalah dua gambaran yang pada dasarnya sangat berkaitan dan berhubungan.
Asusila WH Langsa jelas merupakan sebuah kasus biadab yang tak bisa ditoleril. Karena disamping hal tersebut dilarang Allah juga karena pemerkosaan tersebut dilakukan secara berjamaah(pengeroyokan). Penulis sangat rajam adalah hukuman yang setimpal bagi para pelaku asusila tersebut.
Namun, masalahnya bagaimana menghukum mereka dengan hukum rajam ini sementara hingga saat ini belum disahkan oleh Gubernur kita?. Kita ketahui bahwa Qanun Jianyat ini memilki orientasi yang substantive agar kasus-kasus seperti asusila WH Langsa dan zina-zina lainnya supaya tidak terjadi atau terminimalisir, dan jikapun terjadi maka pelakunya harus diberi hukuman yang setimpal yaitu dengan dijilid atau dirajam.
Jadi sangat aneh melihat tanggapan sebagian pihak terhadap dua persoalan ini, mengecam kasus asusila WH Langsa dan berteriak agar pelakunya diberi hukuman yang setimpal namun tetap menolak pengesahan Qanun Jinayat. Bahkan lebih ironis lagi jika meminta WH agar dibubarkan
Beberapa waktu yang lalu telah direkon ulang bagaimana hal ihwal terjadinya kasus perkosaan tersebut. Disini ada yang menarik mengenai jeritan tangis seorang ibu ketika melihat rekonstruksi ulang pemerkosaan anaknya oleh oknum WH tersebut.
Coba seandainya peristiwa ini menimpa anggota keluarga penolak Qanun Jinayat, apakah mereka akan menjerit-jerit juga? Jika menjerit lalu mengapa mereka menolak Qanun Jinayat yang notabenenya adalah untuk menghilangkan “jeritan” kaum perempuan? Kalau mereka tidak menjerit dalam artian biasa saja maka bisa dipastikan betapa “murahnya” kehormatan anak atau istrinya.
Anak kecil saja akan meronta-ronta ketika mainanya diganggu orang, maka dapat dipastikan bahwa orang tua yang “tenang-tenang saja” ketika anak, istri atau saudaranya dinodai lebih rendah derajat dan pemikirannya daripada anak-anak yang masih bocah.
Kasus asusila yang kebetulan dipraktekkan oleh pasukan penegak syrai’at (WH) di Langsa adalah salah satu indikator betapa Qanun Jianyat sudah sangat dibutuhkan. Jawaban atas kasus asusila tersebut adalah keniscayaan bagi seluruh rakyat Aceh untuk mendukung dan mendesak agar Gubernur mengesahkan pemberlakuan Qanun Jinayat secepatnya, bukan malah berpkiran konyol dengan melemparkan wacana pembubaran WH.
Namun masalahnya hingga saat ini masih banyak pihak yang masih kontra terhadap Qanun ini. Mereka ingin oknum WH Langsa pelaku asusila tersebut diberi hukuman yang seberat-beratnya karena memang perbuatannya sangat-sangat biadab(dan mestinya keinginan ini juga berlaku untuk seluruh pelaku pemerkosa dan zina lainnya)
Padahal, jika Qanun Jinayat telah sah untuk diterapkan maka kita akan memilki dasar hukum yang kuat untuk menghukum para pelanggar syari’at dan oknum WH Langsa pelaku asusila tersebut. Lalu berkembang pula ide dan inisiatif beberapa pihak yang menginginkan institusi WH agar dibubarkan saja.
Jadi, ide pembubaran WH yang sering penulis baca di jejaring sosial Fecebook adalah ide pengecut yang pada akhirnya hanya akan mengahmbat perjalanan syari’at Islam di Aceh. Kenapa kita harus menyerang dan meminta WH dibubarkan sementara yang salah adalah oknumnya.
Wilayatul Hisbah (WH) memang merupakan institusi pemerintahan baru yang baru beberapa tahun diperkenalkan di Aceh. Di masa kesultanan Aceh, belum ada dibentuk sebuah lembaga khusus untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Mahkamah hukum era kesultanan sudah memadai dilakukan oleh para ulama, imum gampong, geusyik, dan para ureng tuha yang disegani, apalagi pada masa itu, rakyat Aceh punya kesadaran religius yang tinggi, sehingga keberadaan sebuah institusi pemerintahan yang tugasnya cuma memantau pelaksanaan syari’at dirasa belum perlu.
Setiap individu dengan kesadaran masing-masing menjadi petugas WH, menegur dan mengingatkan saudaranya sekiranya mereka melakukan perkara yang bertentangan dengan syari’at serta selalu mengajak saudaranya melakukan perbuatan-perbuatan ma’ruf yang dianjurkan syari’at.
Namun demikian, pada saat ini, seiring dengan perkembangan waktu dan tuntutan zaman maka jelas dirasa perlu sebuah institusi khusus yang tugasnya mengawasi pelaksanaan syari’at, apalagi saat ini Aceh telah secara resmi bermaksud melaksanakan syari’at Islam secara kaffah. WH yang merupakan institusi klasik tetap dirasakan sangat signifikan kehadirannya di era kontemporer terlepas dari berbagai kendala yang menghambat dalam perjalanannya di medan laga.
Menuju WH Ideal
Pembentukan institusi ini sebenarnya adalah sangat positif dan perlu dukungan padu semua pihak. Terutama ketika budaya amar ma’ruf nahi mungkar semakin hilang di kalangan masyarakat. Kunci kesuksesan WH nantinya akan terlihat ketika masyarakat dengan kesadaran keagamaan yang tinggi terwujud, yaitu masyarakat dengan standar moral yang tinggi, keunggulan akhlak, dan menaati perkara-perkara yang sudah diwajibkan atau dilarang oleh syari’at.
Tetapi, ketika maksiat kembali merajalela, perbuatan amoral merebak, masyarakat berlaku curang, menipu, dan memakan riba dalam berdagang, maka jelas, WH tidak berperan dengan sempurna. WH, juga aparat pemerintah lainnya telah gagal menumbuhkan kesadaran melaksanakan syari’at
Penulis sempat berdiskusi dengan puluhan teman aktivis lewat facebook mengenai cara mengakhiri dilema WH ini. Beberapa masukan dan gagasan dari teman-teman penulis tersebut adalah harapan mereka agar kedepan kita berharap agar recruitment WH harus benar-benar ketat dan betul-betul yg profesional, teruji komitmennya terhadap Islam serta punya track record yg bersih, baik ia dari kalangan santri atau bukan.
Recruitment juga harus dilakukan melalui jasa consultan psikologi yang ternama dan terakreditasi, supaya bisa memastikan calon-calon yang bagus attitude-nya, bukan sekedar tahu halal haram. Ini bukan kerja main-main, karena yang dipertaruhkan adalah marwah Islam dan Aceh. Disamping itu kita juga berharap agar pola rekrutmen WH benar-benar jauh dari indikasi KKN.
Tak perlu ada kepentingan keluarga atau kelompok disana, jangan karena berharap honor syari’at Islam menjadi begitu gampang untuk diobok-obok. Disamping itu WH juga tidak boleh sewenang-wenang, apalagi kalau hanya berdasarkan prasangka-prasangka yang belum tentu benar.
Disamping itu juga perlu landasan hukum untuk mengatur bagaimana memilih dan mengangkat anggota WH. Sepatutnya orang yang menduduki jabatan WH bukanlah orang sembarangan, ia mestilah orang yang terkenal baik dan saleh, tidak berperangai buruk, mengetahui hukum-hukum Islam, berintegrasi dan professional.
Kalau kita merujuk kitab-kitab lama yang membahas WH, maka kita akan dapati ulama-ulama terkenal menduduki jabatan ini. Kesalahan dalam melantik petugas WH akan menimbulkan kemarahan masyarakat yang berujung pada resistensi eksistensi institusi ini secara keseluruhan.
Atau alternative terkahir adalah melimpahkan tanggung jawab WH kepada santri-santri dayah di Aceh, karena sudah saatnya santri Aceh diberi peran yang lebih besar menjaga perjalanan syari’at Islam di Aceh. Tentunya dengan berbagai kebijakan dan aturan, misalnya dengan tetap dibawah kendali suatu lembaga pemerintah.
Hal ini penulis pikir cukup beralasam mengingat santri adalah salah satu pihak yang paling serius ingin mewujudkan syari’at Islam secara kaffah di Aceh. Wallahu a’lam bisshawab.
Penulis adalah Pemerhati Sosial Kemasyarakatan dan Keagamaan, aktivis Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA).