Menulis dalam Islam adalah “kewajiban” kedua setelah perintah untuk “membaca”. Menulis berarti menyimpan apa yang telah kita baca dalam sebuah media yang bisa diakses oleh siapa saja. Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Dengan tulisan, kita bisa berdakwah(menyebarkan kebenaran), mengajari, menyebarkan ide dan pemikiran, melontarkan gagasan, menyampaikan kritikan atau hanya sekedar memberi tanggapan. Sebaliknya, dengan tulisan seseorang bisa juga menyebarkan kebatilan, merusak moral, mem-provokasi, menghina, menghasut, memfitnah, dan berbagai propaganda yang akan membawa kepada kehancuran lainnya.
Dengan tulisan, seseorang bisa mencoba merancang dan merumuskan bentuk peradaban dan masa depan impian atau kehidupan ideal yang didambakan. Banyak bukti sejarah yang membenarkan asumsi ini. Misalnya; bagaimana dahsyatnya kekuatan novel ”Ayat-ayat Cinta” dan ”Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman El-Shirazy sanggup membius ribuan remaja Muslim Indonesia, putra dan putri dengan berbagai pesan Islamnya, sehingga banyak sekali diantara mereka yang bermimpi dan berjuang menjadi jelmaan(reinkarnasi) tokoh-tokoh yang digambarkan dalam novel tersebut, seperti Fahri, Azam dan sebagainya. Dalam novel tersebut mereka digambarkan sebagai aktor yang benar-benar mengaktualisasikan nilai-nilai Islam ke dalam realita kehidupan sesungguhnya. Pribadi mereka diungkapkan bak seorang aulia yang memilki akhlak paripurna.
Hasan Al-Banna pendiri organsisasi ”Ikhwanul Muslimin” di Mesir juga pernah menulis berbagai wasiatnya kepada umat Islam. Tulisan-tulisan yang pada akhirnya dibukukan itu sanggup membangkitkan semangat dan gelora pergerakan Islam(Harakah Islamiah) diberbagai belahan penjuru dunia untuk bangkit mengejar ketertinggalan dengan tanpa melepaskan nilai-nilai Islam sebagai prinsip hidup yang konsepsional dan fundamental. Kita tahu, bahwa kumpulan tulisan Hasan Al-Banna dalam bentuk surat wasiat yang kemudian diberi nama ”Majmu’ Rasail” itu, ternyata sanggup membangkitkan kembali semangat jihad umat Islam melawan berbagai bentuk penjajahan. Saat ini, hampir semua pergerakan Islam di dunia lahir karena terinspirasi dari kekuatan perjuangan, teladan dan surat wasiat Hasan Al-Banna tersebut.
Begitu juga buku-buku yang dikarang oleh penulis berkaliber dunia lainnya, seperti; Yusuf Al-Qardhawy yang mengupas berbagai persoalan kekinian umat Islam. Buku-buku beliau tersebut kita ketahui saat ini telah dijadikan sebagai referensi(buku pegangan) wajib maupun sekedar buku pendukung materi kuliah oleh para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi Islam di hampir seluruh dunia. Buku-buku tersebut memiliki kekuatan yang sangat dahsyat dalam rangka merintis berbagai transformasi sosial dunia Islam ke arah yang lebih maju. Pun demikian dengan tulisan atau opini-opini yang dimuat di berbagai media lokal di Aceh yang diyakini juga memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam membawa umat ke arah perubahan menuju Aceh Darussalam yang diimpikan.
Contoh lainnya adalah; Samuel Huntington yang menulis ”disertasi” doktoralnya tentang ”Benturan Peradaban”, antara peradaban Barat(Kristen, Yahudi dan sebagainya) dengan peradaban Dunia Timur(Islam). Disertasi tersebut pada akhirnya kita ketahui menjadi rujukan Dunia Barat dalam menilai dan menyikapi kebangkitan dunia Islam(as-shahwah Islamiah). Huntington meyakini dan menulis angan-angannya bahwa setelah Amerika memenangkan Perang Dunia II, maka lawan mereka berikutnya yang akan dan harus dihadapi adalah ”umat Islam”. Efek besar dari tulisan (disertasi) Huntingtin tersebut kini menjadi aksi nyata eksistensi dunia barat yang dirasa oleh hampir semua umat Islam diseluruh bagian dunia. Hampir disemua lini dan segmentasi tatanan kehidupan negara-negara Islam berada dibawah cengkeraman Amerika-Barat.
Bahkan, selain negera-negara Islam yang terjajah secara pendidikan, ekonomi, akhlak-moral dan politik, teori dan pemikiran Huntington tersebut juga terwujud nyata dalam penjajahan sungguhan negara Barat terhadap dunia Islam. Misalnya; penjajahan Amerika dan sekutunya di Afghanistan, Irak dan sebagainya. Kekuatan sebuah tulisan kadangkala juga bisa bernada fitnah atau propokasi sehingga bisa mengajak kepada pertumpahan darah dan kehancuran. Misalnya; ”Ayat-Ayat Setan” karya Salman Rushdi, seorang penulis keturunan Pakistan yang bermukim di Inggris. Tulisannya pernah memancing kemarahan umat Islam di seluruh dunia, penyebabnya adalah karena dalam bukunya tersebut ia menghina Muhammad Saw sang Rasul umat Islam. Begitu juga Freddy S, seorang novelis yang menulis berbagai novel seksual dan vulgar di nusantara yang banyak mengumbar nafsu syaithani. Novel-novelnya tersebut sangat ampuh untuk menghancurkan moral dan akhlak generasi Islam dan putra putri bangsa Indonesia secara umum.
Inilah sekilas gambaran singkat dahsyatnya kekuatan sebuah tulisan. Ia bisa membawa kepada kebangkitan sebuah peradaban, atau sebaliknya kepada kehancuran moral dan semua tatanan kehidupan umat manusia lainnya. Ketika tulisan-tulisan yang mengajak kepada kebenaran menjadi minim maka tulisan-tulisan kehancuran akan bertaburan dan menghancurkan.
Kekuatan ”Menulis” dalam Sejarah Islam
Menulis memiliki peran yang sangat urgen dalam sejarah kejayaan umat Islam beberapa abad silam. Semua ulama yang menjadi arsitek peradaban dan kejayaan Islam masa lalu adalah para penulis ulung yang telah menghasilkan berbagai buah karya mereka yang sampai saat ini masih menjadi rujukan umat Islam sedunia dalam berbagai disiplin keilmuan. Bahkan, Barat yang kemajuannya hari ini telah jauh meninggalkan dunia Islam ternyata pernah mengekor pada kemajuan umat Islam masa silam.
Dalam sejarah Islam, akan kita dapati pakar-pakar keilmauan mayoritas adalah para ulama. Kedokteran, geografi, oftik, kartografi, farmasi, kimia, astronomi, matematika, dan yang lainnya. Patut untuk di banggakan, ketika Eropa di abad pertengahan hanya memiliki seorang jenius bernama Leonardo da Vinci yang mumpuni dalam beberapa bidang keilmuan, ternyata umat Islam memiliki puluhan tokoh yang memiliki multiple intelligence. Sebagai contoh, kejeniusan Ibnu Sina dibidang kedokteran menghasilkan karya menumental Al-Qanun Fi Ath-Thibbi, Asy-Syifa dan yang lainnya. Ibnu Rusyd yang faham dengan sangat baik filsafat Yunani, sehingga mampu memberikan koreksi dan catatan kaki atas kekeliruan yang ada didalam buku mereka ternyata juga seorang faqih yang dari tangannya lahir Bidayah-Al-Mujtahid, sebuah rujukan perbandingan madzhab dalam ilmu fiqih yang sampai sekarang tetap diperhitungkan. Belum lagi Al-Khawarizmi pencipta Al-Jabar (ilmu ukur/Matematika) yang fenomenal, Al-Haitsam Bapak ”optik” sekaligus penemu Kamera Analog. Al-Idrisi bapak kartografi dari pulau Sisilia. Al-Biruni, Ibnu Khaldun, dan tokoh-tokoh Islam lainnya.
Galileo yang terkenal dengan teleskopnya ternyata kalah awal oleh ulama-ulama di Baghdad yang telah lebih dahulu menciptakan observatorium untuk mengamati pergerakan dan fenomena bintang- bintang. Al-kohol, al-kalin, sinus, kosinus, tangent, azimuth, natir dan istilah-istilah lain dalam berbagai disiplin ilmu lahir dari rahim keilmuan kaum muslimin. Begitu pula dibidang Fiqih, Hadits, Tafsir, Ilmu Kalam, dan sebagainya. Semua itu hadir karena mereka memegang teguh tradisi keilmuan, yaitu menulis disamping tradisi membaca pada sisi yang lain.
Dan berbagai kemunduran umat Islam dewasa ini bisa dipastikan karena tradisi menulis setelah membaca yang pernah dipopulerkan oleh para ulama masa lalu telah ditinggalkan. Umat Islam malas ”membaca dan menulis”. Melalui tulisan diyakini peradaban impian akan bisa diraih. Melalui tulisan fakta mengatakan sebuah kemajuan akan bisa dicapai. Melalui tulisan jelas kebenaran akan mudah tersampaikan.
Sampai disini, kita bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya kekuatan sebuah tulisan. Ia bisa menjadi senjata melawan kezaliman ketika meriam telah dihancurkan, ketika senapan dan mesiu telah tenggelam dalam lautan. Maka, adalah wajar jika di era ”Orde Baru” Soeharto yang mantan presiden kita itu begitu gencar memberangus dan mengejar-ngejar para penulis. Sebab, Soeharto meyakini kekuatan pena lebih dahsyat daripada senapan, lebih tajam daripada ujung pedang. Maka, ketika kita ”malas menulis” yang akan terjadi adalah berbagai ketimpangan dan bahkan penjajahan. Wallahu a’lam bisshawab.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, sekretaris redaktur Tabloid Peunawa Lembaga Kajian Agama dan Sosial(LKAS)