Tiada terasa, kini kita telah berada di penghujung akhir Ramadhan. Seakan baru kemaren kita menyambutnya, namun kini ia akan pergi meninggalkan kita. Tidak ada yang tahu apakah kita akan menjumpai lagi Ramadhan tahun depan. Mengingat tujuan akhir dari kewajiban puasa Ramadhan adalah derajat takwa(Albaqarah, ayat 183).
Maka, menjelang detik-detik perginya tamu agung nan suci ini, adalah layak kita mempertanyakan kembali dengan serius kepada setiap pribadi kita, “sudahkah kita meraih predikat takwa yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, atau minimal sudah melekat kah pada diri dan masyarakat kita sebagian dari karakteristik orang-orang yang bertakwa(muttaqiin)?”.
Sejatinya, yang bisa memutuskan seseorang sudah meraih gelar takwa atau belum memang hanyalah Allah Swt. Namun begitu, beberapa indikator bisa kita jadikan pegangan untuk menilai pribadi kita pasca Ramadhan nanti. Artinya, meski yang menilai seseorang sudah meraih predikat takwa atau belum hanya Allah, namun kita telah diberikan petunjuk untuk menilai diri kita.
Apakah karakteristik yang Allah sebut dalam Alquran melekat erat pada diri pribadi orang-orang yang meraih derajat muttaqin sudah melekat pada diri kita?. Dan tulisan ini hanya mencoba mengajak kita semua untuk bertafakkur dan bermuhasabah tentang sejauh mana kualitas ibadah puasa Ramadhan yang saban tahun kita kerjakan. Bukan untuk menilai sesorang belum bertakwa atau sudah meraih derajat mulia tersebut.
Para ulama mendefinisikan takwa ini dengan ungkapan: “Menaati Allah dan tidak maksiat, selalu berdzikir dan tidak lupa, senantiasa bersyukur dan tidak kufur”. Dari definis ini kita bisa berkesimpulan, bahwa takwa adalah kalimat yang singkat namun kaya makna, mencakup seluruh tuntunan yang dibawa Islam; akidah, ibadah, muamalah dan akhlak. Dan takwa bukanlah kalimat yang hanya sekedar diucapkan, atau hanya sekedar klaim tanpa bukti. Tapi takwa adalah perbuatan dalam rangka ketaatan kepada Allah dan tidak melakukan maksiat kepada-Nya.
Pada prinsipnya, puasa Ramadhan akan selalui ditandai dengan transformasi dalam diri pelakunya serta masyarakat sekitarnya dengan mengalirnya amal saleh yang tiada putus-putusnya serta berbagai perbuatan terpuji lainnya. Bila setelah Ramadhan seseorang selalu berbuat baik, serta bisa memberikan sumbangsih untuk perubahan masyarakat di sekitarnya sampai ia menghadap Allah Swt, maka jelas ia akan tergolong kelompok manusia yang meraih gelar takwa dan pahala yang akan kelak ia dapatkan adalah surga.
Dan sebaliknya, jika setelah melaksanakan ibadah Ramadhan seseorang masih seperti sebelum melaksanakan Ramadhan maka bisa dipastikan Ramadhannya tidak berkah dan ia gagal meraih predikat takwa. Namun begitu, kita memang tidak bisa menilai apakah seseorang itu benar-benar mencapai gelar takwa atau tidak. Itu hak Allah. Namun kita bisa mengenali ciri-ciri orang yang meraih gelar takwa antara lain adalah; terjadinya perubahan pribadi ke arah yang positif. Perubahan ini mencakup hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan lingkungan sekitar), juga mencakup kualitas ibadah jasmani dan rohani.
Sebagian dari dampak ibadah puasa Ramadhan bagi pelakunya adalah terjadinya perubahan kualitas perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih terpuji. Indikator diraihnya gelar takwa pasca Ramadhan adalah jika pelakunya patuh melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt dan meninggalkan apa yang dilarangNya, baik semasa Ramadhan maupun nanti pasca Ramadhan. Ada banyak kriteria orang yang bertakwa yang disebutkan dalam Alquran maupun sunnah. Diantara kriteria tersebut adalah, beriman, senantiasa mendirikan shalat, menunaikan zakat/menafkahkan sebagian harta, selalu menepati janji, sabar, selalu berdo’a kepada Allah, benar, tetap taat dan mengingat Allah, selalu beristighfar(meminta ampun) dan taubat kepada Allah dari semua dosanya. Disamping itu, menahan amarah, suka memaafkan, selalu berbuat baik, tidak melakukan perbuatan keji, shalat tahajjud, amalan-amalan tersebut selalu dilakukan oleh yang bertakwa.
Kriteria berikutnya adalah ia akan memiliki sifat dan sikap terpuji seperti sabar, syukur, tawakkal, tasamuh(toleransi), pemaaf, tawadlu dan sebagainya. Ia juga akan malu kepada Allah Swt utk melakukan perbuatan yang dilarang-Nya. Bersemangat dan sungguh-sungguh dalam menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu Islam. Kemudian ia juga akan senantiasa bekerja keras dan tekun untuk memenuhi keperluan hidup dirinya, keluarganya dan dalam rangka membantu orang lain serta berusaha untuk tidak membebani dan menyulitkan orang lain.
Indikator takwa yang lain adalah ia akan konsekuen meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Swt, terutama dosa-dosa besar, seperti syirik, riba, judi, zina, khamr, korupsi, membunuh orang, bunuh diri, bertengkar, menyakiti orang lain, khurafat, bid’ah dan sebagainya. Dia juga akan gemar melakukan ibadah wajib, sunat dan amal shalih lainnya serta berusaha meninggalkan perbuatan yang makruh dan tidak bermanfaat. Aktif berkiprah dalam memperjuangkan, menda’wahkan Islam dan istiqamah serta sungguh-sungguh dalam melaksanakan amar ma’ruf dengan cara yang ma’ruf, melaksanakan nahi munkar tidak dengan cara munkar.
Artinya ia akan memiliki komitmen yang total untuk mentaati Allah Swt dan tunduk kepada-Nya, bukan saja selama puasa Ramadhan, melainkan kapan saja dan di mana saja ia berada. Puasa Ramadhan tidak akan bermakna jika pasca Ramadhan seseorang tidak menyadari identitas kehambaanya kepada Allah Swt. Tuntunan syetan kembali diagungkan. Merebut harta haram(KKN) dan kemaksiatan menjadi kebiasaannya sehari-hari.
Selain itu, orang-orang yang bertakwa akan cepat melakukan taubat apabila terlanjur melakukan kesalahan dan dosa, tidak membiasakan diri proaktif dengan perbuatan dosa, tidak mempertontonkan dosa dan tidak betah dalam setiap aktivitas berdosa. Sungguh-sungguh memanfaatkan segala potensi yang ada pada dirinya untuk melakukan berbagai transformasi sosial serta menolong orang lain dan menegakkan "Izzul Islam wal Muslimin" atau kejayaan Islam dan kaum Muslimin.
Untuk meraih predikat takwa diperlukan proses yang berkelanjutan, tidak hanya memada dengan puasa ramadhan. Takwa dibentuk melalui proses pembinaan yang kontinu/berkelanjutan menuju ke tingkat ketakwaan yang tinggi yaitu takwa khawwash al-khawwash. Secara rinci, pembentukan karakter takwa, selain puasa Ramadhan juga dapat direalisasikan melalui upaya-upaya relegius sebagai berikut: seperti, membaca Alquran, mengkaji dan merenungi maknanya (khususnya yang dengan ancaman Allah bagi orang-orang yang berbuat maksiat), serta melaksanakan isi kandungannya(tidak memada semata hanya belajar dan mengajarinya). Kemudian puasa, baik puasa wajib (ramadhan) maupun yang sunat.
Pada dasarnya, setiap amalan wajib dan sunnah bisa membawa pelakunya kepada takwa, termasuk di dalamnya berpuasa di bulan Ramadhan. Disamping itu, takwa juga bisa terbentuk dengan mendengar nasehat orang lain, mengajak orang lain kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran, bekerjasama dengan yang lain dalam kebajikan hingga tercipta kondisi lingkungan yang mendukung nilai-nilai ketakwaan. Mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullaah Saw dan menghindari perkara yang tidak beliau ajarkan juga salah satu persyaratan meraih predikat takwa. Kesemua ini harus saling mendukung dan melengkapi dalam rangka perjuangan kita meraih gelar takwa. Jadi, meraih takwa tidak memada hanya dengan puasa ramadhan, apalagi jka selepas ramadhan nanti watak melanggar kita kembali beraksi.
Mengutip apa yang ditulis Agustianto, kalau pasca ramadhan, etos kerja dan produktifitas menurun, kedisiplinan tetap dilanggar, atau perilaku tetap menyimpang, barangkali puasa yang kita lakukan tidak didasarkan perenungan mendalam yang optimistik (ihtisaban) tentang makna filosofis di balik ritus puasa. Atau mungkin mengabaikan dimensi historis pelaksanaan puasa di kalangan sahabat Rasul yang tetap mempunyai etos tinggi dan sangat produktif.
Hal ini terlihat dari kemenangan-kemenangan besar yang mereka raih pada bulan ramadhan, seperti perang Badar, penaklukkan Mekkah, Tabuk, dan sebagainya. Kalau pasca ramadhan, kejujuran semakin tipis atau sirna, pungli, kolusi dan korupsi tetap menjadi kebiasaan, barangkali puasa yang kita lakukan tidak didasari iman yang benar, tetapi mungkin kita berpuasa karena mengikuti tradisi.
Dan gelar takwa itu tidak mustahil hanya ilusi. Namun jika sebaliknya, pasca Ramadhan semua sifat orang-orang yang bertakwa yang disebutkan dalam Alqur’an sudah menjadi bagian dari hidup kita, maka beruntunglah kita dunia dan akhirat. Amiin. Wallahu a’am bishshawab.
Note; beberapa baris isi tulisan diatas terdapat sumber dari kutipan tulisan penulis lain.
Teuku Zulkhairi, Penulis adalah aktivis Dewan Dakwah Islamiah Indonesia dan Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.