Ketika di dalam sebuah eltramco (nama angkota di Mesir) yang tengah menuju kawasan Sayidah Zainab, seorang pemuda Mesir di samping saya tiba-tiba memancing untuk berdiskusi, mulai dari tidak sahnya shalat di masjid yang dalamnya terdapat kuburan (seperti masjid Sayidah Zainab) hingga masalah wajibnya memelihara jenggot.
“Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, seluruhnya akan masuk neraka kecuali satu golongan…” itulah hadits yang kemudian ia sitir untuk memperkuat argumennya, sebuah hadits yang terlalu sering disalahgunakan dalam menjustifikasi sebuah pendapat dan “mengkafirkan” muslim lain. Ia terlampau pe-de menganggap dirinya berikut ‘jamaah’-nya adalah firqah an-nâjiyah yang satu-satunya bisa masuk surga, seolah kunci surga-neraka ada di tangan mereka.
Hadits di atas selain tidak terdapat di shahîhain (Bukhari-Muslim) para ulama’ juga telah banyak memberikan penjelasan akan hadits iftrâq al-ummah tersebut. Secara isnâd, Imam Ibnu Hazm –yang bahkan bermadzhab dzâhiri– dalam kitab “al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal” mengatakan bahwa hadits ini tidak memiliki sanad yang kuat (ghairu shahîh) oleh karenanya hadits ini tidak dapat dijadikan landasan hukum (hujjah). Selain itu Prof. Dr. Sayyid Ahmad al-Musayyar (rahimahullah) dalam bukunya “Qadhiyyah at-takfîr fi Fikr al-Islamiy” juga mengatakan bahwa yang dimaksud “Ummatiy” (umatku) dalam hadits tersebut adalah “umat dakwah”.
Arti dari umat dakwah adalah umat di mana seorang rasul diutus menyampaikan risalah Ilahiyyah kepada mereka, karena tiada satu umat pun melainkan terdapat rasul yang telah diutus kepada mereka (wa likulli ummah rasûl [Yunus: 47]).
Seperti nabi Musa as. yang diutus kepada Yahudi (Bani Israil), pada kala itu umat nabi Musa tidak semuanya percaya akan ajaran yang dibawa olehnya dan saudaranya –nabi Harun as.– seperti Samiri yang memprovokasi Bani Israil untuk menyembah patung lembu ketika nabi Musa as. pergi ke Tursina selama 40 malam.
Maka umat Musa as. lalu berpecahbelah dan mereka semuanya masuk neraka kecuali para pengikutnya. Sama halnya nabi Isa yang diutus kepada kaum Nasrani (Bani Israil) tidak semuanya mereka percaya bahwa Isa as. adalah Rasulullah, tidak semuanya seperti hawâriyyûn yang taat dan setia kepada ajaran nabi Isa as. Lalu umat nabi Isa ini kemudian berpecahbelah dan semuanya masuk neraka kecuali para pengikutnya.
Begitu juga Rasulullah Saw. yang diutus kepada alam semesta dan bukan hanya untuk bangsa Arab, Israil atau bahkan Indonesia saja. Tentu saja semenjak datangnya risalah Muhammad saw. tidak semua umat Muhammad saw. percaya akan ajarannya, maka umat yang tidak beriman dan menentang risalah Rasulullah saw. mereka akan berpecahbelah dan semuanya akan masuk neraka. Hingga akhirnya tersisa satu golongan yang selamat dari siksa neraka, yaitu mereka yang beriman kepada Rasulullah saw. dan tidak menyukutukan Allah, mereka itulah firqah an-nâjiyah yaitu umat Islam yang bukan munafiq maupun kafir.
Kita semua percaya bahwa rahmat Allah begitu luas terhadap seorang muslim dan mukmin selama dia tidak menyekutukan Allah, dan tentu kita ketahui bahwa adzab-Nya terhadap orang kafir sangatlah pedih. Yaghfiru liman yasyâ wa yu’adzdzibu man yasyâ. Sungguh tidak masuk akal jika terdapat sekelompok orang mengatakan bahwa “Kita adalah satu-satunya orang yang paling benar, sedangkan orang lain selain kita semuanya salah dan masuk neraka.”
Sungguh pemikiran yang sangat sempit, seolah rahmat dan ampunan Allah sesempit hati mereka. Selain sering menyalahgunakan dalil, pemeluk faham Literal (harfiyyah) seperti ini juga jarang menggunakan karunia paling berharga (akal) untuk menerjemahkan wahyu ilahi (naql), sehingga sering terjebak dalam kejumudan berpikir yang berimbas kepada tidak tercapainya kemaslahatan dunia-akhirat yang merupakan inti risalah dari Islam itu sendiri.
Mereka jarang mempertimbangkan aspek prioritas, realitas dan terlampau letter-lijk dalam memahami teks (nash syar’i). Sehingga pesan dalam teks yang memiliki dimensi mantûq (tersurat) dan mafhûm (tersirat) sering tidak dapat diaplikasikan dalam tataran yang tepat sesuai teks-konteks. Walhasil, statement “kulluhum dhalâl wa kulluhum fî nâr” tanpa diiringi pertimbangan matang sering dilontarkan kepada muslim lainnya hanya gara-gara perbedaan dalam masalah furû’iyyah ijtihâdiyyah.
Lain Literal, lain pula Liberal. Faham yang selalu menyerukan slogan “main tanpa wasit” ini sebenarnya sebuah sistem berpikir yang kacau-balau karena meletakkan sebuah kebenaran mutlak pada ranah abu-abu yang serba relatif. Berbalik 180 derajat dari faham Literal yang sangat eksklusif, faham ini sangat Inklusif sehingga apa saja bebas masuk, paling mudah jika dianalogikan sebagai “tong sampah ideologi”.
Menurut faham ini “bebas” berarti semuanya boleh berbuat, berpikir, berpendapat dan tak seorangpun boleh melarang serta menyalahkannya, bebas, lepas, tanpa batas. Sebuah konsep yang sama sekali tidak dapat diterapkan dalam aspek kehidupan apapun, bahkan jika diaplikasikan dalam sebuah permainan ular-tangga sekali pun konsep ini tidak akan support.
Liberalis yang merupakan saudara kandung Sekularis dan Pluralis sejatinya merupakan ekspresi “kejenuhan beragama” yang dikemas begitu apik oleh para pemeluknya sehingga terkesan ilmiah, masuk akal, dan reliable. Lalu atas nama kebebasan, paham ini membuka lebar pintu ijtihad bagi siapa saja (inilah terjemahan dari “tong sampah ideologi”).
Maka tidak heran ketika datang seorang nabi palsu paham ini turut membenarkannya, ketika ada penolakan Al-Qur’an paham ini turut mendukungnya, bahkan ketika Allah dan rasul-Nya dilecehkan maka paham ini akan mengamininya, semuanya legal, baik, benar, dan semuanya atas nama kebebasan berijtihad.
Dalam surat al-A’râf: 176 kaum yang mendustakan ayat kebenaran seperti ini diibaratkan seperti yang selalu menjulurkan lidah dalam segala kondisi (in tahmil ‘alaihi yalhats au tatruk-hu yalhats). Selain terlalu menuhankan akal, Liberalis juga terlampau keblinger dalam menempatkan posisi rasio-empiris dalam tataran unreachable area (transendental), seluruh teks harus sesuai dengan akal, jika tidak maka harus diakal-akali, jika tidak bisa diakali maka akal itu sendirilah penentunya.
Wahyu adalah nomor seratus sekian jauh di bawah akal. Lalu atas dalih ‘maslahat’ versi Liberal apapun menjadi halal, mulai dari Homo-Lesbi hingga Trinitas-Trimurti. Ending-nya faham ini akan tampil sebagai pahlawan kesorean yang serta-merta memproklamirkan diri sebagai generasi progresif, inklusif, menyegarkan, membebaskan. Sebuah lagu lama yang terlampau kadaluwarsa untuk diusung.
Namun meskipun penganut Literalisme dan Liberalisme sering tidak akur karena saling menghujat dan mengkafirkan satu sama lain, di mana Literalis sering disebut Fundamentalis-Konservatif sebaliknya Liberalis disebut Ahlu Bid’ah-Ahlu Dhalâlah, ternyata antara kedua isme ini terdapat sebuah kalimah sawâ’ (titik-temu).
Kedua paham tersebut berintegrasi dalam sebuah muara “Narsisme stadium akut” di mana seseorang atau sekelompok orang merasa “paling” segalanya. Paling benar, paling baik, paling hebat, dan tentunya paling suci. Baik dalam bentuk mengklaim kebenaran diri sendiri ataupun klaim bahwa semuanya benar –yang nota bene menganggap dialah pemegang otaritas kebenaran– kedua paham ini telah menempati rating terkejam sebagai penjajah ideologi.
Jika kita telisik, kedua cara berpikir tersebut tidak bejalan di atas ‘rel’ yang lurus. Yang satu terlampau berbelok ke kanan (tahwîl) dan satunya lagi terlalu ke kiri (tahwîn). Yang satu tidak pernah menggunakan akal dan yang satu lagi terlalu menuhankan akal. Yang pertama terlampau rigid dalam memahami wahyu dan yang kedua bahkan tidak mengakui wahyu.
Maka bentuk tatharruf fikriy seperti ini sangatlah tidak sesuai dengan ruh Islam yang menjunjung wasathiyyah (balance). Dalam Islam telah terdapat pondasi Islam-Iman-Ihsan (al-ma’lûm min ad-dîn bi adh-dharûrah) yang tidak dapat diotak-atik lagi, wilayah ini bukan kuasa manusia untuk dapat mengambil-alih kekuasaan Tuhan sehingga dapat menghalalkan yang haram ataupun mengharamkan yang halal.
Namun dalam Islam juga terdapat hal-hal ijtihâdiyyah dzanniyyah yang di dalamnya terdapat begitu banyak ikhtilaf sehingga tidak dibenarkan oleh manusia untuk mengambil otoritas Tuhan lalu dengan mudahnya menghukumi seorang muslim dengan kekafiran dan kesesatan lantaran perbedaan pendapat dalam masalah furû’iyyah.
Akan tetapi itulah ketentuan manusia di dunia, di mana perbedaan, perpecahan dan pertumpahan darah terjadi, semenjak nabi Adam di turunkan ke bumi hingga sekarang dan nanti sampai saat yang dikehendaki Sang Pencipta untuk berakhir. saat di mana para penghuni neraka dan surga telah ditentukan.
Bahkan di neraka sendiri para penghuninya masih bersengketa, saling menyalahkan dan menyesatkan, saling berlepasdiri dan tidak bertanggung jawab. Tapi tentu saja berita besar ini tidak berlaku bagi yang tidak percaya akhirat, susah, terlalu susah untuk menjelaskan kepada meraka. Semoga kita termasuk orang yang tidak suka berpecahbelah dan termasuk orang yang percaya akan hari akhirat, amin.
Profil Penulis
MS. Yusuf al-Amien adalah alumnus KMI Gontor, kini tengah menimba ilmu di Universitas Al-Azhar Kairo jurusan Syari’ah Islamiyyah. Sempat aktif di IKPM dan ICMI Orsat Kairo.
e-mail: [email protected]