Sebagai muslim, kita percaya, kelak mata, telinga dan hati akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan mahkamah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang meleset dari perhitungan-Nya. Dia yang Maha Besar berfirman, "Setiap orang bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukannya." (Qs. 74: 38).
Karena diri kita sendirilah yang bertanggungjawab, maka sebuah keniscayaan untuk tidak sekedar ikut-ikutan tentang sesuatu. Sikap keberagamaan yang sejati adalah berani mengkritisi dan bersikap cerdas terhadap ajaran-ajaran agama yang disampaikan lewat para ulama. Apakah benar apa yang disampaikan ulama tersebut adalah bagian dari agama atau bukan?. Dalam Islam, ummat dilarang untuk ikut-ikutan tanpa pengkajian yang mendalam.
Salah satu akar kata dari Islam adalah taslim yang berarti penyerahan sepenuhnya. Dan yang dimaksud, tentu saja penyerahan terhadap kebenaran. Dalam istilah syariat sikap ikut-ikutan tanpa daya kritis disebut taklid buta. Telah banyak ilmu yang telah kita dapatkan, baik di bangku pendidikan formal, lewat pengalaman atau ilmu yang kita gali dan kaji sendiri lewat media-media yang menawarkan pengetahuan, informasi dan wawasan yang beragam. Namun seberapa kritiskah kita terhadap semua itu?.
Taklid buta memang harus kita hindari karena tidak sesuai dengan semangat zaman. Namun ada kalanya, ada banyak alasan dan kepentingan yang memaksa kita untuk tetap bertaklid buta, meskipun kita sadari sendiri, yang kita pertahankan sebenarnya sangat rapuh dan memang layak untuk dicampakkan. Taklid buta memiliki prolog, diantaranya berpikir keliru.
Penyebab Berpikir Keliru
Banyak hal yang membuat kita terkadang berpikir keliru. Diantaranya, bersandar pada prasangkaan bukan pada pengetahuan yang pasti. Kita lebih sering mendengar berita dan informasi yang masih taraf ‘kayaknya’, namun kita telah meyakininya sebagai kabar pasti. Allah SWT berfirman, "Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah berbuat kebohongan." (Qs. 6: 116). Ayat ini menegaskan, kebanyakan dari informasi yang berserakan adalah dari mereka yang hanya mengikutkan persangkaannya saja dan berbuat kebohongan.
Hitler menulis dalam bukunya Mein Kamf, kebohongan yang dilakukan sesering mungkin akan diyakini sebagai kebenaran suatu waktu. Holocaust, yang menurut Ahmadi Nejad hanyalah mitos, namun bagi rakyat Eropa adalah kenyataan sejarah yang tidak bisa diragukan. Mereka bisa ragu terhadap keberadaan Tuhan, namun meragukan Holocaust adalah kejahatan. Fir’aun menjajah Bani Israel secara fisik dan pemikiran, berabad-abad lamanya, dengan mengatakan, "Ana rabbukumul a’la” dan Tak ada yang berani menentangnya. Dengan kebohongan-kebohongan inilah, mereka menciptakan sejarahnya.
Penyebab lainnya adalah, terlalu mengagungkan masa lalu. Seseorang cenderung mengagung-agungkan masa lalu, terlebih lagi jika itu menyisakan cerita kegemilangan dan hikayat perjuangan yang mengagumkan. "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab, "(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya)". Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apapun, dan tidak mendapat petunjuk." (Qs. 2: 170). Ayat ini menceritakan tentang mereka yang merasa cukup untuk melakukan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Ketika ada yang menyampaikan kebenaran, merekapun menolaknya dengan alasan menjaga tradisi keilmuan dan budaya nenek moyang.
Kekaguman terhadap seorang tokoh yang berlebihan juga dapat menjebak seseorang berpikir keliru. Dalam Al-Qur’an tertulis, "Dan mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar." (Qs. Al-Ahzab: 67). Dari sini kita mesti membedakan antara Islam dengan ulama sebagai pembesar Islam. Ulama memang pengikut Islam yang taat dan mengajarkan Islam, namun mereka tidak identik dan menjadi bagian dari ajaran Islam. Muslimin adalah mereka yang berikrar dan mengikuti ajaran Islam. Umat Islam bukanlah Islam itu sendiri. Sungguh berbeda antara akidah dengan pemeluk akidah. Islam yang memiliki kebenaran mutlak di satu sisi dan pengikut yang memiliki pemahaman tentang Islam yang tidak mutlak kebenarannya berada di sisi lain.
Setiap dari ulama memiliki pemahaman yang berbeda tentang syariat Islam bergantung pada tingkat kemampuan dan kadar keilmuan masing-masing, yang sangat ditentukan oleh besarnya keimanan dan kemampuan menanggalkan kepentingan hawa nafsu. Realitas menyodorkan kenyataan, antara ulama satu dengan yang lainnya tidak satu dalam pemahaman mengenai apa yang disampaikan oleh Rasulullah atau mengenai ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Dialog sebagai Tradisi Intelektual
Islam (Al-Qur’an dan Sunnah) berada pada satu sisi dan pemahaman ulama mengenai keduanya pada sisi lain. Karenanya, berbeda pemahaman dengan seorang ulama tidaklah berarti berbeda dengan Islam yang sebenarnya. Apabila seseorang memahami sebuah nash dengan pemahaman tertentu, sementara yang lain memahaminya berbeda, maka berarti ada tugas lain yang menunggu. Setiap dari dua pihak harus berulang kali berupaya kembali memahami kandungan nash tersebut dengan mempertimbangkan pemahaman mereka yang berbeda. Bukan malah menganggap pemahamannyalah yang paling sesuai dengan syariat.
Inilah sesungguhnya yang semestinya dilakukan kaum muslimin, bersama-sama melakukan pengkajian terus menerus sampai memperoleh kesepakatan yang satu, sebab nash sesungguhnya hanya mempunyai maksud syar’i yang tunggal. Secara sepihak mengklaim diri paling benar sembari mengutuk dan mencela pemahaman lain berarti menyimpang dari ketentuan ajaran Islam. Yang perlu ditradisikan adalah dialog dan keterbukaan menerima pendapat yang berbeda. Furqon Hidayat (2007), "Dalam sejarah, dialog sebagai tradisi tidak pernah hilang dari kultur intelektual. Dialog menjadi aliran darah yang memompa jantung peradaban." Dari rahim dialog lahirlah philosophia, pencinta kebijaksanaan. Socrates telah memulainya dengan dialog-dialognya yang berani dan mencerahkan melawan hegemoni Sophist.
Dalam arena keagamaan, taklid buta adalah racun yang mematikan hati penganut agama, sedangkan dialog, menghidupkannya. Karenanya, perlu ada keberanian mengubur tradisi klaim yang beku, kita mulai dengan dialog, diskusi, sharing, debat atau apapun namanya. Imam Ali as mengatakan: "Benturkan pandangan kalian satu sama lain, niscaya kalian temukan kebenaran".
Ada semangat besar dalam mencari kebenaran yang terkandung dalam hikmah ini. Bukan sekedar berdiskusi, berdialog, bertukar pikiran namun juga kalau perlu saling berdebat, saling membenturkan pandangan, sealot dan sekeras mungkin. Imam Ali as melanjutkan pesannya, "Siapa yang bertabrakan dengan kebenaran akan terpental."
Taklid buta tak pernah mendewasakan kita dalam beragama. Mari saling menghantamkan pandangan, kita lihat siapa yang terpental. Wallahu’alam bishshawwab.
Profil Penulis :
Ismail Amin; Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran Lahir di Makassar 6 Maret 1983, sempat menimba ilmu di Ma’had Al Birr UNISMUH Makassar, sekarang untuk sementara menetap di Republik Islam Iran sambil belajar di Mostafa International University. Mengelola blog pribadi abi-azzahra.blogspot.com bisa di hubungi via email di [email protected]