Ada Apa Dengan Kaum Pemimpin

Di suatu majelis taklim muslimah, seorang ibu bertanya “Ustad, bagaimana ya. Saya dan suami berbeda. Sementara saya sibuk mendekatkan diri kepada Allah, saya berusaha sekuat tenaga mendidik anak dengan cara islami, saya berupaya keras menciptakan atmosfer islam di rumah, sementara suami saya, masih jauh dengan agama, bahkan shalat pun tidak”. Kata-kata terakhir ibu itu betul-betul membuat saya terhenyak!

Curhatan semacam itu bukan satu atau dua kali terdengar. Betapa banyak suami yang masih jauh dengan tuntunan Islam. Alasannya klise, karena kesibukan pekerjaan. Para suami sekarang umumnya teramat sibuk dari pagi dini hingga larut malam, hingga nyaris tidak punya waktu untuk mengemban tugas utamanya sebagai pemimpin di rumah tangga. Disamping itu nyaris tidak punya waktu untuk menambah wawasan dan memupuk spritualitasnya.

Sejujurnya sudah sejak lama saya ingin membuat tulisan ini. Namun tulisan bertajuk “Istri dulu dan Istri Sekarang” yang dimuat di eramuslim.com beberapa hari lalu, betul-betul melecut semangat saya. Saya prihatin. Saya lebih sering melihat tulisan ataupun mendengar tausiah yang “meluruskan” perempuan. Sebaliknya tausiah, nasehat, apalagi tulisan atau artikel yang “meluruskan” laki-laki, menurut pengamatan saya masih sangat sedikit.

Padahal firman Allah sangat tegas dan jelas. Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Lantas, kalau banyak terjadi kerusakan moral generasi, degradasi moral perempuan, tidakkah pemimpinnya yang terlebih dahulu harus “diluruskan”. Sudah saatnya kaum pemimpin melakukan evaluasi mendalam. Apakah mereka sudah memposisikan diri menjadi pemimpin? Apakah sudah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin? Atau ada yang salah dengan cara mereka memimpin? Mari kita urai satu persatu.

Pemimpin Keluarga

Alhamdulillah, dewasa ini majelis taklim muslimah tumbuh subur dimana-mana. Banyak ibu-ibu yang rutin mengikuti lebih dari dua majelis taklim dalam satu minggu. Seiring dengan itu banyak kemajuan spiritual yang dicapai. Di Jabodetabek khususnya, menurut pengamatan saya banyak perempuan yang tadinya belum menutup aurat dengan baik, sekarang sudah lebih baik.

Para ustad atau guru-guru spriritual mereka pun sering memberi PR hapalan ayat-ayat Al Quran, pelajaran tahsin, dan sebagainya. Namun bagaimana dengan para suami? Acap kali saya mendengar ustad mengatakan “Ibu-ibu transfer ilmu dong ke bapak. Kasih tau bapaknya”. Lho!
Memang itu tidak ada salahnya. Tapi kalau kondisi seperti itu dibiarkan terus-menerus, apa kita tidak menyalahi kodrat Allah? Bukankah seharusnya suami yang membimbing, menegur, menasehati istri? Bukankah pemimpin seharusnya lebih cerdas, lebih berwawasan dan lebih bijaksana?

Belum lagi kalau kita bicara masalah anak. Berapa banyak suami yang menyerahkan urusan anak kepada istri. Banyaknya kaum Adam mengatakan “Soal anak kan urusan perempuan”. Tidakkah mereka sadar siapa yang akan lebih besar dimintai pertanggungjawaban di depan Allah kelak? Bukankah ayah seharusnya yang menjadi imam sekaligus uswah bagi anak-anak? Dari puluhan, atau mungkin ratusan tausiah yang pernah saya simak, baru satu ustad -Budi Ashari, Lc.- yang mengemukakan pendapat seorang ulama besar (kalau tidak salah Ibnu Qayyim-mohon diluruskan kalau saya salah-) yang mengatakan bahwa kegagalan rumahtangga, kerusakan moral anak-anak adalah kesalahan bapak.

Lebih lanjut ustad Budi mengatakan di dalam Al Quran Allah menyiratkan model pendidikan dalam keluarga Islam yang ditonjolkan adalah peran laki-laki (bapak). Terlihat dari nasehat Luqman kepada anaknya. Tidak ada Allah mencontohkan nasehat perempuan, Maryam misalnya kepada anaknya.

Tanggung Jawab Lahir dan Batin

Bicara masalah pemimpin, tentu tak lepas bicara tanggung jawab. Banyaknya laki-laki merasa cukup bila telah memberikan istri atau keluarganya dengan limpahan materi. Apakah kebutuhan manusia hanya menyangkut kebutuhan lahiriah? Harus dipahami oleh kaum laki-laki bahwa kebutuhan batin perempuan sesungguhnya jauh lebih penting untuk diperhatikan dan dipenuhi.

Perempuan adalah makhluk perasa, makhluk yang sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Saya berani menjamin setiap istri pasti lebih memilih suami yang berpenghasilan lima juta perbulan, tetapi penuh perhatian, pengertian dan kasih sayang dari pada punya suami berpenghasilan sepuluh juta tetapi cuek dan kasar terhadap istri dan anak-anak.
Celakanya lagi, tidak sedikit juga suami yang tidak hanya penghasilannya yang pas-pasan, tetapi perhatian dan kasih sayangnya terhadap keluarga, juga pas-pasan.

Pemimpin Yang Ideal

Saya hampir selalu menangis bila mengingat kisah Rasulullah S.A.W yang memilih untuk tidur di depan rumah ketika pada suatu malam Beliau pulang, namun Aisyah R.A tak kunjung terbangun untuk membuka pintu. Subhanallah. Saya tak bisa mengukur betapa lembut hati Rasulullah. Betapa besar perhatian, kasih sayang dan empati Beliau terhadap istri. Rasululullah S.A.W adalah seorang lelaki sejati, gagah berani namun berhati lembut. Padahal beliau hampir tidak mendapat kelembutan kasih sayang perempuan. Beliau tidak dibesarkan dengan kelembutan seorang ibu.

Bagaimana dengan laki-laki sekarang? Apakah mereka punya empati dan tenggang rasa besar terhadap istri? Apakah mereka juga paham bahwa istrinya jauh lebih letih,lelah lahir dan batin mengurus suami, anak-anak, rumah, keluarga dengan segala problematikanya? Betapa banyak suami yang tidak peduli dengan kelelahan istrinya. Sehingga sang istri depresi, bahkan ada yang depresi berat, kehilangan akal sehat, hingga tega menghabisi nyawa anak-anaknya.

Betapa banyak suami yang merasa cukup dengan memberi materi? Celakanya lagi banyak suami yang sebetulnya sudah mendapat segalanya dari istrinya, tapi masih mencari kesenangan diluar. Naudzubillah!

Di dalam Surat An Nisa (34), Allah yang Maha Bijaksana terlebih dahulu menegaskan tentang posisi laki-laki, baru kemudian memberi nasehat kepada kaum wanita. Mudah-mudahan tulisan ini bisa memberikan perspektif yang seimbang tentang mengapa banyak terjadi degradasi akhlak generasi sekarang, termasuk perempuan. Idealnya, laki-laki dan perempuan paham akan porsi, tugas dan tanggungjawabnya masing-masing, sehingga bisa mencapai keluarga sakinah, dan tercipta tatanan masyarakat Islami, berlandaskan Al Quran dan Sunah Rasulullah S.A.W.
Wallahu ‘alam.

Penulis : Selly Afrida Oltar, Ibu Rumah Tangga, Pemerhati Sosial