Beberapa hari ini saya berkeliling melakukan perjalanan ‘ruhani’, masuk ke pesantren-pesantren, bertemu santri dan kyai, berdiskusi di sekolah-sekolah bersama siswa dan guru, dan bertemu dengan berbagai komunitas mahasiswa di beberapa kampus besar di pulau Jawa. Saya katakan perjalanan ‘ruhani’ karena memang dari dialog dan diskusi hangat dengan mereka yang tersegarkan justru adalah batin saya, bukan sekedar otak saya. Dari mereka saya menemukan spirit bahwa kata bangkit itu masih ada.
Siswa dan santri yang lugu adalah alasan negeri ini untuk bangkit, mahasiswa yang kritis dan idealis adalah alasan untuk bangkit, guru dan kyai yang sederhana namun menyimpan energi yang luar biasa adalah alasan untuk bangkit. Mereka semua kini telah membincangkan hal yang sama bahwa perubahan harus terus dilakukan. Ketika wakil rakyat mulai lupa diri, pemerintah kehilangan kendali, para politisi haus oleh ambisi, para siswa dan santri tetap serius menempa diri di bawah bimbingan guru dan kyai, sementara mahasiswa terus berdiskusi mematangkan rencana aksi. Ini semua adalah alasan yang cukup untuk bangkit.
Tangis keluarga dan kerabat yang ditinggalkan oleh seorang ibu hamil yang meninggal karena tidak ada yang bisa dikonsumsi, rintihan bayi-bayi kurang gizi di penjuru negeri, keangkuhan dan ketamakan para pejabat dan birokrat, ketidak pedulian wakil rakyat pada persoalan yang seharusnya ditangani, adalah alasan yang kuat untuk bangkit. Bencana yang tak jua berhenti, penanganan bencana yang justru menjadi objek jual beli para politisi, uang yang mulai menggantikan hati nurani, adalah alasan mengapa negeri ini harus bangkit.
Dari tangan santri, siswa dan pemuda kebangkitan itu harus dimulai. Dari tangan kaum dhu’afa yang selalu teraniaya kebangkitan itu harus digerakkan. Bukankah Muhammad SAW telah memulai kebangkitan bersama tangan mereka? Kini kita harus sudah mulai menyusun strategi bagaimana aksi kebangkitan itu akan kita jalani. Tentu semua harus dimulai dari diri sendiri untuk menjaga konsistensi agar semangat kebangkitan itu tetap terjaga dalam hati. Kedua, kita harus menyelamatkan santri, siswa dan mahasiswa dari kontaminasi senior-senior mereka yang mulai gila harta dan posisi meski mereka dulu pernah menjadi agen-agen reformasi. Ketiga, membangun sinergi nurani agar hati tetap tegar dijalan kebangkitan. Keempat, terus bergerak tanpa henti memperjuangkan agenda-agenda keummatan yang belum terselesaikan. Kelima, hancurkan semua penghalang unsur-unsur kebaikan dengan penuh keberanian dan melangkahlah dengan pasti menuju puncak kebangkitan.
Jalan kebangkitan tentu tidak akan mudah, terlalu banyak godaan yang dapat merubah sang jagoan menjadi bajingan, terlalu banyak tantangan yang mendudukkan pahlawan di kursi pesakitan. Semua itu adalah bagian dari ujian yang selalu ada di setiap zaman. Bukankah pasukan Rasulullah SAW berantakan di medan uhud karena begitu kuatnya godaan? Bahkan godaan itu telah memaksa Aisyah dan Ali bin Abi Thalib berada dalam pisisi yang berhadap-hadapan.
Namun apapun cobaannya, ketulusan dalam berjuang akan memudahkan kita menapaki jalan kebangkitan. Bila waktunya telah tiba semua akan terasa mudah tanpa harus dipaksa-paksa. Seperti proses kematian dan kelahiran, jika waktunya telah datang semua berjalan lancar. Sayangnya manusia seringkali ingin memaksakan sebelum waktu kedatangan itu datang, ingin segera sampai sebelum proses selesai, ingin segera memetik sebelum buahnya masak. Inilah sesungguhnya godaan terberat yang dapat membunuh arus kebangkitan. Semoga tidak terjadi. Wallahu’alam.