Jika ditarik waktu sejarahnya, sebenarnya kehidupan toleransi kehidupan antar umat beragama sudah dilakukan sejak lama oleh negeri ini. Perjuangan dan dinamisasi demokrasi bangsa Indonesia, sejak awal kemerdekaan hingga kini, telah terbangun dalam nuansa toleransi etika beragama yang sangat kental.
Contoh nyatanya adalah waktu perumusan dasar negara kita yang melibatkan berbagai elemen agama. Terlepas dari segala kontroversi ceritanya, saat itu elemen Islam merupakan elemen yang paling dominan. Jika saja saat itu umat Islam Indonesia tidak bertoleransi sedikitpun pada elemen agama lain, maka hingga kini tujuh kata di sila pertama Pancasila kita masih menjadi sarana untuk bertikai antar umat beragama.
Padahal kita tahu bersama, bahwa tetes darah perjuangan ini juga didominasi oleh santri dan ulama. Dan sekali lagi, kalau saja itu menjadi dalih, tentulah itu sudah cukup untuk ‘meminggirkan’ elemen-elemen lainnya. Tetapi betapa luar biasanya bangsa ini, umat Islam Indonesia masih menjunjung tinggi nilai toleransi. Umat islam rela menghapus tujuh kata tersebut demi keutuhan Negara Republik Indonesia.
Dan bangsa ini pun juga memaklumi, bahwa agama dan politik adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Walaupun tidak secara frontal dan tetap dalam koridor toleransi, nilai-nilai islam telah mengidentitaskan dirinya secara lembut dalam sendi kehidupan bangsa, dan akhirnya dapat diterima oleh semua elemen tanpa ada kekisruhan yang berujung pada tindakan anarkis.
Pun beberapa tahun lalu, acara Indonesia Update 2007 yang diadakan The Australian University 2007 di Canbera, yang mengangkat tema: Expressing Islam: Religious Life and Politics, telah menjelaskan bahwa pola keberagaman di Tanah Air tidak dapat dipisahkan dari dua unsur penting, politik dan kebudayaan. Keduanya memberikan sebuah pola yang signifikan pada kehidupan beragama. Makanya belumlah utuh kehidupan bangsa Indonesia, tanpa ada integrasi agama, politik, dan kebudayaan. Ketiganya tidak dapat diabaikan begitu saja.
Negeri ini patut berbangga, karena tidak seperti negara-negara Muslim lainnya, bahwa mayoritas Umat Islam adalah kalangan yang mengidentifikasikan dalam umat yang moderat. Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, yang merupakan dua pentolan ormas terbesar Indonesia telah memperkokoh dirinya sebagai garda terdepan wacana keislaman yang berorientasi kebangsaan dan kemanusiaan.
Jadi sikap moderat yang seperti ini mutlak diperlukan agar umat yang mayoritas di republik ini dapat menjadi teladan dalam membangun toleransi dalam konteks kebangsaan, toleransi dalam ruang kebangsaan tidak akan hadir tanpa adanya toleransi di dalam lingkungan internal umat islam itu sendiri.
Dan contoh real dan klasik yang bisa ditempuh untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah meneladani kembali para ulama terdahulu dalam membangun toleransi. Seruncing apapun perbedaan di antara mereka, mereka masih saling menghormati dan menerima perbedaan tanpa ada ancaman sedikit pun.
Didalam bukunya yang berjudul Pemikiran Muslim Moderat, Zuhairi Misrawi menyebutkan bahwa demokrasi tanpa toleransi hanya akan menghasilkan sebuah politik otoritarianistik, dan sebaliknya toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan pseudo-toleransi, yaitu toleransi yang rentan menimbulkan konflik-konflik komunal. Sebab itu, demokrasi dan toleransi harus berkait kelindan, baik dalam komunitas masyarakat politik maupun masyarakat sipil.
Namun yang menjadi pertanyaan menarik adalah, apakah diskursus makna ‘toleransi’ yang difahami oleh Umat Islam Indonesia saat ini masih otentik atau telah mengalami pembiasan? Dan bagaimana jika dikaitkan pada al ‘wala dan al ‘bara? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita sejenak memperhatikan kembali makna ‘toleransi agama’ dan ‘toleransi umat beragama’ agar kita dapat berdiri kokoh pada prinsip islam yang benar tanpa menutup mata pada oase toleransi yang menghingar-bingar saat ini.
Toleransi agama adalah sikap permisif terhadap ajaran agama lain. Dan toleransi umat beragama adalah sikap untuk saling menjaga hubungan baik dengan penganut agama lain. Sekilas memang terlihat sama, namun secara substansinya sangat diskrit. Ada batasan-batasan yang membuat Umat Islam tidak serta merta bisa mengikuti perilaku umat lain. Selama tidak berkaitan pada hal yang berkaitan dengan akidah, maka sah-sah saja umat Islam menjalin hubungan sosial dengan umat-umat lainnya, termasuk dalam politik dan kebudayaan.
Lebih jelas lagi, telah terlihat jelas pada modus Vivendi, mitsaq al-madinah (piagam madinah). Diatas kertas itu, Rasulullah sebagai seorang pemimpin tertinggi mencoba untuk membangun toleransi yang berbasis pada kesepakatan hubungan sosial di antara kelompok agama-agama, khususnya Islam dan yahudi.
Hampir semua pasalnya menjelaskan tentang hubungan sosial antar kedua golongan. Namun ada disebuah pasal yang menjelaskan hubungan akidah. Tepatnya pada pasal 25 ayat 2 hingga 4, disebutkan bahwa terdapat kebebasan kaum muslim dan yahudi untuk memeluk agama mereka selama tidak ada yang berbuat mengacau dan berbuat kejahatan yang menimpa mereka. Artinya, toleransi itu sah-sah saja selama tidak mengganggu akidah.
Jadi toleransi inilah yang mesti dibangun di kehidupan Umat Islam Bangsa Indonesia. Sebuah toleransi antar umat beragama tanpa melepaskan kesejatian dari makna toleransi itu sendiri. Hilangnya substansi toleransi antar umat beragama akan berbuah pada hilangnya identitas umat Islam dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan Umat Islam Indonesia, untuk tetap melestarikan toleransinya pada umat beragama tanpa kehilangan identitasnya. Yang pertama adalah menumbuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang intensif. Yang kedua adalah menanam sebuah bibit kepercayaan antar umat beragama.
Dan yang ketiga adalah adanya seorang pemimpin umat yang memiliki ketegasan dan khazanah intelektual yang bijak untuk memandang toleransi dalam konteks hidup kebangsaan.
Jika saja tiga hal diatas dapat diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan Bangsa Indonesia, maka tindakan intoleran, misalnya saja kekerasan, intimidasi dan penyerangan sebuah kelompok ekstrimis dapat dihindarkan. Dan paradigma Islam rahmatan li al-‘alaminin dapat menjadi sebuah implementasi yang nyata bahwa memang islam adalah agama kasih sayang dengan seluruh penduduk alam raya.
Ryan Alfian Noor
Mahasiswa Teknik Perminyakan ITB 2006
Peserta Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis Nurul Fikri Indonesia.