Sembilan tahun yang lalu, 11 september 2001 sembilan belas orang yang konon katanya dianggap sebagai kelompok “teroris” dengan bersenjatakan pisau berhasil membajak pesawat jenis boeing dan menabrakkannya ke gedung kembar WTC dan Pentagon Amerika Serikat (AS). Dan hanya dalam hitungan detik gedung tersebut runtuh, korban tewas konon mencapai lebih dari 3.000 orang.
Selang beberapa waktu setelah kejadian, media massa newsweek Amerika menurunkan headline surat kabar dengan tajuk “Amerika diserang (America Under Attack)”, “This is al-Qaeda,” kata Richard Clarke, Kepala Anti-terorisme di Gedung Putih AS.
Al-Qaeda dibawah pimpinan Osama Bin Laden diklaim bertanggung jawab terhadap serangan tersebut. Amerika meradang dan lahirlah “perang” yang dalam Istilah Bush disebut sebagai new crusader (perang salib baru).
Peristiwa tersebut merupakan babak perjalanan sejarah yang paling kelam bagi dunia Islam, maka praktis sejak saat itu Islam menjadi salah satu agama yang dituduh berada dibalik serangan yang menghancurkan pusat ekonomi dunia dan pusat pertahanan AS tersebut.
Perspektif barat dalam memandang Islam pasca kejadian september bermuara pada kesimpulan yang sama yakni Islam sebagai agresi dan ancaman (aggresion and hostility)
Selang beberapa hari tepatnya tanggal 20 septermber 2001 presiden Amerika Serikat George Bush menyampaikan pidato di depan kongres Amerika Serikat. Inti pidato tersebut terangkum dalam kalimat “setiap bangsa, dibelahan bumi mana pun, kini harus membuat keputusan. apakah mereka bersama kita atau bersama teroris (either you are with us or you are with the terrorists)”
Dan tentu saja isi pidato Bush tersebut menimbulkan reaksi pro dan kontra berbagai negara. Sebuah pernyatan yang secara hitam putih menggambarkan sikap AS yang keras dan menggambarkan kondisi dunia yang terpilah dalam sebuah pertarungan antara kekuatan baik (good) dan kekuatan jahat (evil). AS sengaja menciptakan stigma untuk mendukung atau melawan AS terhadap negara-negara di berbagai dunia untuk terlibat aktif dalam kebijakan AS dalam bentuk kampanye War On Terorisme (WOT), perang melawan teroris internasional sebagai ancaman global.
Terorisme : tuduhan terhadap Islam
Pada dasarnya terorisme dalam perjalannya berkembang dari sekedar istilah yang ditujukan pada entitas yang berorientasi pada kondisi penciptaan kekerasan dan penciptaan situasi yang chaos dimasyarakat.
Perlu diketahui sampai detik ini belum pernah ada satu pun definisi terorisme yang disepakati publik baik secara hukum international maupun organisasi skala international. Setiap negara, organisasi serta kaum akademisi memiliki definisi dan persepsi sesuai faktor ideologi politik masing-masing.
Setelah kejadian 11 September 2001 istilah terorisme mengalami bid’ah terminologi yakni sejak pernyataan Bush tentang crusade dan perang global melawan gembong teroris al-Qaeda yakni Osama Bin Laden. Terorisme muncul sebagai salah satu isu politik terpenting di Amerika Serikat.
Sejak saat itu kalangan akademisi, orientalis, politisi dan dunia pers Barat acapkali melakukan stereotip yang jelek terhadap Islam yang melulu digambarkan sebagai ekstrim, radikal, fundamental. Islam menjadi ancaman bagi Barat sebagai mana komunisme saat perang dingin.
Azyumardi Azra menyebutkan kebijakan politik war on terrorisme yang dikeluarkan AS pasca gerakan September membuat kondisi dunia terhadap Islam cenderung tidak menggembirakan, memburuk dan konfrontatif. Intimidasi psikologis kerap dirasakan umat Islam diberbagai negara sampai ada upaya gerakan massal pembakaran al-Qur’an oleh warga AS pada tanggal 11 september 2010 dalam rangka peringatan tragedi September yang menghancurkan menara kembar WTC dan Pentagon.
Hal ini menurut Azra, sesungguhnya cenderung dipandang sebagai aktualisasi dari apa yang disebutkan oleh Samuel P. Huntington dalam tesisnya sebagai the clash of civilizations (benturan antar peradaban) yakni benturan peradaban Barat vis a vis Islam.
Genderang perang melawan terorisme yang terus diopinikan secara masif diberbagai belahan negara dibawah komando AS. Sesungguhnya adalah upaya menggiring kesatuan opini dunia (one world opinion) bahwa yang sedang diperangi adalah Islam entah dengan berbagai kamuflase istilah yang diluncurkan seperti Islam Radikals, Islam Fundamentalis, Islam Revivalis, Islam Politis, Islam ektrimis dan lain sebagainya. Sehingga sikap curiga secara kolektif berbagai negara terhadap Islam mencapai puncaknya persis seperti yang diramalkan oleh Huntington di atas.
Salah satu entitas Islam yang menjadi sasaran empuk tuduhan akademisi barat terutama kaum orientalis adalah penggunaan doktrin Jihad sebagai alat legitimasi melakukan kekerasan teologis. Asumsi teroritis yang kebablasan yang lahir dari tafsiran subjektif tentang jihad yang mulia dalam Islam
Tidak segan-segan mereka kaum orientalis barat menunjuk hidung tokoh-tokoh Islam semisal Sayyid Qutb, Abu A’la Al-Maududi, Abdullah Azzam, Abdus Salam Al-Faraj dan lain sebagainya sebagai biang pemikiran gerakan terorisme. Padahal sejatinya tokoh-tokoh tertuduh tersebut tidak pernah mengajarkan aktifitas terorisme.
Islam bukan teroris itu pasti
Islam sejatinya agama yang mengajarkan keramahan dan kedamaian pada semua entitas, dan sejatinya radikalisme sungguh jauh dari nilai-nilai Islam yang fundamental dan tidak pernah ada ceritanya Islam mengajarkan terorisme. Islam sebagai dalang terorisme merupakan tuduhan tanpa dasar dan belum bisa dibuktikan secara faktual maupun teoritis.
Pertanyaanya adalah Istilah radikalisme, revivalisme dan sejenisnya, selaraskah istilah tersebut disejajarkan dengan nilai-nilai Islam yang universal ?. apakah terminologi tersebut memang mengacu kepada doktrin tertentu yang melegitimasi agama sebagai basis gerakan untuk melakukan aktifitas terorisme dan radikalisme ?.
Menyandarkan aktifitas terorisme dengan Islam sudah tidak relevan lagi, karena label terorisme bisa terjadi oleh beberapa faktor seperti kemiskinan, kekecewaan politik secara global, kesenjangan sosial dan lain sebagainya. Sungguh jargon crusader abad ke 13 “ Islam diawali dengan pedang , dipertahankan dengan pedang dan dengan pedanglah diakhiri ” sudah saatnya dikubur dalam ruang sejarah pengap peradaban. Wallahu alam
Ruyatna Al-Bantany, Aktifis Kajian Zionisme International (KaZI) , Tinggal di Lebak Banten