Ketenangan negeri ini kembali terusik oleh teror bom. Empat buah bom buku dikirim ke beberapa tokoh di antaranya, Ulil Absar Abdalla (akivis JIL), Ahmad Dhani (musisi), Goris Mere (Kepala BNN), dan Yapto Soerjosumarno (ketua umum Pemuda Pancasila). Peristiwa ini telah menyita perhatian publik dan media.
Para analis dan pengamat mulai berspekulasi untuk menguak latar dibalik kejadian tersebut. “Teroris” Terminology awal yang menjadi target analisa. Islam kembali menjadi sorotan dan menjadi objek penisbahan.
Stigmatisasi barat bahwa terorisme identik dengan Islam sulit untuk dihindari ironisnya diperparah lagi dengan pernyataan beberapa pengamat dan analis (mengaku Islam) yang mendukung stigmatisasi tersebut. Islam dan Teroris kini bak lokomotif dengan gerbong kereta yang sulit dipisahkan.
Berbagai pertanyaan bermunculan, benarkah kasus bom buku yang terjadi saat ini adalah murni bentuk aktualisasi diri seorang muslim dalam mengimplementasi ajaran Islam dalam melawan kemungkaran? atau hanya merupakan sebuah reaksi dari individu atau sebuah kelompok yang menjadi korban dari bentuk ketidakadilan (aksi) atas dirinya atau kelompoknya? Ataukah kasus ini sengaja didesain pemerintah untuk pengalihan isu?
Hampir setiap kali peristiwa teror bom yang terjadi di negeri ini selalu menyiratkan berbagai keganjilan. Salah satu hal yang menarik untuk dikaji dalam kasus bom buku adalah waktu kejadiannya (timing).
Terdapat dua pertanyaan analitis yang dapat diajukan untuk menguak keganjilan teror bom buku, di antaranya:
Pertama, kenapa bom buku yang diindikasikan sebagai ancaman kepada orang-orang yang memiliki pemikiran dan gerakan yang menyimpang dari Islam baru terjadi saat ini. Padahal jika dicermati, penyimpangan pemikiran yang dilakukan para target bom, seperti Ulil Absar Abdalla telah lama terjadi.
Bahkan, di tahun 2004 Ulil pernah di fatwa halal darahnya oleh salah satu kelompok Islam, namun tidak ada reaksi berupa ancaman bom. Begitupun target lainnya yaitu, Ahmad Dhani salah satu musisi terkenal yang pernah membuat geram umat Islam karena melecehkan simbol-simbol Islam. Kejadian itu pun telah terjadi beberapa tahun yang silam, mengapa baru saat ini ada ancaman sedahsyat itu.
Kedua, kenapa bom buku itu terjadi di tengah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sedang menghadapai sorotan tajam dari masyarakat setelah adanya wacana penyalahgunaan kekuasaan (abused power) sebagaimana yang dirilis oleh Wikileaks.
Berdasarkan analisa tersebut terdapat banyak keganjilan jika motif bom buku murni untuk mengancam para orang-orang yang memiliki pemahaman idiologis yang berbeda dengan kelompok pengancam sebagaimana yang diutarakan oleh seorang pengamat teroris di salah satu televisi swasta, akan tetapi bagi penulis peristiwa tersebut lebih bertendensi konspiratif yang sengaja dirancang oleh orang yang memiliki kelihaian untuk mengalihkan sebuah isu besar yang terjadi saat itu. Biasanya dilakukan para otoritas untuk bersembunyi dibalik kesalahan yang dibuatnya dengan cara mengorbankan suatu kelompok tertentu, inilah yang disebut dengan politik belah bambu.
Pengalihan Isu; Islam sebagai Korban
Sebagian pengamat berasumsi jika kasus bom buku yang terjadi saat ini adalah upaya pemerintahan SBY untuk mengalihkan isu Wikileaks. Bahkan pernyataan salah seorang aktivis Islam Liberal yang dikutip salah satu media Islam Online mengungkapkan bahwa, bom buku terkait politis, bukan kerjaan Islam garis keras.
Jika bercermin kebelakang, isu terorisme yang sering terjadi di negeri ini sebagian besar terjadi ketika pemerintah menghadapi guncangan dalam pemerintahannya. Misalnya, kasus penggrebekan teroris di Pamulang Banten terjadi saat pemerintah di guncang kasus isu Bank Century.
Di tahun 2009 saat pemerintah diguncang isu kecurangan Pemilu, tiba-tiba muncul isu teroris seiring peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton di kawasan Kuningan Jakarta Selatan. Masih di tahun yang sama, ketika perhatian publik mengarah pada kasus perseteruan antara KPK vs Polri (kasus Cicak vs Buaya), namun harus terhenti saat terjadi penggrebekan Nurdin M. Top di Temanggung Jawa Tengah.
Selain itu, kasus penyergapan Dulmatin dan kawan-kawanya terjadi saat Kasus Century dan mafia pajak mulai mencapai klimaksnya. Penggrebekan terorisme kembali terjadi di Sukoharjo saat kasus Gayus Tambunan (keluar negeri) mengusik kinerja pemerintah. Dan kasus terakhir, ketika pemerintah di guncang dengan isu penyalahgunaan kekuasaan oleh SBY tiba-tiba negeri ini dihebohkan dengan kasus terorisme berupa bom buku.
Rentetan peristiwa terorisme yang terjadi selama ini telah menjadikan Islam sebagai korban konspirasi yang sengaja di desain oleh pemerintah untuk di manfaatkan saat dibutuhkan. Banyak orang menyalahkan kinerja intelegen yang lamban dalam mengungkap pelaku teroris, akan tetapi bagi penulis para inteligen kita sebetulnya tidak lamban atau lemah namun mereka seolah membiarkan para pelaku teroris tetap ada untuk dimanfaatkan sewaktu-waktu jika dibutuhkan.
Islam, agama yang memiliki penganut terbesar di negeri ini, mungkinkah terus menjadi korban politik belah bambu pemerintah untuk mencapai tujuannya? wallahu ‘alam.
Profil singkat:
Rushdie Kasman, Mahasiswa pasca sarjana UPI Bandung; aktif dalam kajian INSIST Jakarta dan PIMPIN (Institut Pemikiran dan Pengembangan Insan) Bandung