Kita sadar, umat sering diadu domba. Kita tahu, ukhuwah masih terseok-seok. Tapi apakah kita berpura-pura tidak mau mengakui kenyataan ini atau memang tidak mau untuk kembali bangkit? Pertanyaan ini pernah terlontar dari seorang kawan yang berprofesi sebagai jurnalis.
Di negeri yang mayoritas Muslim, seperti Indonesia, sering kali media massa menjadikan Islam sebagai pihak tersudut. Indepedensi media yang telah terkontaminasi oleh banyak kepentingan acap menyudutkan Islam di hampir setiap kasus yang melibatkan kepentingan umat. Kasus jadi mencuat, lalu dibesar-besarkan atau diputarbalikkan.
lhasil, informasi yang diolah, sering melukai hati umat Islam.
Fenomena ini amat menyedihkan. Menusuk relung hati. Frame media yang menyudutkan umat terjadi berulang kali. Kasus terorisme, penangkapan ulama, kasus HKBP, Ahmadiyah, dan sebagainya. Peristiwa yang melibatkan umat kadang dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk ‘mencuci otak’ khalayak dengan menggiring opini seolah Islam sebagai agama yang suka kekerasan, agama yang suka berbuat onar, agama yang tidak menghargai hak asasi manusia, dan sebagainya.
Berita semacam ini dikonstruksikan sedemikian rupa. Dicetak atau diputar berulang-ulang. Dikemas dalam beragam acara diskusi di layar kaca dengan menghadirkan nara sumber yang cenderung menitik beratkan kepentingan yang tak memihak umat. Akhklak media massa telah terkikis. Tergerus oleh rating yang mendulang rupiah. Masa bodoh dengan masa depan akidah.
Ironis, umat belum memiliki kekuatan mendobrak agenda setting media. Siaran atau informasi yang terserak dan dikonsumsi masyarakat semakin jauh dari nilai Islami, baik informasi dalam berita atau tayangan lain. Kemasan acara yang jarang memuat nilai edukasi terus dibiarkan. Protes demi protes seperti angin semilir yang jarang didengar pihak media. Ketika hadir media massa yang menyiarkan/menyebarkan nilai Islami, pamor media itu masih kalah telak. Umat pun jarang meliriknya.
Gerakan diet televisi, matikan televisimu, atau tinggalkan televisi; belum banyak mengubah moral bangsa ini, khususnya dalam konteks menggerakkan kebangkitan umat Islam Indonesia. Sebaliknya, kesadaran untuk kembali kepada nilai Quran dan Sunnah semakin jauh. Ulama sebagai pewaris nabi tinggal sedikit yang mau bergerak dari kampung ke kampung, dari pintu ke pintu. Jarang kita temui ustadz yang berdakwah seperti cara para wali dahulu. Jarang pula di setiap ba’da Maghrib kita dengar lantunan Quran di rumah-rumah.
Dengan kondisi ini, kita malah sering mendengar teriakan tegakkan syariat Islam, dirikan khilafah Islamiyah. Melihat realita umat, hal ini seperti utopis. Bukan untuk melemahkan semangat atau bersikap pesimis. Namun, sepertinya sulit merealisasikan penegakan syariat Islam di negeri ini bila melihat kondisi kita masih lemah; kelemahan mengembangkan nilai Islami dalam mendidik anak, kelemahan ekonomi, ukhuwah, penguasaan ilmu Islam, kelemahan strategi pengumpulan, pengolahan dan penyebaran informasi hingga kepentingan umat dinjak-injak media, serta kelemahan lain.
Kita sadar, umat sering diadu domba. Kita tahu, ukhuwah masih terseok-seok. Tapi apakah kita berpura-pura tidak mau mengakui kenyataan ini atau memang tidak mau untuk kembali bangkit? Pertanyaan ini patut kita renungkan. Sesama umat masih banyak yang saling caci, adu jotos, dan mementingkan bendera kelompok, organisasi, atau partai. Bukan kepentingan Dinnul Islam secara kaffah. Kekerasan bernuansa agama yang mengakibatkan darah tumpah masih terjadi di antara umat. Banyak pula umat Islam yang masih membela kelompok yang jelas-jelas mendangkalkan akidah. Sebaliknya, persaudaraan di tubuh non Muslim; Nasrani maupun Yahudi semakin kuat.
Mari bercermin, mereka rela mengeluarkan sejumlah hartanya untuk menolong sesamanya. Bagaimana kekuatan persaudaraan mereka dalam mengangkat harkat martabat ekonomi kaumnya yang lemah, membuat sekolah bonafit bagi siswa mereka yang kurang mampu, menyediakan lapangan pekerjaan bagi kaumnya yang menganggur, menggalang ragam bantuan bagi kaumnya yang sakit, dan sebagainya. Atau Yahudi yang memilih memutarkan uangnya di kalangan mereka sendiri. Semaksimal mungkin mereka menjaga agar perputaran uang tak lari dari kaumnya.
Rasulullah yang membawa nilai ukhuwah, justru dipraktekkan oleh mereka yang non Muslim. Alangkah naif, dari sekian juta rakyat miskin di negeri ini didominasi umat Islam. Lalu, kemana orang-orang kaya kita? Mengapa potensi zakat (fitrah dan mal) belum mampu mendongkrak kesejahteraan umat? Untuk apa menggalang kekuatan di parlemen tapi kesejahteraan dan pendidikan umat di kalangan bawah kian berantakan?
Bagaimana mungkin masih bisa menikmati hidup di mobil mewah tapi masih cuek dengan para gembel yang menahan lapar? Bagaimana mungkin paham dengan sejarah kehidupan, perjuangan, kesederhanaan Rasul dan Sahabat tapi dalam kesehariannya kita tetap bermewah-mewahan? Untuk apa berteori ukhuwah bila dengan lingkungan sekitar tak peka. Ini bisa saja masih kita alami.
Sebab, bisa jadi, ketika bersama istri dan anak-anak kita bahagia tapi kita tak tahu bahwa kakak kandung, adik kandung, saudara, atau tetangga kita ada yang berteriak kelaparan, berteriak kesulitan membiayai pendidikan buah hatinya. Kadang kita mementingkan kepentingan terlalu besar, tapi kebutuhan krusial dari orang terdekat terlupakan. Kebutuhan fundamental untuk memajukan umat dilalaikan.
Hingga kini tetap ada sekolah Islam terpadu (TKIT, SDIT, dll) yang memang berkualitas tapi masih harus mensyaratkan biaya menjulang. Jarang bisa disentuh oleh masyarakat yang kurang mampu. Kelengkapan fasilitas sekolah dan kualitas didik yang baik memang membutuhkan biaya besar, tapi apakah memang benar-benar tak bisa menjangkau umat yang miskin? Adakah sekolah Islam dimana pihak yayasan atau pengelolanya tak meraih keuntungan? Sepertinya lembaga pendidikan Islam telah beralih kepada orientasi bisnis, kurang memprioritaskan pada ketulusan mencerdaskan umat.
Mungkin salah satu indikasi ini bisa terekam dari kebanyakan sekolah Islam terpadu yang siswanya didominasi dari kalangan menengah ke atas. Muslim yang miskin lebih banyak menyekolahkan siswanya di sekolah negeri–yang maaf, barangkali, kurikulum dan out poutnya standar. Masih banyak pula generai umat yang putus sekolah lantaran tak ada biaya. Jika demikian, dimana peran aktif pengelola/yayasan sekolah Islam? Sejauh mana kesungguhan mencerdaskan umat seperti yang tertera dalam visi atau brosur-brosur lembaga pendidikan Islam yang disebar di jalan-jalan, di banyak tempat.
Allah SWT berfirman: Dan hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, khawatir terhadap mereka. Karena itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan benar (An Nisa, ayat 9).
Tanggung jawab besar terhadap masyarakat miskin memang ada di pundak pemerintah. Tapi alangkah indahnya bila seluruh pengelola sekolah Islam di negeri ini bisa mengambil alih peran pemerintah dalam hal memberi pendidikan bagi umat lapisan bawah. Menjadi oase bagi anak-anak jalanan yang putus sekolah. Alangkah eloknya bila potensi zakat benar-benar dimanfaatkan secara optimal mengangkat derajat kehidupan kaum dhuafa. Betapa bahagianya, sesama umat saling membantu keperluannya.
Kemajuan suatu umat atau bangsa tak bisa dipisahkan dari pendidikan dan ukhuwah/persatuan. Jika pendidikan umat masih mahal, sulit rasanya untuk memajukan Islam. Ini berkorelasi erat dengan kekuatan ukhuwah. Bila ukhuwah kita sudah kuat, tentu, akan semakin banyak sekolah Islam berkualitas dirasakan oleh umat yang ekonominya rendah. Pada saatnya umat tak mudah dicekoki dengan informasi yang mampu mendangkalkan akidah. Sulit untuk diadu domba. Lebih cepat untuk bergerak maju.
Rasulullah berwasiat agar kita membantu orang-orang fakir. “Sekalipun hanya secuil kurma atau setetes air.” Hal itu diulangi hingga tiga kali. Makna hadits di atas menunjukkan manusia harus memberi uluran tangan kepada orang lain dan memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Sekalipun pemasukannya terbatas, hendaknya ia tetap membantu orang yang lebih miskin darinya. Orang yang hidup bahagia bersama istri dan anaknya, ia harus berusaha membagi kebahagiaannya ke dalam kehidupan orang lain, semampunya. Hal ini harus diajarkan kepada seluruh anak-anak, baik pria dan wanita. (Husain Mazhahiri: Pintar Mendidik Anak, 1999).
Untuk mewujudkan kebangkitan Islam, mari bercermin pada non Muslim yang benar-benar mempraktekkan kekuatan ukhuwah, mengoptimalkan nilai Islami yang dibawa Rasulullah. Lalu, mari bandingkan dengan kualitas ukhuwah kita saat ini. Kita masih harus belajar lagi memperbaiki kualitas ukhuwah di segala bidang. Terutama mengasah kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Selanjutnya, barulah kita bisa bergerak untuk kemudian berjuang menegakkan syariat Islam di negeri ini.
Kita sadar, umat sering diadu domba. Kita tahu, ukhuwah masih terseok-seok. Kembali ke pertanyaan awal: Apakah kita berpura-pura tidak mau mengakui kenyataan ini atau memang tidak mau untuk kembali bangkit? Duhai saudaraku, mari kuatkan ukhuwah. Ayo, bangkitkan kekuatan itu! Barangkali bisa diawali dengan lebih memperhatikan dan membantu lingkungan terdekat, semampu kita. Semoga… Wallahu ‘alammu.
* Rap al Ghifari. Penulis beberapa buku antologi. Mengelola buletin dakwah komunitas di Jakarta Timur. Pernah berkecimpung sebagai jurnalis di media nasional dan daerah. Kini masih aktif menulis dan menekuni dunia bisnis. Silaturahmi, bisa kunjungi www.klikrudi.blogspot.com