Mengikuti perkembangan informasi terkini kian membuat hati kita masygul. Khususnya melihat pemberitaan yang disiarkan media televisi. Pemutar balikkan fakta, penyudutan dan pembusukan citra Islam sering kali kita saksikan di televisi dan media massa lainnya.
Bahkan tak jarang, etika jurnalistik didobrak; tidak lagi ditaati. Pemberitaan tentang umat tak imbang, tidak cover both side dan sering kali ditayangkan di layar kaca. Ya, benar. Banyak kalangan intelek telah meninggalkan televisi. Kebanyakan beralih ke media online yang bisa diakses hanya dengan telepon genggam.
Tapi, budaya membaca yang masih minim membuat televisi masih menjadi media alternatif terbaik bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Bisa dibilang televisi kian menjadi kebutuhan pokok. Lihat saja di rumah-rumah kontrakan yang berpetak-petak atau di kawasan kumuh di bilangan Ibu Kota.
Ba’da Maghrib jarang sekali kita bisa mendengar lantunan ayat-ayat Quran terdengar dari rumah-rumah warga. Sebaliknya, kita lebih mudah mendengar suara tayangan televisi dari rumah-rumah sempit sekali pun. Begitu pula di pelosok-pelosok desa yang –maaf- rumahnya reot tapi tetap banyak yang memiliki televisi.
Di dunia ini, jumlah perangkat TV mencapai 45 persen dari jumlah keluarga. Itu data statistik waktu tahun 1995. Tahun 2010, jumlah itu meningkat menjadi 60 persen dari total jumlah rumah tangga. Di Amerika, jumlah TV malah lebih banyak ketimbang jumlah rumah tangga. Di Gurun Sahara, jumlah pemilik TV akan meningkat berkali lipat dalam lima tahun ke depan (http://www.kaskuserz.com/forum/Selain-Internet-jangan-remehkan-kekuatan-TV).
Kalangan menengah ke bawah di Indonesia seolah masih kesulitan untuk meninggalkan televisi. Kotak ajaib ini tetap dijadikan rujukan untuk mengisi waktu atau mencari hiburan. Pada saat bersamaan masih butuh waktu panjang merubah budaya menonton menjadi budaya baca. Jadi, sekali lagi, hingga detik ini masih banyak masyarakat yang menjadi penikmat televisi.
Ini adalah kekuatan umat sekaligus bumerang. Menjadi kekuatan manakala kita bisa menyajikan pendidikan Islam secara massif melalui layar kaca. Tapi akan menjadi bumerang manakala siaran televisi masih seperti saat ini: Minim nilai edukasi dan dalam siaran pemberitaannya acap kali memojokkan umat.
Syahdan, akhir-akhir ini kasus Ciketing, rekayasa teroris, dan kasus lain yang menyudutkan Islam seolah menjadi menu utama yang sengaja dijejalkan untuk para penikmat televisi. Hati kita bertambah masygul manakala efek buruk televisi kian merajalela menusuk ke hati dan pikiran umat.
Banyak sekali doktrin televisi yang berhasil hingga menciptakan efek domino lain: dekadansi moral, budaya permisif di masyarakat, hingga perpecahan umat. Berita-berita teroris yang menggiring opini menyudutkan Islam, pembunuhan karakter ulama, atau para aktivis Islam ditelan mentah-mentah oleh sebagian besar bangsa ini.
Dampaknya masyarakat kian sinis terhadap laki-laki berjenggot, suka mengaji, wanita Muslimah bercadar. Tak jarang bapak-bapak mewanti-wanti anaknya jika ingin mengaji. Pendek kata, Islam phobia kian nyata di depan mata kita. Hadir di tengah-tengah masyarakat kita; yang katanya mayoritas beragama Islam. Ini semua secara langsung maupun tidak berkat kekuatan televisi.
Baru-baru ini untuk kesekian kalinya televisi, khususnya TV One gencar sekali memberitakan aksi terorisme yang ‘membunuh’ citra Islam. TV itu mendatangkan nara sumber yang sejalan dengan visi mereka. Ini tidak aneh. Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50/M/V/2006 tanggal 19 Mei 2006, Karni Ilyas diangkat sebagai anggota Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS) dari unsur tokoh masyarakat. Jadi, tak heran bila televisi itu selalu gemar memberitakan ‘prestasi’ polisi.
Namun, pada saat yang sama sebenarnya pengangkatan Karni Ilyas sebagai anggota Kompolnas justru ambigu dengan semangat jurnalisme ideal. Padahal menurut penulis buku Elemen Jurnalisme (The Elements of Journalism), Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, menyebutkan ada 9 elemen jurnalisme yang patut diperhatikan insan pers:
Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran, loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara, esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi, jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya, jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan.
Selanjutnya, jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi, jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan, jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional, dan jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya. Dalam buku barunya, Bill Kovach dan Rosenstiel menambahkan elemen ke-10: Mereka mengkaitkan elemen terbarunya dengan perkembangan teknologi informasi.
Jika kita saksikan berita yang beredar, banyak sekali elemen yang didobrak. Sebut saja elemen ketiga sampai kelima: Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi, jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya, jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan.
Faktanya jarang sekali berita yang disiarkan telah melakukan verifikasi yang prporsional. Lalu, bagaimana mungkin kita bisa mematuhi elemen-elemen jurnalisme tersebut jika kita menjadi bagian dari kekuasaan atau polisi? Memang, setelah pers perjuangan telah beralih menjadi industrialisasi pers, sangat sulit bagi kita untuk mencari media yang bebas kepentingan.
Namun, akan menjadi bencana besar bagi umat jika televisi-televisi di Indonesia memiliki kepentingan untuk membungkam perjuangan Islam. Dan, inilah yang sepertinya sedang terjadi hingga detik ini. Hal tersebut barngkali tak menjadi persoalan besar manakala sajian berita televisi disajikan kepada masyarakat yang melek media.
Faktanya, sebagian besar masyarakat justru masih banyak yang menelan mentah-mentah informasi dari televisi. Masih sangat jarang yang melakukan tabayyun dengan membandingkan informasi dari media lain. Apalagi menganalisanya. Akibatnya, penggiringan opini, pemutar balikkan fakta yang menyudutkan Islam dan disiarkan berulang-ulang ke khalayak akan menjadi pembenaran.
Lalu, sesama Islam saling curiga. Umat akan takut bila ikut pengajian, apalagi yang dipimpin oleh ulama-ulama yang tegas –bukan keras-. Sunnah Rasulullah seperti memelihara jenggot akan ditinggalkan sebab khawatir dicap teroris. Dan, masih banyak lagi dampak tayangan berita yang destruktif dalam rangka meruntuhkan Islam.
Tentunya hal ini tak bisa dibiarkan. Kita tak boleh tinggal diam ketika Islam diinjak-injak, dihina, dan dikonstruksikan sebagai agama kekerasan atau sumber masalah. Salah satu solusi untuk menangkal informasi massif dari media sekuler bisa dilakukan dengan melawan serangan itu melalui informasi massif pula. Salah satunya dengan mendirikan televisi Islam.
Kenapa harus televisi? Sebab televisi memiliki kekuatan persuasif yang luar biasa. Apalagi di tengah budaya baca masyarakat yang masih rendah. Wacana ini sudah sangat lama digulirkan. Dan, pada bulan Syawal ini rencana tersebut kembali digelindingkan. Mudah-mudahan niatan itu bisa dipermudah Allah SWT untuk membendung doktrinasi informasi dari media sekuler. Sekaligus mampu menyelamatkan akidah dan akhlak umat. Semoga pula pendirian televisi Islam dilandaskan dengan semangat ibadah dan tidak dikotori dengan keinginan duniawi sehingga bisa semakin diminati.
Mari dukung dengan segala upaya kita. Minimal dengan doa agar televisi Islam di Indonesia bukan sekadar wacana. Lalu, jika televisi itu sudah bisa didirikan, mari kampanyekan secara massif semampu kita untuk beralih kepada televisi Islam. Ya Rabb, kami berlindung pada-Mu dari fitnah dajjal. Kami memohon pada-Mu, mudahkanlah segala urusan orang-orang yang ingin meninggikan agama-Mu. Amin Allahumma amin. Wallahu ‘alammu.
R. Rudi Agung P (Rap Al Ghifari). Penulis adalah jurnalis di salah satu majalah nasional. Mengelola Buletin Dakwah Komunitas di Jakarta Timur. Salah satu penulis buku Titik Balik (Leutika, 2010), Crazmo (Leutika, 2010), Setan 911 (Leutika, 2010).