Kita mahfum, demokrasi banyak cacatnya. Sebuah resiko saat membiarkan ratusan juta orang yang mutlak berbeda, dalam sebuah kesamaan. Ada banyak kekonyolan. Tapi mungkin, kekonyolan terbesar dalam konsep ekonomi yang dibawa oleh para capres-cawapres adalah Prabowonomics. Ekonomi kerakyatan dengan target pertumbuhan ekonomi doubel digit.
Sebuah miskonsepsi, karena mengandalkan ekonomi kerakyatan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi doubel digit, ibarat menargetkan semua orang Indonesia mampu membeli caviar. Tidak perlu, tidak mampu, dan kontradiktif.
Ekonomi kerakyatan menurut Mubyarto (2002), bergerak dalam semangat untuk memenuhi kebutuhan dasar, yang digerakkan oleh orang-orang kecil dalam semangat kemandirian. Ada sebuah kesederhanaan dan pengakuan terhadap keterbatasan di situ, yang hanya dapat dilakukan karena idealisme keberpihakan terhadap rakyat kecil. Target double-digit growth sendiri adalah sesuatu yang sangat berbeda: megah, kuat, dan efisien sehingga tak pelak akan mengorbankan mereka yang lemah dan masih perlu belajar banyak mengenai usaha: para orang kecil.
Secara sederhana, apabila Prabowo diharuskan memilih antara dua pihak, perkebunan besar atau kumpulan petani kecil, untuk diberikan modal, ia tidak akan memilih petani kecil. Mereka lemah, lambat, dan tidak efisien. Perkebunan besar, jelas lebih mampu untuk mencapai doubel digit growth.
Secara teoritis pun, terdapat Kuznets Hipotesis yang terkenal berpostulat “Pada saat investasi masih didominasi oleh modal fisik, meningkatnya angka pertumbuhan akan meningkatkan kesenjangan pendapatan”. Hal ini disebabkan, pihak yang mampu mengelola modal dengan baik, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi, adalah mereka yang sudah memiliki kekuatan dan pengetahuan: mereka yang sudah kaya dan berpengalaman memperoleh kekayaan.
Memang, layaknya sebuah teori, terdapat kritik terhadap hipotesis Kuznets. Kritik tersebut mengatakan bahwa pertumbuhan yang tinggi tidak selalu menimbulkan kesenjangan pendapatan yang tinggi, dan pengurangan kemiskinan dapat berjalan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Akan tetapi, seperti umumnya perang pemikiran, kritik tersebut didominasi oleh ekonom-ekonom liberal .
Maka tidak mengherankan, untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pro kapitalis (kemudahan masuk modal asing, insentif-insentif bagi perusahaan besar, pencabutan perlindungan kaum buruh,dll) para ekonom liberal tetap konsisten menggunakan target pertumbuhan ekonomi sebagai indikator kesuksesan pemerintahan mereka. Pertumbuhan ekonomi, yang tadinya hanya salah satu indikator, lambat laun dijadikan tujuan.
Sebaliknya, para ekonom kerakyatan tabu menargetkan pertumbuhan ekonomi, itu bukan tujuan ekonomi kerakyatan. Mereka lebih memilih indikator pengurangan tingkat kemiskinan dan penurunan pengangguran sebagai indikator kesuksesan sebuah pemerintahan. Selaras dengan paradigma ekonomi kerakyatan itu sendiri.
Lalu di mana letak Prabowonomics,ekonomi kerakyatan dengan target double digit growth ? Mungkin di iklan-iklan pro rakyat miskin, dengan anggaran milyaran rupiah.