Oleh : Mhd Rois Almaududy (@RoisAlmaududyM)
Tidak ada yang meragukan keberhasilan seorang khalifah bernama Umar bin Abdil Aziz. Meski masa pemerintahannya hanya berselang 30 bulan saja, namun ia sudah mampu meraih prestasi melebihi prestasi yang diraih oleh pemimpin sekarang selama dua priode jabatannya.
Beliau mengaku bahwa di dalam hatinya ada kerinduan. Ia merindukan tercapainya kesempatan menjadi khalifah, kemudian ia menggapainya. Inilah keutamaannya. Namun menjadi khalifah bukanlah tujuan akhir hidupnya, namun ia ingin menjadi pahlawan bagi rakyatnya. Pahlawan disini berarti bahwa ia bersedia meletakan kebutuhannya di bawah kebutuhan rakyatnya.
Umar bin Abdul Aziz tidak main-main. Ia selalu mewaspadai tingkahnya. Jangan sampai ada hak rakyat yang ia pakai untuk kepentingan pribadi. Bahkan, kemewahan seolah menjadi sesuatu yang haram baginya. Padahal, seorang khalifah tentunya wajar bila berpenampilan berbeda dengan rakyatnya.
Kalung istrinya yang indah disumbangkan ke baitul mal. Kenapa? baginya, keluarga khalifah tidak boleh lebih berpunya dibanding rakyat. Selagi ia menjabat sebagai khalifah, sudah seharusnya apa yang ia dan keluarganya punyai diinfakkan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.
Sungguh, bisa kita saksikan dari kisah ini kesetiaan yang amat besar. Tanggung jawab seorang pemimpin adalah menjaga kemaslahatan rakyatnya. Bila ia berhasil, sungguh ia akan meraih surga sebagai balasan. Bila ia menyalahi hak rakyatnya, baginya neraka sebagai tempat kembali.
Hendaknya, kita meniru Umar bin Abdul Aziz dalam satu rindu lagi. Agar terpencar gerak yang sama dengannya. Katanya suatu waktu, “Kini.. Jiwaku merindukan surga.”
Bagi kita, hanya ada satu pilihan juga, yaitu mengusahakan surga. Sebab kelak hanya ada dua tempat penampungan, yaitu surga dan neraka. Tentu, surga menjadi pilihan. Maka apa pun yang ada pada diri kita hendaknya bisa menjadi sarana untuk meraih surga. Semoga Allah perkenankan rindu kita….