Umat islam menderita penyakit yang sangat kompleks sekali. Mulai dari isu perpolitikan, ekonomi, moral, perangkat hukum dll. Metode Penyelelesaian permasalahan ini juga sangat beragam. Tergantung dari mana seseorang melihatnya. Syekh Muhammad Abduh misalnya melihat penuntasan penyakit ini dengan cara pendekatan keagamaan. Berbeda dengan Seorang pemikir terkenal Al-jazair Malik Bin Nabi, yang sangat berkonsentrasi pada sisi peradaban (hadharah).
Sedangkan Pondasi keimanan (tauhid) menurut Muhammad bin Abdul Wahab adalah inti dari permasalahan. Ust Hasan Al Banna, Syekh An-Nabhani ternyata juga mempunyai perspektif lain dalam permasalahan ini. Sehingga langkah yang diambil untuk perbaikan ini juga sangat berbeda.
Tulisan ini tidak membahas metode pemikir dan ulama islam diatas dalam penyelesaian permasalahan umat. Karena studi pemikiran mereka membutuhkan waktu yang sangat panjang. Disisi lain sudah ada sebagian saudara kita yang sudah atau sedang mendalaminya secara parsial sebagai bentuk penguasaan terhadap kekayaan khazanah pemikiran umat islam. Menurut hemat penulis, hal terpenting adalah bagaimana kita bisa saling melengkapi dalam penyelesain permasalahan ini sesuai konsep yang telah mereka gagas.
Kenapa mereka berbeda? Selain latar belakang, satu hal penting yang harus dipahami adalah tabiat permasalahan yang mereka hadapi. Sehingga perbedaan lingkungan dan waktu, menghasilkan konsep dakwah yang berbeda antara satu dan lainya. Kita temuai sebuah ungkapan : Al-mar`u ibnu biatih (seseorang adalah anak dari lingkungannya). Sebagai contoh, Imam syahid Al-banna dalam tekanan tirani kediktatoran penguasa. Sang Imam mempunyai narasi besar yang aplikatif dalam merubah masyarakat Mesir.
Hingga akhirnya dakwah yang pada mulanya dirancang oleh satu orang bisa berkembang dengan pesat dan menuai hasil perubahan ditatanan masyarakat Mesir dan berkembang di seluruh penjuru dunia. Walaupun sang Imam harus mengorbankan nyawanya pada kekejaman tirani setelah berunding dengan penguasa tentang pembebasan beberapa tahanan rijal dakwah lainya di gedung pertemuan yayasan syubbanul muslimin yang berlokasi di jalan Ramses kota Kairo saat ini.
Dalam kontek keindonesian kita harus lebih memahami fiqh waqi` (realita). Karena penguasaan medan adalah salah satu penopang suksenya agenda dakwah yang kita usung. Dakwah secara structural di Indonesia cukup dilirik oleh berbagai kalangan. Baik oleh para aktivis dakwah maupun masyarak umum. Karena hasil yang dicapai dalam agenda perubahan ini cukup signifikan. Sehingga good governance yang menjadi impian bersama sudah mulai dirasakan. Walaupun ada sebagian yang berpendapat dengan sebuah alasan bahwa, tujuan yang baik harus dicapai dengan jalan yang baik pula. Sehingga memunculkan sebuah pertanyaan besar, apakah jalan yang mereka tempuh untuk menanamkan nilai perubahan ini tidak baik? Menurut hemat penulis, kita harus kembali pada mabdak ijtihad siyasi dalam memahami fiqh realita yang telah kita sampaikan diawal tulisan ini.
Ijtihad siyasi dalam memahami fiqh realita dalam frame keindonesiaan, berkaitan erat dengan pemahaman hukum demokrasi yang selalu diperbincangan oleh para aktivis dakwah dinegari ini. Menurut hemat penulis, konsep syumuliatul islam (kesempurnaan islam) harus dikedepankan. Islam yang tinggi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Mulai dari pemerintahan dalam naungan negara Khilafah Islamiyah sampai pada norma-norma islam dalam kehidupan, bermuamalah, berpakaian, dll.
Sebuah pertanyaan yang harus kita jawab bersama adalah, apakah syumuliatul islam yang sangat konprehensif itu bisa di wakili oleh satu gerakan atau golongan dakwah yang ada dalam tubuh umat? Dan yang kedua, kenapa kita lebih menonjolkan sisi perbedaan dalam memperbaiki umat ini? Kenapa kita tidak menyatukan dan mempunyai agenda bersama pada hal-hal yang kita sepakati dan saling bertoleransi dalam hal yang kita pertikaikan?
Indonesia adalah negara agraris bagi ide-ide besar perubahan. Apalagi pasca reformasi yang merupakan dimulainya moment uji konsep perubahan yang sudah kita pelajari. Sedikit berkaca pada negara lain. Mesir misalnya, pemerintah negara ini masih membatasi agenda-agenda perubahan yang diusung. Pemerintah negara ini sangat selektif terhadap agenda-agenda perubahan masyarakat. Kita sering mendengar, banyaknya kader-kader dakwah yang dijebloskan kejeruji besi ketika menghembuskan angin-angin perubahan. Dan banyaknya partai politik di Indonesia juga menjadi bukti bahwa negara ini sangat subur untuk menanamkan perubahan-perubahan baru. Ini berbeda dengan salah satu negara di Benua Afrika, partai politik terlarang secara undang-undang karena dianggap mumusuhi dan aborsi terhadap sistem demokrasi negara itu. Inilah bukti bahwa Indonesia adalah negara agraris paling subur untuk menghasilkan panen perubahan yang akan dirasakan oleh masyarakat secara utuh.
Penegakan agama Allah adalah tujuan dari seluruh agenda perubahan. Inilah makna dari kata "At-Tamkin" yang berarti penerimaan masyarakat akan agenda-agenda perubahan tersebut. Kata "Tamkin" adalah bentuk Masdar (kata benda) dalam Bahasa Arab dari suku kata "Makkana". Dengan arti : "Tamakkana fulan min kaza" ( bisa melakukan sesuatu dan sanggup).
Dalam kajian dakwah kita sering mendengar istilah Fiqh Nushrah wat-Tamkin. Berarti Fiqih kemenangan suatu agenda perubahan yang di usung. Ust Fathi Yakan seorang ulama dakwah Lebanon memberikan definisi, sampainya suatu gerakan dakwah pada kemenangan dan memiliki otoritas dan kekuatan dalam pemerintahan, didukung oleh Jamahir (masyarakat), dalam melakukan agenda perubahan yang dirancang. Inilah barometer kemenangan yang hakiki. Tetap konsisten dalam memperjuangkan agama Allah yang dituangkan pada agenda-agenda perubahan itu sendiri.
Di akhir tulisan ini, mari kita maknai ayat 20 dari Surat Yasin. Allah menceritakan seorang laki-laki yang datang dari pelosok desa memberikan nasehat pada masyarakat disekelilingnya untuk mengikuti para Rasul dan ajaran yang mereka bawa. Allah berfirman :
Dan datang dari ujung Kota seorang laki-laki dengan bergegas Dia berkata : Wahai kaumku ikutilah para utusan-utusan itu. Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Mari kita maknai ayat diatas dengan potongan kata-kata berikut :
Min Aqsa Al-Madinah( datang dari pelosok desa) : Ini menunjukan bahwa para Rasul sampai pada pelosok-pelosok desa dalam menyampaikan ajaran agama. Karena tidak akan mungkin seorang penduduk desa tersebut memahami ajaran-ajaran para rasul itu, kecuali sampainya dakwah pada mereka. Sebuah pertanyaan yang harua dijawab adalah apakah agenda-agenda perubahan yang kita usung telah sampai pada daerah dan pelosok desa yang bisa dirasakan oleh mereka dan mau mendukung agenda dakwah yang kita rancang?
Yas`a ( berusaha): Ini memberikan isyaratkan kepada kader-kader perubahan bahwa dakwah itu bersifat berkesinambungan. Tidak berhenti pada satu titik dan jumud( terhenti) pada satu fase.
Ya Qaumi ( wahai masyarakatku) : Kata ini memberikan isyarat kepada kade-kader perubahan bahwa kerja dakwah haruslah merakyat dan dilakukan dengan rasa simpati pada masyarakat dengan lemah lembut.
Ittabiu Al-Mursalin ( ikutilah para rasul) : Kata ini memberikan peringatan kepada para kader-kader perubahan bahwa kerja besar ini adalah kerja para Nabi dan Rasul. Kerja besar ini harus selalu beroreantasi pada penegakan agama Allah bukan pada keegoan dan fanatisme golongan.
Semoga tulisan ini bisa memberikan pencerahan bagi para kader-kader perubahan dalam mengusung agenda-agenda yang mereka rancang dan saling berlomba dalam perbaikan masyarakat lebih riil dan konkrit. Wallahu Ta`la A`lam Bissawab.
Profil Penulis
Rijal Mahdi Tanjung; Penulis adalah mahasiswa International Islamic Call Collage jurusan Dakwah Dan Peradaban Islam, aktif di Lembaga Studi Islam Syamil (LSIS) Komunitas Ikhwah Libya. Alamat: International Islamic Call Collage, PO BOX 86027, Tripoli – Libya
N/B : Tulisan ini adalah hasil renungan Jum`at subuh setelah membaca Muqaddimah buku Fiqh Nushrah Wat-Tamkin karangan Dr Ali Muhammad Shalaby ( ulama dakwah asal Libya yang banyak menulis kajian sirah dan kebangkitan umat) Diantara bukunya adalah Sirah Nabawiyah A`rdh Waqa`i Watahlil Ahdast yang terdiri dari Dua jilid.