Kemapanan dunia fiqih kini diambang hujatan, ‘rekonstruksi’[1] fiqih sesuai tuntutan zaman menjadi tuntutan, kekecewaan sebagian golongan yang terperangkap pada permasalahan furu’ memunculkan sebuah asumsi kekanak-kanakan dan mencoba memvonis fiqih dengan segala kepincangannya terhadap permasalahan-permasalahan kontemporer, kemudian menarik satu kongklusi bahwa pemandangan dunia fiqih hanyalah sebuah tampilan wacana-wacana normatif yang tak akan mampu mengcover setiap kejadian yang berjalan dan berkembang sesuai dengan derasnya arus zaman, wacana normatif yang notabenenya sebatas pengkulturan hukum halal dan haram, kesimpulan yang menurut hemat penulis kurang dewasa, tepatnya menilai sesuatu dengan hanya melihat sebelah mata, sepihak dan tidak tembus pandang, melupakan bahwa dibalik sedikit hukum fiqih yang telah ada ditengah kita, berdiri ditengah bangunan kokoh yang berpondasikan usul fiqih, sebuah filar dan perangkat hukum yang akan selalu peka dan hangat hingga mampu mengelaborasi segala macam permasalahan, komplit dengan racikan yang ada didalamnya, bahan fiqih yang telah jadi tentunya selalu suport dengan konsep usul fiqih yang ada, adapun pendekatan yang digunakan, metodelogi para mutakalimin kah, fuqoha’ atau metodelogi lainnya yang cukup variatif dan terus berkembang, hingga hadir ditengah-tengah kita varian metodelogi asy-Syatibi, akrab kita kenal dengan konsep maqosid syâri’ahnya.
Mirisnya, ditengah objektifitas korelasi antar fiqih dan usul fiqih ini, masih juga ada pihak yang berbekalkan penilaian dangkal, mencoba mengetengahkan subjektifitasnya dan memberikan dampak negatif terhadap pencitraan Islam umumnya dan hukum syariah yang tertuang dalam bab-bab fiqih khususnya, islam diasumsikan sebagai agama yang galak, keras, tidak berkeprimanusiaan dan anti toleransi, asumsi yang juga bisa jadi diusung oleh mereka yang marah dan tak rela Islam berjaya atau dari salah-satu atom dalam Islam sendiri yang mengusungnya dan menjadi tanggung jawab umat muslim bersama, sebagai contoh pencitraan buruk Islam dengan terapan hukum rajam yang nampak tidak berkeprimanusiaan, secara kasat mata, mustahil hukum ini terfikir dan terlintas dibenak manusia.
Namun Islam dengan segala pertimbangan justru menjadikan hukum ini solusi besar terhadap laku kriminalitas (perzinaan) tentunya dengan segudang aturan, dan persyaratan kelayakan diberlakukannya aturan ini, pertama, seorang pezina tidak serta merta diberikan hukuman lantaran perbuataannya, dicermati terlebih dahulu adakah pelaku seorang yang telah menikah ataukah belum, sebagaimana tersirat dalam al-qur’an bahwa pelaku zina pra-nikah dikenakan sangsi cambuk dengan 100 kali cambuk[2], sedangkan hukum rajam dibebankan bagi pelaku zina yang telah menikah, sesuai hadist nabi; “Tidak halal darah seorang muslim kecuali dalam tiga hal: seorang yang telah menikah berzina, membunuh sesama, dan meninggalkan agamanya”. Dalam riwayat lain nabi bersabda: “Datangi perempuan ini, jika dia mengaku telah berzina maka rajamlah dia”[3]. Tidak sebatas itu saja, perlu dipastikan bahwa perbuatan tersebut murni atas kehendak pribadi tanpa paksaan.
Perkara penetapannya bisa melalui pengakuan pribadi, kesaksian atau bukti kehamilan seorang perempuan ketika sang suami berada jauh darinya. Jika kemudian ada yang bersaksi telah terjadi perzinaan maka diteliti dahulu, apakah memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut, pertama; disaksikan oleh empat orang saksi, berakal, laki-laki, bersifat adil, merdeka, beragama Islam, tidak diwakilkan, keempat saksi berada pada kejadian yang sama dan ditempat yang sama, pada waktu yang bersamaan, melihat betul prosesi perzinaan, bukan hanya sesuatu yang mengindikasikan kearah sana saja, juga tidak menunda-nunda kesaksian. Dan perlu digaris bawahi bahwa saksi tidak menghilang hingga hukuman dilaksanakan.
Berikut dengan persyaratan lain yang lebih komprehensif, mulai dari pembedaan posisi pelaku saat hendak dirajam dan tata cara melempar batu, pun cara mencambuk tidak dicambuk pada satu tempat saja dari bagian tubuh, tempat prosesi pelaksanaan sangsi hendaknya ditengah halayak ramai batas minimum empat orang, yang dimaksudkan tak lain agar menjadi pelajaran bagi yang lain.
Demikian hukum rajam dibingkai sedetail mungkin, guna terhindar dari tindak penganiayaan terhadap insan tak berdosa, dan lebih menukik lagi bahwa sangsi dan aturan-aturan ini sesungguhnya dibuat seperih mungkin dan dipersulit agar jangan sampai perzinaan terjadi dan hukum diterapkan, dengan kata lain bahwa hukum dibuat bukan untuk ditekuni tapi dihindari, jangan sampai teraplikasi.
Dari hukum rajam Islam menyiratkan pesan yang cukup mendalam, berharap umatnya jauh dari segala bentuk kriminalitas yang sarat akan konsekwensi tegas. Maka maha benar Allah dengan segala ketetapannya, dibalik hukum yang begitu menakutkan itu justru menyimpan keberlangsunggan hidup yang damai. Demikian bahwa berislam yang baik tidak mencoreng identitas dan martabat sendiri sebagaimana fenomena yang sedang marak terakhir, bersamaan dengan terbitnya film karya mas Hanung dengan judul “wanita berkalung sorban”.
Berikut bahwa Islam tidak sesaklek yang diasumsikan, jika kita lebih dalam mengenal Islam maka banyak hal menawan yang ada didalamnya, ribuan keringanan bagi mereka yang berhalangan, ratusan pertimbangan agar umatnya senantiasa dalam kelapangan terhindar dari kesulitan dan mara bahaya, kita kenal dalam kaidah fiqhiyah, konsep Adh-dhorôr yuzâl, juga konsep al-masyaqoh tujlibu at-taisir, konsep lainnya al-âdah al-muhkamah yang lebih dekat dan realitas.
Konsep pertama, Adh-dhorôr yuzâl misalkan, mengindikasikan kasih sayang yang disemai agama nan anggun dan elegan ini, mengisyaratkan bahwa setiap kerusakan mesti dihindarkan. Hukuman qisôs yang sekilas mengesankan ketidakberadaban justru menyelamatkan ribuan jiwa, menjaga ribuan harta, hingga siapapun yang berniat melakukan kejahatan berfikir ratusan kali dengan diterapkannya hukuman ini, namun demikian Islam tidak lantas masa bodoh dengan kondisi-kondisi darurat yang dialami segelintir kelompok, ketika seseorang dalam kondisi darurat dan hal yang dilarang mampu mengeluarkannya dari kondisi sulit maka Islampun memberikan dispensasi keringanan.
Contoh sederhana, miras yang jelas-jelas berefek negatif secara psikis dan psikologis diperbolehkan jika yang bersangkutan dalam kondisi darurat, namun kebolehannya pun tidak mutlak tetap dalam standar yang ditetapkan. Juga menggunakan pertimbangan yang mantap, pun menimbang kadar bahaya dari keduanya, kemudian mengambil resiko teringan, tentunya dengan tidak merampas hak azazi orang lain.
Konsep kedua, al-masyaqoh tujlibu at-taisir, yang jelas-jelas membantah asumsi Islam yang keras. Allah swt., langsung menegaskan bahwa Islam menghendaki kemudahan bagi hambanya, terlebih dalam kondisi sakit, diperjalanan, dalam keadaan lupa dan kondisi-kondisi diluar kemampuan kita sebagai manusia. Kewajiban solat empat rakaat misalkan ketika dalam perjalanan dengan berbagai pertimbangan diringankan menjadi dua rakaat. Mungkin sederhana, namun bagi insan yang baik, dari kaidah-kaidah ini kita mampu menganalogikan permasalahan yang hadir belakangan, seperti fenomena transfusi anggota tubuh misalkan, sekalipun memiliki konsekwensi yang cukup serius tapi demi kemaslahatan, hal ini boleh dilakukan tentunya dengan rambu-rambu, melihat manfaatnya, tidak menyambung dan memancing bahaya lainnya, pun tidak melebihi batas darurat dengan mengkomersialisasikannya.
Konsep ketiga, al-âdah al-muhkamah, sekali lagi bahwa toleransi Islam menduduki presentase terdepan, bersinergi dengan adat-istiadat, yang menjadi kebiasaan suatu komunitas, menjadikan adat sebagai landasan berhukum tentunya dengan sikap tegas, tidak berseberangan dengan dua pedoman kita, al-qur’an dan sunnah. Kelenturan Islam secara tidak langsung, menolak segala bentuk alasan penolakan dan pelanggaran atas hukum-hukum didalamnya.
Melalui konsep-konsep ini Islam mampu hadir dengan perwajahan ramah, santun, toleransi dan menjunjung tinggi nilai-nilai egaliter. Hadir dan diterima disetiap kalangan, dengan kepiawanannya mampu membawanya pada titik kesempurnaan dan bersinergi dengan realitas umatnya. Wallahu ‘alam.
Catatan :
[1] Rekonstruksi dalam pemaknaan, pengembangan dari konsep yang telah ada bukan suatu proses pemberangusan terhadap khozanah fiqih klasik yang telah ditetapkan sedemikian rupa.
[2] Ada perbedaan pendapat diantara para ulama, sebagian hanya menjadikan hukum cambuk saja sebagai sangsi, sebagian lainnya menambahkan hukuman cambuk dengan diasingkan selama satu tahun.
[3] Kisah Ma`iz dan Qhomidiyah yang mengaku telah berzina, maka Rosul merajamnya setelah ia melahirkan
Profil Penulis :
Ria Agustina Tohawi; Mahasiswi Universitas Al-Azhar, Mesir. Fak. Syariah Islamiyah Tk. Akhir (IV) Alumni Pondok Pesantren Raudhatul Ulum Sakatiga Palembang