Sewaktu hendak menulis artikel singkat ini, penulis teringat sebuah nasyid yang disenandungkan oleh Snada. Penulis lupa judulnya namun salah satu baitnya berbunyi, “al-Qur’an dusturuna (al-Qur’an undang-undang kami). Ya, Qur’an selayaknya menjadi undang-undang atau konstitusi kita. Apalagi, di tengah polemik tentang dasar negara dan Pancasila (yang sebentar lagi diperingati hari ulang tahunnya) di tengah isu seputar “makar” dan terorisme, menghadirkan kembali Qur’an sebagai alternatif asas bagi masyarakat kita adalah sebuah kebutuhan. Namun, apa yang kita saksikan sekarang?
Sebagaimana bunyi pepatah, “jauh panggang dari api”. Qur’an kini tidak lebih hanyalah simbol belaka. Walaupun menjadi satu-satunya kitab suci yang terbebas dari kepalsuan, umat Islam tidak memposisikannya pada tempat yang sesuai. Kita sering mendengar atau menyaksikan diadakannya perlombaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang mempertandingkan keindahan suara dalam membaca Qur’an.
Perhelatan ini biasanya diadakan secara bertingkat, dari level kecamatan berlanjut hingga tingkat nasional dan tentunya memakan biaya besar. Namun, pernahkah kita menghabiskan biaya, even dan kampanye yang besar untuk mengajak umat berpikir : apa peran Qur’an semestinya dalam kehidupan kita, dalam masyarakat kita, dalam tatanan sosial-politik kita?
Kalau upaya semacam itu tidak ada, maka ada masalah dalam cara kita memandang Al-Qur’an.
Beberapa Masalah Kita Dengan Qur’an
Umat Islam memiliki beberapa masalah dengan Al-Qur’an. Pertama : masalah kesadaran dalam berinteraksi dengan Qur’an. Kedua, masalah bagaimana Qur’an dapat aktual dalam pengaturan tatanan masyarakat. Ketiga, masalah seputar posisi Qur’an sebagai sumber kebenaran. Dan keempat, masalah adab terhadap Al-Qur’an.
Masalah pertama adalah masalah kebanyakan orang awam. Kurangnya interaksi mereka dengan kitab sucinya sendiri menjadi awal dari kebanyakan penyimpangan nilai dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, menjadi tugas dari para da’i untuk menyadarkan umat agar dekat dengan Qur’an. Setidaknya, mereka mesti dijadikan mau dan mampu membaca Qur’an, lebih bagus lagi menghapal dan mencoba memahaminya dari terjemahan dan tafsir.
Masalah kedua adalah masalah para aktivis dan intelektual muslim. Eksplorasi Qur’an dalam menjawab permasalahan sosial, politik dan ekonomi masih berjalan di tempat dan belum memberikan gebrakan yang berarti. Qur’an masih diposisikan sebagai pemberi inspirasi moral belaka, bahkan oleh kaum aktivis yang membawa nama Islam ke ranah politik praktis. Sementara sebagian orang yang mengaku meneladani generasi salaf malah “mengharamkan” pembicaraan sosial-politik dan segera mengerangkeng Qur’an pada persoalan ritual dan teologis belaka.
Adalah hal yang menggembirakan bahwa kini dalam ranah akademis berkembang banyak ijtihad baru dalam wilayah ekonomi Islam. Namun, pengembangan istimbath dari Qur’an yang sektoral dan tidak integratif dengan sektor-sektor lainnya, seperti politik dan sosial mengakibatkan perkembangan ekonomi islam tidak menjawab kebuntuan masyarakat modern. Qur’an seharusnya mampu hadir dalam mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat sebagaimana yang terjadi pada generasi awal Islam.
Masalah ketiga dan keempat adalah masalah yang terdapat pada golongan yang menyebut diri mereka muslim liberal, moderat atau semacamnya, dan golongan yang cenderung satu visi dengan mereka. Golongan ini memposisikan Qur’an (dan “turunannya” : hadits) hanyalah sebagai salah satu sumber kebenaran. Sumber kebenaran lainnya, menurut mereka, adalah akal. Bahkan, agama-agama dan paham-paham lain pun diposisikan sebagai sumber kebenaran.
Akibat pluralisme dan relativisme terhadap kebenaran ini, maka mereka pun berpendapat bahwa kebenaran yang sejati itu sebenarnya tidak ada. Oleh karenanya semua yang disebut sebagai sumber kebenaran itu masih dapat dikritisi, bahkan tanpa batas, termasuk terhadap Qur’an. Pada gilirannya, mereka memperlakukan Qur’an hampir tanpa adab. Dengan istilah yang memukau : “tafsir hermeunetika”, mereka mengobok-obok kandungan Qur’an. Akibatnya, terjadi perusakan pada hukum Islam.
Kita tentu masih ingat, ada kalangan liberal yang tidak mewajibkan jilbab, membolehkan gay dan lesbi, dan mengubah hukum waris. Intinya, “tafsir liberal” mereka mengantarkan mereka pada penolakan terhadap kredibilitas para ulama tradisional, ijma sahabat dan ulama dalam permasalahan hukum, dan formalisasi syariah.
Menuju Konstitusi Qur’an
Menurut Syed Naquib Al-Attas, ilmu tafsir al-Qur’an adalah ilmu pertama dalam Islam. Pernyataan ini benar adanya. Ketika Rasulullah SAW masih hidup, para shahabat bertanya pada Rasul perihal penjelasan terhadap ayat Qur’an yang turun. Inilah tafsir bil hadits. Saat Rasulullah saw wafat, para shahabat pun bertanya kepada mereka yang paling paham terhadap tasir Qur’an. Di antara mufassir ternama pasca wafatnya Rasul SAW adalah Ibnu Abbas ra.
Begitulah, mereka menjadika Qur’an itu hadir dalam kehidupan mereka, menjadi rujukan dan komandan dalam memutuskan semua perkara, dari mulai urusan pribadi, rumah tangga, perniagaan, pidana, kenegaraan sampai perang. Singkatnya, Qur’an telah menjadi konstitusi dan perundang-undangan mereka.
Generasi setelahnya memperlakukan adab yang baik pada Qur’an : mereka menafsirkan Qur’an dengan penguasaan terhadap ilmu-ilmu alat seperti bahasa Arab, asbabun nuzul, naskh wal mansukh, muthlaq wal muqayyad, dsb. Ditambah dengan budaya ijtihad yang tinggi, Qur’an tetap menjadi konsitusi.
Jika hari ini kehidupan umat Islam jauh dari ideal (sebagai khayru ummah dan rahmatan lil alamin), boleh jadi karena mereka meninggalkan Qur’an sebagai “huddal lil muttaqin” yang “laa rayba fiih”. Oleh karena itu, umat Islam harus kembali pada teladan generasi awal Islam, yang menghadirkan Qur’an secara integratif, ideologis dan aplikatif sebagai Syariah yang terlembagakan dalam institusi daulah (negara). Disertai budaya ijtihad yang tinggi dan adab yang benar terhadap Qur’an, hal tersebut bukanlah mimpi.[]
Reza Ageung S, Mahasiswa STIS Hidayatullah, Balikpapan
Website : www.reza85ageung.wordpress.com