Menarik, bagaimana seorang yang berpola pikir sekuler memaknai otoritarianisme dari pemerintah Kerajaan Saudi Arabia. Pada artikel bertajuk “Otoritarianisme Politik Arab Saudi” yang dimuat di situs www.islamlib.com , sang penulis, Prio Pratama, memandang sikap para ulama Saudi dalam menyikapi demontrasi di Arab Saudi—terinspirasi revolusi Mesir—beberapa waktu yang lalu, sebagai dampak dari kuasi antara agama dan negara.
Sebagaimana kita ketahui, ulama Saudi—tidak seperti ulama-ulama di tempat-tempat lain terjadinya revolusi—menentang demonstrasi itu.
Menurutnya, kerajaan Saudi adalah “contoh buruk bagaimana agama dan para ulamanya ikut campur dalam urusan kenegaraan dan pengaturan publik,” opini yang saya kira bisa kita sepakati. Namun, tunggu, dari sini ia menyimpulkan, “Demonstrasi yang muncul di Arab Saudi dapat dilukiskan sebagai suara hati nurani manusia yang terdalam yang berteriak bahwa “agama” dan “konstitusi yang suci” semata-mata tidak cukup untuk menjadi dasar pengaturan negara terhadap kebijakan publik”.
Akhirnya, “saya ingin mengajak para pemerhati dan aktivis pembaruan untuk kembali komitmen kepada proyek sekularisme politik di Indonesia yang selama ini telah diperjuangkan.”
Penulis memaknai demonstrasi di Saudi sebagai gugatan terhadap “peran agama dalam negara” dan karenanya sekulerisme menjadi solusinya. Apakah sekulerisme adalah jawaban terhadap otoritarianisme? Ada fakta yang tidak boleh diabaikan bahwa rezim-rezim otoriter yang saat ini sedang goyah di seluruh Dunia Arab, termasuk Saudi, adalah rezim-rezim yang dibekingi Barat.
Saudi telah mengizinkan Amerika untuk membuat pangkalan militer sejak 1942, yang hingga saat ini digunakan Amerika untuk berbagai kepentingan imperialistiknya, termasuk ketika mengagresi Irak. Hal yang sama dilakukan rezim Mesir yang telah “resmi” menjadi pelayan Amerika dan Israel sejak menandatangani perjanjian Camp David tahun 1978.
Rezim-rezim Arab terus menjadi kaki tangan Amerika, sebagaimana rezim-rezim Arab lain, dan menggunakan tangan besinya untuk mengendalikan rakyatnya agar tidak mengganggu kepentingan tuan besarnya. Inilah, dan bukan agama, faktor utama pemicu otoritarianisme. Ketidakberpihakan penguasa pada rakyatnya pada akhirnya, seperti yang sedang kita saksikan, menjadi pendorong meledaknya protes rakyat.
Jadi, dukungan sekelompok ulama terhadap sebuah rezim otoriter tidak bisa diartikan bahwa rezim tersebut adalah rezim berbasis agama (Islam). Untuk kasus Saudi, cukup kiranya sikap sekelompok ulama yang selalu mengiyakan rezim otoriter membuat gelar ulama suu’ (buruk) layak disematkan pada mereka.
Pada tahun 1990-1991, ketika terjadi invasi Irak ke Kuwait (atas provokasi Amerika), lahir fatwa ulama Saudi yang membolehkan kerajaan meminta bantuan Amerika untuk memerangi Irak, padahal Islam melarang permintaan pertolongan kepada orang kafir, apalagi untuk memerangi muslim lainnya.
Jadi jelas, otoritariansme adalah produk kuasi rezim muslim dengan Barat, bukan karena menerapkan konstitusi Islam. Lantas, mengapa solusinya sekulerisme, yang berarti pemisahan negara dengan agama? Bukankah seharusnya justru kita harus memisahkan (baca : membebaskan) negara dari pengaruh Barat?
Anti-otoritarianisme Telah Dimulai Oleh Islam
Pencampuradukkan antara fakta tentang Dunia Islam dan bagaimana seharusnya Islam diterapkan di Dunia Islam, telah mengaburkan pemahaman tentang negara Islam. Kerajaan Saudi yang musykil telah lama dijadikan peluru untuk mematahkan opini tentang perlunya umat Islam memiliki negara Islam (Khilafah). Padahal, walaupun berbendera kalimat tauhid, dan menerapkan (sebagian) hukum Islam, Saudi tetaplah monarki produk perjanjian Sykes-Picot, konspirasi negara-negara penjajah, dan telah lama—seperti penulis uraikan di atas—menjadi pelayan Barat.
Maka, argumentasi tentang negara Islam harus dirujuk kepada wajah pemerintahan Islam awal, yang menjadi model ideal, dan pegangan utama bagi pemerintahan Islam di setiap zaman. Abu Bakar ash-Shidiq, radhiallahu anhu, sahabat Rasulullah saw, telah diangkat menjadi khalifah pertama dalam sejarah pemerintahan Islam.
Di saat dunia luar Arab dikuasi oleh imperium-imperium besar seperti Romawi dan Persia, yang duduk di puncaknya seorang raja atau kaisar yang bergelimang keglamoran dan wewenang penuh atas kepatuhan (baca : perbudakan) rakyatnya, sang khalifah pertama ini dilantik tanpa mahkota. Ia tinggal tanpa istana, atau pasukan pengawal apalagi tumpukan harta. Ia naik tidak dengan kepongahan menuntut perbudakan dari rakyatnya. Ia bahkan membuka ruang kritik untuk rakyatnya, suatu hal yang mustahil bagi seorang raja pada zaman itu.
Hal ini terlihat jelas dari kutipan pidato Abu Bakar r.a. sesaat setelah ia dilantik sebaga khalifah :
“sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik, maka jika aku berbuat kebaikan bantulah aku. Dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku.”
Dalam konsep pemerintahan Islam, partisipasi publik dalam pemerintahan Khilafah sangat dihargai. Hal ini diwujudkan dengan keberadaan sebuah lembaga bernama Majelis al-Ummah, mirip dengan lembaga perwakilan sekarang. Kita boleh mengaggap bahwa lembaga inilah yang akan mengontrol jalannya pemerintahan agar tetap sesuai dengan konstitusi (Syariah). Selain itu, seorang pemimpin dalam Islam dianjurkan untuk bermusyawarah ketika akan memutuskan sebuah perkara. Hal ini tentu akan mencegah kesewenang-wenangan dan sikap tangan besi.
Sementara para rezim di dunia Arab sekarang mengekang kebebasan rakyat dan membuat institusi untuk memata-matai rakyatnya, Islam justru menganjurkan adanya aktivitas kontrol dari rakyat sendiri (lihat QS Ali Imran : 104), membolehkan berdirinya partai politik tanpa izin pemerintah, dan mengharamkan memata-matai (tajassus) sesama muslim.
Ketika tampak kezaliman dan kesewenang-wenangan pada rezim sekarang, mereka sulit dilengserkan, bahkan butuh ratusan nyawa untuk melengserkan seorang Husni Mubarak.
Dalam negara Khilafah, seorang kepala negara (khilafah) bisa dilengserkan sewaktu-waktu jika nampak penyimpangan serius pada dirinya, hatta kalaupun ia baru menjabat selama satu hari! Untuk itu, Khilafah memiliki sebuah institusi yang akan “mengadili” kepala negara yang menyimpang, yaitu lembaga Mahkamah Madzalim.
Sekularisme Bukan Jawaban
Alhasil, proyek sekulerisme bukanlah jawaban atas fenomena otoritarianisme yang ada di dunia Arab dan Islam, termasuk Indonesia. Amat naif jika kita menyimpulkan bahwa agama adalah penyebab otoritarianisme, dengan hanya merujuk pada kasus Saudi, sambil menutup mata pada rezim-rezim lainnya yang jelas-jelas sekuler dan pada saat yang sama juga otoriter.
Sebaliknya, peran Islam yang shahih dalam pengaturan negara, justru akan menghapus otoritarianisme. Karena pada dasarnya, dalam Islam, kedaulatan bukanlah di tangan raja, kaisar, presiden atau khalifah, melainkan di tangan Allah. Dan bukankah Allah tidak mungkin manzalimi hambaNya? []
Profil penulis :
Reza Ageung S. Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah, Balikpapan
Tinggal di Balikpapan,Website : www.reza85ageung.wordpress.com