Istilah dikotomi dalam ranah pendidikan memang menjadi polemik hampir di seluruh negara (jika tidak boleh dikatakan seluruhnya). Hingga kini, masih kuat anggapan bahwasanya ilmu agama dan ilmu pengetahuan merupakan 2 entitas yang berbeda yang tidak bisa dipertemukan, berseberangan, bahkan saling vis a vis satu sama lain. Keduanya seolah dicitrakan mempunyai obyek kajian tersendiri, metodologi tersendiri dalam penelitiannya, institusi penyelenggara pendidikan tersendiri dan standar kebenaran tersendiri. Suatu hal yang sangat mengganggu pemikiran sebenarnya, karena sebuah postulat dibenarkan dengan teori masing-masing, dari sudut pandang agama atau ilmu pengetahuan. Seperti inilah potret mengenai pendidikan saat ini.
Banyak para pengamat pendidikan pun akhirnya meratapi pembentukan pola dikotomik yang ditandai dengan digulirkannya renaissance. Hati nurani terlepas dari akal sehat, nafsu serakah menguasai perilaku cerdik-pandai, menjadi sedikit dari sekian banyak hal yang menyebabkan kekecewaan oleh para pengamat pendidikan akibat dari penerapan pola dikotomik dalam hal pendidikan.
Gambaran Polemik Dikotomik
Dikotomi dimaknai sebagai pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. Dapat juga didefinisikan sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan. Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality). Belum lagi hal ini akan memunculkan terma-terma dikotomi lain seperti normatif-historis, tekstual-kontekstual yang cenderung berupaya untuk memecah dan mengkotak-kotakkan ummat Islam yang satu.
Permasalahan dikotomik dalam pendidikan saat ini akhirnya menghasilkan pola pengelolaan pendidikan yang terpisah seperti di Indonesia, DIKTI mengelola perguruan tinggi umum dan DIKPERTAIS mengelola perguruan tinggi agama (Islam). Selanjutnya, dampak dari pengelolaan ini telah berhasil melahirkan polemik lain yang berkepanjangan yaitu pengembangan keilmuwan yang tidak sehat sekaligus terjangkiti krisis relevansi. Krisis relevansi ini dapat berupa tidak sanggupnya para lulusan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang timbul dalam masyarakat, mengalami kebuntuan dalam pencarian penyelesaian yang mensejahterakan dengan tidak menimbulkan masalah baru. Pengembangan keilmuwan yang seharusnya digunakan untuk kemajuan Islam, saat ini sarat terhadap kepentingan politis tertentu.
Hal ini menjadi wajar, karena berbagai permasalahan yang timbul dalam ranah masyarakat tidak diselesaikan dengan solusi Islam, bahkan para sarjana yang tadinya dibina di fakultas-fakultas dari perguruan tinggi Islam tidak diberi ruang untuk menyelesaikan masalah kekinian berdasarkan Islam. Konsekuensi logis ini harus diterima, sebagai buah dari peradaban Kapitalis. Kalaupun ada sedikit ruang, penyelesaian masalah itu tidak dijalankan berdasarkan Islam. Bahkan dijawab dengan solusi yang diderivasi dari sistem Kapitalis-sekuler maupun Sosialis. Walhasil terbentuklah pribadi-pribadi pragmatis-oportunis yang menggadaikan idealisme Islam dalam kungkungan pendidikan Kapitalis seperti saat ini (sekalipun tidak dapat dilakukan generalisasi pada masalah ini, namun setidaknya terdapat terdapat fakta semacam itu).
Akibat dari adanya persoalan dikotomik ini, akhirnya muncullah stigma negatif yang dilekatkan hanya pada Islam. Persoalan itu adalah hilangnya kepercayaan masyarakat secara luas kepada lembaga pendidikan Islam (baik lembaga pendidikan tinggi, menengah dan dasar), karena memang pada faktanya ilmu umum dalam lembaga Islam tidaklah begitu aktual dan belum mampu bersaing dengan lembaga pendidikan umum. Fenomena di atas hanyalah bagian kecil dari dampak adanya dikotomi keilmuan dalam pendidikan Islam.
Pendidikan Ideal adalah Pendidikan Islam yang Holistik
Bagaimanapun juga, keterpisahan bipolar-dikotomis ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan negara yang bersifat politis; sehingga upaya sadar untuk mengembalikan tataran pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam haruslah dimulai dari negara. Karena penyatuan 2 direktorat tinggi yang mewakili pengelolaan pendidikan (umum dan agama) ini, hanya dapat dilakukan oleh negara. Islam sebagai Dien yang sempurna telah memaparkan solusi paradigmatik jauh sebelum kemunculan permasalahan ini.
Dilihat dari tujuan pendidikan Islam, pendidikan Islam akan membentuk (1) kepribadian yang Islami -Syakhsiyyah Islamiyyah- sebagai sebuah konsekuensi logis dari keimanan seorang Muslim yang tampak dalam 2 aspek fundamental yaitu pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyyah) yang tentu saja berpijak pada Aqidah Islam. (2) Pada saat yang bersamaan mendorong untuk menuntut ilmu/penguasaan Tsaqafah Islamiyyah –atau yang saat ini dipahami sebagai ilmu agama- dan (3) menguasai khasanah keilmuwan yang bersifat terapan –ilmu pengetahuan umum-. Didasarkan pada tujuan pendidikan yang tidak sedikitpun menampakkan pola-pola dikotomik, khasanah keilmuwan Islam dapat berkembang sebagai sebuah kedigjayaan yang menjadi bagian dalam membentuk negara yang adijaya pula, Negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyyah).
Seorang Muslim akhirnya tidak terjebak pada pola dikotomis dengan hanya berfikir tentang kontekstual saja. Karena berfikir kontekstual yang berangkat dari realitas sosial (al-haqiqah), tanpa merujuk pada nilai-nilai kebenaran teks-teks wahyu, hanya akan menjadikan seseorang kehilangan arah untuk menuju kebenaran mutlak (al-haqq). Atau hanya berpikir tekstual saja, karena jika tidak dipahami dalam konteks zaman sekarang; teks-teks wahyu dan pemahamannya yang membentuk suatu tradisi itu akan kehilangan kekuatan konseptualnya dalam menyelesaikan masalah ummat. Demikian pula, berfikir dalam kerangka kesejarahan yang sifatnya selalu berubah, tanpa meletakkan dalam kerangka berfikir normatif yang sifatnya permanen akan kehilangkan substansi ajaran Islam itu sendiri.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan tujuan pendidikan Islam, sejatinya tidak untuk memisahkan agama dengan menempatkan pada sisi yang saling berlawanan denganilmu pengetahuan umum. Hal ini sejalan dengan pemikiran pendidikan yang dicetuskan Al-Ghazali: The purpose of society is to apply shari‘a, and the goal of man is to achieve happiness close to God. Therefore, the aim of education is to cultivate man so that he abides by the teachings of religion, and is hence assured of salvation and happiness in the eternal life hereafter. Dalam Al-Ghazali’s Theory of Education: Its Philosophy and Its Impact yang diambil dari Ihya’ ‘Ulum ad-Din, vol.3 dan 4. (Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut), Tujuan adanya masyarakat adalah untuk menerapkan syariah, dan tujuan manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan dengan lebih dekat pada Tuhan. Oleh karena itu, tujuan pendidikan adalah untuk menumbuhkan manusia sehingga ia mematuhi ajaran agama, dan karenanya terjamin keselamatan dan kebahagiaan dalam kehidupan kekal akhirat.
Adapun menurut Al-Ghazali yang membagi khasanah keilmuwan berdasarkan kewajibannya menjadi Fardu ‘Ain dan Fardu Kifayah bukanlah merupakan bibit dikotomik seperti klaim yang dituduhkan. Perlu diamati dengan cermat bahwasanya ada perbedaan antara pemilahan berdasarkan kewajiban dan pemisahan.
Pemilahan dalam hal ini dimaksudkan untuk memberikan prioritas yang utama terhadap khasanah keilmuwan tertentu yang wajib dipelajari oleh seluruh peserta didik (Fardu ‘Ain) namun masih dalam satu wadah pendidikan. Namun, pemilahan ini tidak lantas menafikkan khasanah keilmuwan Fardu Kifayah. Sehingga pemilahan tidak senada dengan pemisahan yang dimaknai sebagai perbuatan menceraikan/membagi dengan tidak mengindahkan satu sama lain dari hal yang diceraikan/dibagi tersebut. Ketidakmengertian mengenai arti ini akhirnya melahirkan justifikasi yang salah dan sebuah legitimasi untuk membenarkan pola dikotomik dalam pendidikan, atau dengan kata lain ingin menyatakan bahwa Islam sejalan dengan pola pendidikan dikotomik ini.
Keberhasilan pendidikan yang holistik hanya dapat tercipta dalam ranah pendidikan Islam yang benar-benar menerapkan langkah-langkah yang strategis untuk mencapai tujuan pendidikan seperti yang disebutkan di awal tadi. Model pendidikan ini selanjutnya akan menghasilkan pribadi-pribadi yang ‘alim juga cendekiawan. Lalu, mengapa harus ragu dengan pemaparan komprehensif mengenai Pendidikan Islam yang paripurna ini?
Bring Back Islam as An Ideology.
Oleh : Rasyid Ichsani
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta