Saksi Peradaban akan Kebutuhan Agama
Jauh sebelum Nabi Ibrahim, Nuh, Isa dan Musa ‘alaihimussalam diturunkan untuk menyeru kepada agama tauhid –monoteisme-, lembaran sejarah peradaban kuno mengabarkan, bahwa agama ikut mewarnai potret aktivitas pemakmur suatu peradaban. Seiring patah dan tumbuhnya peradaban, corak agama manusia semakin bervariasi. Tercermin pada kerajaan Nambrud –masa Ibrahim- dan peradaban kan’aniyiin yang menyembah patung berhala. Kemudian Peradaban Mesir kuno (3400 SM) yang terkenal dengan kebebesasan beragama, sempat menampilkan agama paganisme, animisme dan penyembah burung dalam waktu bersamaan. Disusul dengan peradaban India (2500 SM) yang menganut agama Hindu dimana kemudian muncul aliran agama Budha dan Jiena sebagai sikap protes atas hak keistimewaan yang dikhususkan kepada para pembesar Hindu. Tak lepas, agama animisme bagi peradaban Babylon (1839 SM) dan agama Konfushu bagi Peradaban Cina (555 SM), turut mewarnai corak keragaman agama dalam lembaran peradaban.
Bercerita historis munculnya agama tersebut, mayoritas adalah hasil penalaran dan renungan manusia. Adakalanya agama suatu peradaban diprakarsai oleh seseorang dimana kemudian penamaan agama tersebut dipetik dari nama pencetusnya, seperti Budha, Jiena, Konfusyu dan Shinto. Adakalanya juga agama menjadi trand dan ciri khas setiap kampung pada suatu peradaban. Dikisahkan pada peradaban Babylon dan Mesir, setiap kampung atau desa memiliki kepercayaan dan Tuhan yang berbeda.
Jika kembali menganalisa, mengapa sekian banyak komunitas masyarakat pada peradaban silam tidak terlepas dari agama?. Bahkan terkadang, seseorang yang tiba-tiba timbul membawa ajaran agama kian mendapat sambutan hangat dari masyarakat sekitar serta dijadikan agama resmi peradaban. Konfusyu misalnya yang lahir pada 551 SM mendapat pengakuan sebagai pencetus agama di peradaban Cina, dan kemudian ajarannya diajdikan agama resmi di tengah umur peradaban Cina. Penyambutan ini tentunya bukan sembarang, ada satu hal mendasar penyebab penyambutan agama-agama yang muncul, yaitu kebutuhan akan amunisi rohani.
Terbukti, Dengan munculnya agama, rohani para pemakmur peradaban terpenuhi dimana liniernya menghasilnya pola hidup yang semakin baik dan harmonis. Mereka mulai menanamkan nilai ikhlas dalam bekerja dan nilai moral dalam berinteraksi. Mereka tidak lagi membutuhkan “tim evakuasi” untuk mengontrol kejujuran, keadilan dan kebaikan, dikarenakan agama telah menjandi “sensor” utama dalam menentukan tindakan. Sinar keharmonisan ini mengindikasikan bahwa terdapat kesiapan dalam diri setiap manusia untuk menerima dan menerapkan nilai-nilai kebaikan.
Fenomena di Di atas adalah gambaran kehidupan manusia pra sejarah. Dimama mereka berada pada ketidaktahuan akan “Siapa Tuhan sebenarnya”. Di era itu manusia tetap mencari dan mencari Tuhan yang telah mewujudkannya ke dunia tanpa ada panduan pasti yang membimbing kepada titik kebenaran dari hasil pencaharian itu. Sehingga muncullah agama-agama tersebut di atas dengan beragam Tuhannya.
Namun suatu hal yang perlu digaris bawahi, Jika keberadaan agama-agama dan tuhan-tuhan hasil kontemplasi manusia ini dibenarkan, maka akan sulit bagi akal sehat untuk menerima bahwasanya “banyak tuhan yang mengatur dan menciptakan Bumi ini”. Dan akan menjadi semakin sulit untuk menerima roh-roh, patung, api, pohon, matahari dan bulan ketika dikategorikan sebagai tuhan. Karena tuhan bukan pilihan, Ia pasti hanya satu dan Ia pasti Maha Kuasa, yang menciptakan bumi ini dan seisinya serta menciptakan keteraturan dimensi alam dengan seisinya. Sampai titik ini dapat kita pahami bahwa pencaharian tuhan tanpa adanya petunjuk/panduan, manusia akan salah dalam menentukan tuhan yang sebenarnya.
Kesalahan menentukan tuhan yang sebenarnya inilah yang disebut sebagai “kejahiliahan” atau kebodohan, baik di masa silam, sekarang atau mendatang. Sebab manusia terlalu mulia untuk menyembah makhluk yang ada di alam dan seisinya. Perlu kita pahami bersama, bahwasanya manusia adalah makhluk yang mendapat kedudukan mulia sebagai pemakmur di dunia, dimana segala apa yang ada di alam semesta didesain sebagai modal dasar untuk kelangsungan hidupnya. Sehingga segala bentuk penyembahan kepada alam dan bagiannya, hanya menjatuhkan manusia kepada “lembah” kehinaan.
Inilah Jalan-Nya
Suatu benang merah dapat kita tarik, bahwa syarat utama kebenaran sebuah agama adalah, ia harus bersumber dari Tuhan yang mengetahui kebenaran hakiki. Dialah yang membuat jalan menuju kebenaran tersebut. Dia juga yang mengaturnya dan membuat undang-undangnya. Semua itu didesain Oleh Tuhan (Allah) untuk kebaikan manusia dan menunjukkan manusia kepada jalan kebenaran.
Islam ialah Jalan-Nya. Islam menjawab permasalan Teologi dengan konsep ke-Esaan Tuhan. Menjawab kebutuhan fitrah dengan menunjukkan tata cara interaksi dengan Ilahi (bac. Ibadah). Menunjukkan jasmani untuk mengkonsumsi yang baik dan meninggalkan yang buruk demi keseimbangan. Merespon kondisi psikologi manusia dengan mengajarkan konsep tawakkal kepada Ilahi. Memberikan undang-undang ekonomi dengan melarang praktek riba, karena ia merugikan pihak tertentu. Membimbing kehidupan sosial dengan mengajarkan nilai-nilai kejujuran, kesopanan, kedermawanan, kasih sayang dan budi pekerti.
Dua hal mendasar yang terdapat dalam ajaran Islam: 1. Membimbing fitrah dalam memahami hal metafisika 2. Meneyeru akal untuk berfikir dan meneliti semua hal berbentuk fisik. Dua point ini sangat memiliki kesesuaian dengan character mahkluk manusia, maka tidak heran jika banyak manusia yang masuk ke dalam agama Islam setelah mengetahui kandungan ajaran Islam. Wallahu a’lam
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (al-Imran: 19)
Rahmat Hidayat Lubis
Tripoli Libya