Sejak tahun 1924 Kemal Attaturk mengantarkan dunia Islam pada sebuah potongan sejarah tanpa khilafah. Itulah puncak keberhasilan Barat –dibawah pengaruh Zionisme Internasional- melempar Islam dari panggung kekuasaan dan politik. Sekulerisme dalam pengertian yang paling sederhana menjadi nyata di dunia Islam; agama dan negara harus bercerai; agama milik pribadi, sementara negara milik publik; agama hanya boleh bermain di masjid, sementara negara bermain di ranah yang luas.
Politik bermakna pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegeraan, segala urusan dan tindakan kebijaksanaannya, siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain. Dalam ensiklopedi Rouber politik adalah seni memenej tatanan masyarakat manusia.
Demokrasi mempunyai dua wajah yang berbeda; wajah ideal-ideologis dan real-pragmatis. Sebagai produk sekulerisme, sistem demokrasi lahir hasil pergulatan di antara rasionalitas dan penguasa gereja. Bentuk pemerintahan sekuler, liberal dan pluralis adalah satu-satunya solusi agar tidak terjadi pemerintahan despotik dan autoritarian. Wajah manis demokrasi terlihat ketika menyuarakan “government of the people, by the people, for the people”, yang memperjuangkan hak-hak asasi manusia seperti terjaminnya kebebasan, persamaan dan keadilan bagi seluruh masyarakatnya. Wajah manis inilah yang berhasil merayu sebagian intelektual muslim untuk mengadopsi sepenuhnya demokrasi Barat.
Sekulerisasi di Barat, seperti diakui oleh banyak ahli, sebenarnya bertolak dari ajaran Kristen sendiri. Dalam Gospel Matius XXII:21 tercatat ucapan Yesus: “Urusan Kaisar serahkan saja kepada Kaisar, dan urusan Tuhan serahkan kepada Tuhan.” Implikasinya, agama tidak perlu ikut campur dalam urusan politik. Dari sinilah kemudian muncul dikotomi, pemisahan antara kekuasaan Raja dan otoritas Gereja, antara negara dan agama. Doktrin ini dikembangkan oleh St.Augustin yang membedakan kota bumi (civitas terrena) dan kota Tuhan (civitas dei).
Sekulerisme dalam pengunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekulerisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu.
Dalam istilah politik, sekulerisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, mengantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas. Sekulerisme, seringkali di kaitkan dengan ‘Era Pencerahan’ di Eropa, dan memainkanm peranan utama dalam perdaban Barat. Prinsip utama Pemisahan gereja dan negara di Amerika Serikat, dan Laisisme di Perancis, didasarkan dari ajaran sekulerisme.
Depolitisasi merupakan sebagian proyek sekulerisasi. Sekularisasi menjadi satu keharusan di Barat pada zaman pencerahan, karena Barat telah bosan dengan sistem teokrasi dan despotic yang dilakukan oleh golongan agama (rijal ad-din). Sekularisme dan liberalisme adalah solusi bagi masyarakat Barat untuk maju dan modern. Ia adalah formula untuk dapat mengeluarkan masyarakat daripada kegelapan dan keterbelakangan. Masyarakat Barat sebenarnya telah lama menderita selama kurang lebih seribu tahun di bawah pemerintahan gereja yang otoriter sehingga menjatuhkan banyak korban sampai 430.000 orang serta membakar hidup-hidup 32.000 orang dengan alasan melawan kehendak Tuhan. Galileo , Bruno dan Copernicus adalah diantara para ahli sains yang menjadi korban dikarenakan ide-idenya dianggap bertentangan dengan kehendak gereja yang diklaim berasal dari titah Tuhan.
Perselisihan Islam dengan sekulerisme bukanlah perselisihan antara dua peradaban (clash of civilization). Akan tetapi sebenarnya adalah pertentangan antara agama dan pemikiran manusia Barat modern. Sekulerisme muncul akibat kekecewaan manusia terhadap pemerintahan agama yang menyebabkan kemunduran dan kegelapan. Manusia Barat mengalam pengalaman pahit dengan agama inilah yang memberontak dan memprotes agama serta bertindak dengan melepaskan diri dari belenggu otoritas Tuhan.
Dalam merespon isu demokrasi para cendekiawan muslim terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama menolak demokrasi dengan alasan utamanya, karena dalam sistem seperti ini kedaulatan rakyat mutlak diberikan kepada rakyat khususnya dalam membuat undang-undang. Ini bertentangan dengan sistem politik Islam yang menuntut kedaulatan diberikan kepada Allah (al-Hakimiyah Lillah) dengan menjadikan syariah sebagai sumber utama perundang-undangan. Termasuk dalam golongan ini adalah Maududi dan Sayyid Quthb, setelah menolak demokrasi Barat tidak pula menjadikan teokrasi sebentuk bentuk pemerintahan Islam.
Golongan kedua yang diwakili oleh Yusuf Al-Qardawi, Rashid Al-Ghannoushi dan Fathi Osman, menerima demokrasi dengan beberapa catatan. Mereka meyakini bahwa pada dasarnya prinsip-prinsip demokrasi telah ada dalam syariah Islam seperti kekuasaan mayoritas, kekuasaan undang-undang dan pemerintahan perwakilan.
Apapun kecendrungan para cendekiawan Muslim dalam menghadapi demokrasi, mereka semua berpegang teguh kepada prinsip kedaulatan Syariah. Bahwa dalam bentuk apapun yang paling penting dalam suatu Negara Islam adalah bahwa Syariah harus berdaulat. Kedaulatan Syariah pada prinsipnya tidak akan memberi ruang kepada pemerintahan yang otoriter dan diktator. Serta dapat menghapuskan kelaliman, diskriminasi dan korupi dengan tuntas.
Para cendekiawan Muslim bersepakat bahwa sistem politik Islam sangat berbeda dan bahkan bertentangan dengan sistem teokrasi. Dalam sejarah Barat pemerintahan teokrasi yang memberikan gereja kuasa mutlak adalah bentuk pemerintahan irrasional, anti sains dan anti kemajuan. Sedangkan pemerintahan Islam yang dicontohkan oleh para sahabat adalah pemerintahan yang rasional dan mendukung kemajuan dalam bidang apapun.
Kesimpulan Minimal
Sekulerisasi politik tidak sesuai dengan ajaran Islam, karena Islam mementingkan peran agama dalam soal pemerintahan dan kepemimpinan. Sekulerisasi akan membuang peranan ulama dalam sistem pemerintahan. Padahal, Rasulullah Saw sendiri sudah mencontohkan dirinya sebagai pemimpin negara, yang diikuti oleh para penggantinya, Khulafa ar-Rasyidin yang semuanya arif dalam masalah-masalah agama. Hemat penulis menceraikan Islam dari kiprah politik akan menghalangi peranan Islam supaya tersebar dalam masyarakat. Akibatnya agama menjadi urusan pribadi bukan publik.
Profil Penulis
Mahir Mohamad Soleh, Alumni KMI Gontor, kini tercatat sebagai mahasiswa jurusan Hadis di Universitas Al-Azhar Mesir. Selain di kampus, aktif sebagai pegiat kajian Lembaga Buhuts Islamiyah (LBI) Pwk Persis Mesir, Reporter Jurnal Oase ICMI Orsat Kairo dan Koordinator Forum Telaah Intensif Ilmu-ilmu Hadits (FATIHA)