Hidup ini adalah pilihan. Hidup ini amat sangat singkat sehingga mau tidak mau kita harus membuat pilihan. Hanya ada dua sikap dalam membuat pilihan, yang pertama adalah sikap mantap dan yang lainnya adalah sikap ragu-ragu. Mantap berarti solidnya isi hati dengan amal perbuatan, bersatunya nurani dan amal. Ragu-ragu berarti mengambang, tidak bertemunya kemauan hati dengan amal. Bila mantap mendatangkan kekokohan diri layaknya karang yang tetap tegar diterpa ombak keras, maka ragu-ragu mendatangkan keterombang-ambingan layaknya kerang-kerang kecil yang hanya digerakkan arus, kadang merapat ke daratan, kadang hanyut ke tengah lautan.
Mengambil pilihan berarti mengambil yang sedikit dari yang banyak tersedia. Jika ia mengambil yang sudah banyak tersedia, maka tidaklah ia dikatakan memilih, tapi ia hanya mengikut. Maka sebenarnya mereka yang membuat pilihan adalah mereka yang terpilih, yaitu yang sedikit di antara yang banyak. Sedangkan mereka yang hanya mengambil apa yang banyak tersedia adalah mereka yang menjadi pengikut, meramaikan yang banyak.
Karena hidup itu adalah pilihan, ALLAH sudah menakar kadar mereka yang berjumlah sedikit untuk mempengaruhi mereka yang ramai. Hanya gula sesendok untuk memaniskan minuman segelas, hanya satu semburan parfum untuk mengharumkan ruangan sekamar. Yang membuat sedikit dapat mempengaruhi yang banyak adalah kadar atau konsentrasi ke-istiqamah-an mereka. Mereka yang bergabung dengan keramaian tetap akan larut dalam keramaian walaupun begitu inginnya mereka bergabung dengan yang berjumlah sedikit. Kuatnya kemauan mereka akan diuji dan dengan sendirinya mereka terseleksi. Mereka yang semula bergabung dalam jumlah yang sedikit lambat laun pun ikut dalam keramaian, sehingga tidak lagi menjadi sekelompok yang mempengaruhi, melainkan telah menjadi kelompok yang terpengaruh. Kuatnya kemauan mereka juga akan diuji dan dengan sendirinya mereka terseleksi.
Persoalan ini hanya masalah langkah apa yang dipilih dan dijalani setelah pengetahuan itu sampai kepada seseorang. Ketika seseorang itu telah sampai pengetahuan kepadanya bahwa jalan yang patut ditempuh adalah jalan yang tidak ramai orang menapakinya, maka selanjutnya adalah sesuaikah apa yang ia ketahui dengan kemana ia melangkah.
Ketika ramai orang membangun istana dengan kekayaannya maka mereka yang terpilih adalah mereka yang tidak meninggikan atap selain dari cukupnya kolom udara di atas kepalanya dan tidak meluaskan ruangan selain dari hitungan berhingga jangkauan tangan dan kakinya, dan mengalihkan kekayaannya untuk infaq di jalan ALLAH. Walaupun untuk itu mereka tidak tercatat dalam deretan orang terkaya karena mengumpulkan harta. Wajar saja, makhluk memahami kaya sebagai banyaknya perbendaharaan yang berhasil ditahan, sedangkan Sang Pencipta Makhluk, Yang Maha Kaya, memberi arti kaya sebagai banyaknya perbendaharaan yang berhasil lepas dari tahanan nafsu sang makhluk dan sebagai titipan yang dikembalikan kepada Sang Pemilik dengan dibelanjakan sesuai pesan-Nya.
Ketika ramai orang berlomba-lomba menjadi idola untuk menyaingi Dia Yang Tidak Punya Sekutu, maka mereka yang terpilih adalah mereka yang menyadari bahwa tidak ada bedanya idola dan taghut. Mereka menyadari bahwa pengikut idola adalah pengikut taghut, dan menjadi idola adalah menjadi taghut. Al Quran sendiri menghendaki Umat Islam menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan, bukan idola. Sungguh berbeda makna keduanya. Bila yang pertama menuntut integritas, maka yang kedua hanya ikut dalam batas yang ia suka.
Ketika ramai orang mengejar selembar ijazah untuk dikekalkan sebagai gelaran pelengkap namanya, maka mereka yang terpilih adalah mereka yang merasa tidak pantas punya gelar lain selain dari “Abdullah” dan senantiasa cemas apakah selembar ijazah mereka akan menjadi bagian lembaran-lembaran kitab yang diberikan dari sebelah kanan, atau dari sebelah kiri di hari kiamat nanti, yang diukur dari seberapa banyak lembaran manfaat yang diterbitkan dari tiap lembar ilmu yang dipelajarinya.
Ketika ramai orang bangga disebut ahli politik karena lihainya mereka memainkan kebingungan masyarakat, maka mereka yang terpilih adalah mereka yang memilih tetap santun dan menerjemahkan nurani mereka dalam tiap aksi mereka ketika bergerak dalam arena yang mendatangkan keberuntungan besar atas kebaikan kecil yang ditanam dan mendatangkan kecelakaan besar atas kelalaian kecil yang dibiarkan.
Ketika ramai orang mendaki untuk ketinggian diri dan kejayaan pribadi, maka mereka yang terpilih adalah mereka yang bersabar mengulurkan tangan dan menggandeng saudara-saudaranya untuk bersama-sama mendaki puncak sehingga sama-sama dari ketinggian melihat indahnya pemandangan perjuangan. Tingginya mereka adalah rendahnya mereka di hadapan Yang Maha Tinggi, dan rendahnya mereka adalah tingginya mereka di hadapan keramaian yang melarutkan diri dalam ketidakpedulian.
Ketika ramai orang menutup catatan idealisme yang pernah ditulisnya untuk kemudian membuka catatan pragmatisme yang ditulis orang lain, tetapi seolah-olah ia kemudian ikut menulisnya, maka mereka yang terpilih adalah mereka yang tidak pernah merasa rugi memperjuangkan idealisme walau mati sebelum idealisme itu tumbuh, mengakar, dan berbuah di masyarakatnya. Bagi mereka mati itu kepastian, tinggal memilih cara mati seperti apa.
Ketika ramai orang mengabarkan kesuksesan dirinya dan merasa senang jika kata sukses itu dipantulkan kembali pada dirinya dari khalayak ramai, maka mereka yang terpilih adalah mereka yang memahami sukses sebagaimana Al Quran mendefinisikan sukses. Bagi mereka, tidak pantas seorang muslim mengabarkan dirinya sukses sebelum ia menginjakkan kakinya di surga!
Profil Penulis :
Ibnu Kahfi Bachtiar, mahasiswa S2 bidang energi terbarukan pada Universitas Oldenburg (Jerman) saat ini sedang menyelesaikan tesis di Forschungszentrum Juelich.