Oleh : Muhammad Rois Almaududy Hasibuan
Muawiyah bin Abu Sufyan. Dia adalah seorang pemimpin pemula pada daulah bani Umaiyyah. Ada berbagai versi sejarah yang mencatatkan masa kepemimpinannya di puncak khilafah pada masa itu. Banyak sekali kritisi para penulis sejarah. Pasalnya, ia dicatat melakukan perbuatan beberapa kesalahan yang menyemburkan perpecahan di hati sebagian kaum muslimin. Dia lah yang mengomandoi pemberontakan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Dia pula yang telah merusak tatanan khilafah. Awalnya khalifah itu diangkat berdasarkan bai’at dan musyawarah, tetapi ia mengubahnya menjadi sistem monarki atau turun-temurun.
Namun, sikap kita yang terbaik—sebagaimana yang diungkap Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam buku Tarikhuna Al-muftara ‘Alaih—adalah tengah-tengah. Tidak perlu membenci berlebihan. Tidak pula membangga-banggakan. Kesalahannya dalam lembaran sejarah memang tidak bisa dinafikan. Namun, pada masa kepemimpinannya secara khusus—dan pada masa daulah bani Umaiyyah umumnya—ada juga manfaatnya bagi sejarah agama Islam. Sebagaimana kita ketahui, pada masa daulah bani Umaiyyah telah terjadi penyebaran daerah Islam secara masif. Tentu, usaha mereka itu masih terhitung sebagai kebaikan.
Di tulisan ini, mari kita belajar pada satu peristiwa yang dicatatkan Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam buku Tarikhuna Al-muftara ‘Alaih mengenai Muawiyah bin Abu Sufyan.
Pada suatu waktu, Abu Muslim Al-Khaulani datang mengunjungi Muawiyah bin Abu Sufyan. Saat itu, Muawiyah sedang dikelilingi oleh beberapa orang. Mengawali perjumpaan itu, Abu Muslim mengucap salam, “Assalamu’alaika ya ajir (seorang pekerja upahan)!”
Semua yang ada di tempat itu terperangah. Mereka tidak menyangka bahwa Abu Muslim berani selantang itu di hadapan Muawiyah yang sudah menjabat sebagai khalifah. Mereka pun berusaha membenarkan kesalahan Abu Muslim, kata mereka, “Assalamu’alaika ya amir (pemimpin)!”
Namun, Abu Muslim tetap bersikukuh dengan ucapannya. Lantas, Muawiyah menjawab, “Biarkanlah dia, karena dia lebih tahu apa yang dia ucapkan.”
Kemudian, Abu Muslim Al-Khaulani mengatakan, “Engkau adalah pekerja upahan kaum Muslimin. Mereka menggajimu untuk menjaga kemashlahatan mereka.”
Inilah yang harus kita jadikan sebagai pelajaran. Tentu, yang paling utama adalah untuk mencari pemimpin ideal bagi bangsa kita. Pada waktu-waktu ini, di negara ini akan diguyur oleh hujan panas politik. Berbagai cara digelar, berbagai jalan ditempuh, demi meyakinkan masyarakat untuk memilih. Semua seolah menjadi yang terbaik. Namun, sebagai rakyat, tugas kita adalah memilih secara jeli.
Pemimpin atau wakil rakyat adalah orang-orang upahan yang bertugas untuk menjaga kemashlahatan rakyat. Tugas mereka memikirkan nasib rakyat. Haram bagi mereka menjadikan jabatan sebagai sarana untuk memperoleh kesenangan pribadi. Makanya, sebenarnya berlebihan kalau kita memuji seorang pemimpin yang terlihat merakyat, sederhana, dan tidak sombong. Kenapa? Karena itulah tugas mereka. Untuk itulah mereka dipilih.
Jadi, sebenarnya sikap kita adalah mempertanyakan para pemimpin yang tidak memperlihatkan eksistensi mereka sebagai pengemban amanah rakyat.
Di detik-detik jelang lahirnya pemimpin baru ini, hendaknya kita memiliki cara pandang terbaik. Jangan sampai orang yang tidak pantas menduduki kursi pemerintahan yang berkuasa.
Amanah rakyat adalah kemashlahatan. Itu tidak akan bisa dipenuhi oleh orang-orang yang ambisi dunianya tinggi.
Amanah rakyat adalah kemashlahatan. Itu tidak akan bisa dipenuhi oleh orang-orang yang tidak kenal pada Tuhan-nya, dan tidak tahu tanggung jawab.
Semoga kita dikaruniai oleh Allah kejernihan dan kesehatan berpikir. Agar tak tergiur oleh ‘umpan-umpan politik’ sehingga tak salah menentukan pilihan..
*Mahasiswa s1 ilmu keperawatan USU. Ketua “Al-Fatih Club”. Pengurus tetap Forum Komunikasi Islam (Forkis) RUFAIDAH Fakultas Keperawatan USU.