Bagi umat Islam, sosok Imam Ahmad ibnu Hanbal atau yang lebih familiar disebut “Imam Hanbali” adalah tokoh masyhur yang sangat berpengaruh dalam ranah Ijtihad Fikih. Nasab beliau adalah; Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Hanbal ibnu Hilal ibnu Asad ibnu Idris yang nasabnya bertemu dengan Rasulullah Saw. pada Nazar ibnu Ma’d ibnu ‘Adnan.
“Ibnu Hanbal” sebenarnya lebih cocok diartikan dengan “cucu Hanbal” daripada “putera Hanbal”, karena “Hanbal” adalah nama sang kakek dan bukan sang ayah. Imam Ahmad lebih dikenal dengan nasab kakeknya daripada ayahnya lantaran kakek beliau adalah seorang tokoh berpengaruh yang sempat menjadi gubernur di daerah Khurasan pada masa khilafah Umawiyah. Sedangkan ayah beliau sendiri merupakan mujahid tangguh yang meninggal dunia pada usia 30-an pada saat Imam Ahmad masih kecil.
Sejauh ini Imam Hanbali dikenal sebagai seorang Mujtahid Mutlak; yaitu ahli ijtihad yang memiliki konsep independen dan tidak “berafiliasi” kepada mujtahid lainnya. Allah juga telah menjadikan madzhab beliau termasuk salah satu madzhab yang “langgeng” hingga detik ini setelah tiga pendahulunya yaitu madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i.
Jika dicermati pendapat-pendapat dalam madzhab Hanbali, kita akan menemukan bahwa ijtihad Fikih Sang Imam begitu concern dalam mengkaji permasalahan kebersihan (nadzafah) dan kesucian (thaharah).
Seperti dalam permasalahan mensucikan najis dari anjing dan babi; Imam Hanbali berpendapat bahwa cara mensucikan najis dari kedua binatang ini harus dibasuh dengan air sebanyak 8 (delapan) kali dimana salah satu basuhannya dicampur dengan debu yang suci. Sedangkan para mujtahid lainnya berpendapat bahwa noda najis itu cukup disucikan dengan 7 kali basuhan yang salah satunya dicampur dengan debu. (lih: al-Mughni [Ibnu Qudamah] juz-1 hal: 74).
Selain itu, Imam Hanbali juga berpendapat bahwa orang yang bangun dari tidurnya wajib menyuci kedua tangannya sebelum ia memulai untuk wudlu. Pendapat tersebut berlandaskan atas hadits Rasulullah bahwa beliau bersabda; “Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, hendaklah ia menyuci kedua tangannya tiga kali sebelum mencelupkannya ke dalam tempat air. Karena kalian tidak tahu “kemana saja” tangan kalian berada (ketika tidur).” (HR. Bukhari-Muslim). Pendapat ini juga berbeda dengan mayoritas ulama yang mengatakan bahwa menyuci tangan setelah tidur hukumnya mustahab saja dan tidak sampai wajib. (lih: al-Mughni [Ibnu Qudamah] juz-1 hal: 110).
Masih dalam permasalahan wudhu juga, Imam Ahmad ibnu Hanbal memiliki pandangan bahwa seseorang yang mengerjakan wudhu, maka wajib baginya untuk membersihkan mulut dengan kumur-kumur (madhmadhah) dan menyuci hidung dengan memasukkan air ke dalamnya (istinsyaq). Lagi-lagi pendapat ini tidak sama dengan pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa madhmadhah dan istinsyaq bukan termasuk rukun maupun kewajiban dalam wudhu, melainkan keduanya sebatas sunah semata. (lih: Nail al-Authar [al-Syaukaniy] juz-1 hal: 172).
Demikian halnya dalam permasalahan yang membatalkan wudlu, mayoritas pakar Fikih sepakat bahwa jika seseorang yang mempunyai wudhu lalu ia memakan daging onta, maka tidak wajib baginya untuk mengulangi wudhunya, karena memakan daging onta tidaklah membatalkan wudhu. Berbeda halnya dengan Imam Ahmad ibnu Hanbal yang menyatakan bahwa orang yang memakan daging onta wajib hukumnya untuk wudhu kembali, sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah Saw. bahwa beliau ditanya oleh seorang sahabat; “Wahai Rasulullah, apakah wajib bagiku untuk wudhu setelah aku memakan daging onta?” Rasulullah menjawab; “Ya, berwudhulah engkau setelah memakan daging onta.” (HR. Muslim). (lih: al-Kafi fi Fiqhi Ibnu Hanbal [Ibnu Qudamah] juz-1 hal: 81).
Begitulah profil Imam Hanbali dengan kapasitasnya sebagai seorang mujtahid mutlak. Beliau telah memberikan kontribusi sangat urgen dalam permasalahan Fikih khususnya yang berkaitan dengan kebersihan dan kesucian, beliau memiliki daya kepekaan tinggi dan sangat preventif dalam merespon kedua permasalahan tersebut.
Itu adalah hal pertama, yaitu kebersihan dalam tinjauan fisik yang sesungguhnya. Namun di sisi lain Imam Ahmad juga serius dalam mempertahankan “kebersihan” akidah dari pemikiran “sampah” yang –pada masanya– begitu marak hingga menjadi kepercayaan resmi bagi otoritas pemerintah saat itu.
Hal tersebut terlihat jelas dalam risalah beliau “Al-Radd ‘ala al-Zanadiqah wa al-Jahmiyyah.” (Bantahan terhadap argumen kaum Zindiq dan Jahmiyyah) yang dalam buku tersebut Imam Ahmad menguraikan secara logis dan terperinci counter ilmiah terhadap pemikiran kaum Zindiq dan Jahmiyyah dalam tiga poin besar.
Poin pertama adalah bantahan terhadap kaum Zindiq yang menyatakan adanya kontradiksi antara ayat-ayat Al-Qur’an satu dengan lainnya. Poin kedua adalah bantahan terhadap Jahm ibnu Shafwan dan para pengikutnya yang mengingkari sifat-sifat Allah (ta’thil). Dan poin ketiga adalah bantahan terhadap argumen yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk dan bukan Kalamullah.
Terkhusus dalam permasalahan terakhir ini, Imam Ahmad mendapatkan ujian yang tidak enteng dalam menghadapinya. Betapa tidak? Untuk mempertahankan “kebersihan” akidah dengan menyatakan bahwa Al-Quran adalah Kalamullah dan bukanlah makhluk, beliau harus berhadapan langsung dengan para pemimpin negara dengan tetap bersabar meskipun mendapat siksaan cambuk dari mereka dan dikurung dalam penjara selama hampir 14 tahun.
Jika ditengok sejarah, diketahui bahwa Imam Ahmad ibnu Hanbal hidup pada abad ketiga hijriyah, yaitu masa khilafah Abbasiyah yang kala itu sangat cenderung kepada pemikiran Mu’tazilah. Ujian terhadap Sang Imam bermula sejak masa khalifah Ma’mun yang memerintahkan kepada Ishaq ibnu Ibrahim –salah seorang utusannya– untuk mengumpulkan para ulama dan menguji argumen mereka satu-persatu tentang eksistensi Al-Qur’an; apakah ia makhluk atau bukan.
Khalifah Ma’mun pada saat itu menginginkan agar rakyatnya tunduk kepada pendapatnya; bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan bukan kalamullah. Oleh karenanya, setelah Ishaq Ibnu Ibrahim mengumpulkan para ulama –yang berjumlah sekitar 30-an– dan mendiskusikan perkara ini satu-persatu. Hingga jika ia mendapatkan salah seorang dari mereka berbeda pendapat dengan sang khalifah, maka tak segan-segan khalifah Ma’mun menyiksanya. Tak heran jika para ulama itu kemudian mengamini pemikiran sang khalifah agar terhindar dari siksaannya, kecuali dua ulama saja; yaitu Muhammad ibnu Nuh, dan Imam Ahmad ibnu Hanbal. (lih: al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-Tarikh al-Islamy, juz-1 hal: 277).
Penindasan terhadap kaum oposan yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah terus berlanjut sampai masa Khalifah Mu’tashim Billah dan al-Watsiq Billah. Hingga datangnya masa kepemimpinan Mutawakkil ‘Alallah, barulah Imam Ahmad dan para pengikutnya mendapatkan ruang yang layak tanpa ada lagi penindasan bersifat fisik dan pemaksaan argumen sebagaimana yang digencarkan oleh para pendahulunya.
Begitulah lanskap perjuangan Imam Ahmad ibnu Hanbal dalam memerangi “kotoran” dan melestarikan “kebersihan” dilihat dari dua tinjauan fisik-jasmani maupun psikis-rohani. Andai saja Imam Ahmad ibnu Hanbal ditakdirkan hidup di zaman ini, mungkin beliau akan memfatwakan bahwa membuang puntung rokok di sembarang tempat; haram hukumnya. Karena selain dapat mencemari kebersihan hal tersebut dapat menciptakan lingkungan yang tidak sehat.
Andai pula Imam Ahmad ibnu Hanbal hidup di masa ini, tentu beliau akan membungkam-rapat argumen kaum Sekularis yang mengatakan bahwa Al-Qur’an bukanlah kitab pedoman bagi umat manusia. Beliau juga takkan tinggal diam melihat ulah kaum Pluralis yang mengingkari agama Allah dan menyama-ratakan Islam dengan agama lainnya. Dan pastinya, beliau takkan rela melihat kaum Liberalis “menginjak-injak” ayat Al-Quran dan mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya ciptaan manusia belaka.
Semoga figur Imam Ahmad tetap menjadi teladan bagi seluruh pemimpin dan tokoh Islam di negeri ini; sehingga mereka tidak takut mengatakan bahwa yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Tidak sudi menjilat atas nama agama dan menjualnya dengan harga murah untuk kepentingan duniawi sesaat. Tidak sungkan “membersihkan” negeri ini dari tumpukan “sampah” yang menggunung dengan segala variannya. Sehingga negeri ini tetap bersih dan aman tanpa meninggalkan satu lobang pun bagi para “tikus” untuk bisa bersemayam.
Penulis:
Musa Yusuf. Mahasiswa Program Diploma Universitas Al-Azhar Cairo
YM & FB : [email protected]