Di beberapa jalan besar di kota Cairo, terpampang sebuah papan iklan raksasa dengan seorang model superstar Mesir bernama Amr Diab. Dengan mengenakan kaos "singlet" putih yang memperjelas body atletisnya, Amr Diab juga terkesan memamerkan ukiran tato di lengan kekarnya itu. Dan sebenarnya, tato itulah objek utama yang ingin ia tonjolkan jika dilihat dari kostum yang dikenakan berikut pose photo yang diambil dari sebelah pinggir badannya.
Sebenarnya, tato sendiri bukan sesuatu yang "bertentangan" menurut keyakinan para selebritis maupun artis. Karena tato bagi seorang seleb selain untuk alasan trend terkadang juga menunjukkan kepada sebuah idealisme yang ia miliki. Bahkan tak jarang demi sebuah jati diri, seorang seleb akan gonta-ganti tato sesuai kebutuhan "zaman"nya.
Tapi yang menarik dari Amr Diab adalah tato-nya yang bertuliskan lafadz Arab (عبد الله) berbunyi "Abdullah" yang berarti "Hamba Allah". Sebuah slogan khusus yang hanya dimiliki oleh umat Islam. Dengan kata lain, Amr Diab seolah ingin mengatakan kepada publik bahwa dirinya adalah seorang muslim sejati, terbukti dari tatonya yang mengindikasikan bahwa dia adalah seorang "Hamba Allah tulen".
Namun jika diperhatikan, apa yang dilakukan oleh Amr Diab sebenarnya cuman plagiasi mutlak dari gaya selebritis barat. Sama persis dengan apa yang dilakukan Justin Timberlake yang men-tato lengannya dengan simbol salib, atau David Beckham yang juga mengukir lehernya dengan tato salib. Kedua-duanya ingin mengatakan bahwa mereka adalah pemeluk agama salib ini. Karena simbol itu khusus dimiliki oleh pemeluk agama tersebut.
Belakangan, apa yang dilakukan oleh para seleb luar negeri ini turut dicaplok mentah-mentah oleh seleb dalam negeri. Selain latah, terkadang seleb dalam negeri jauh lebih variatif lagi, karena mereka tidak hanya berkutat dengan simbol tato saja. Mereka lebih cerdas untuk menemukan inovasi baru dalam simbolisme agama yang menunjukkan bahwa mereka adalah seorang "muslim sejati."
Simbol-simbol tersebut dapat ditemukan secara mudah di layar televisi ketika bulan Ramadhan tiba. Dan mari perhatikan, pakaian apa saja yang digunakan oleh para artis saat bulan Ramadhan, kemudian kostum apa yang mereka gunakan sebelum dan sesudahnya. Jika diamati, maka kostum yang dipakai para seleb tersebut akan berbeda antara "musim puasa" dengan "musim non-puasa".
Saat "musim puasa," para seleb lelaki lebih sering menggunakan baju koko, sorban melilit di leher sebagai pengganti syal dan terkadang berpeci segala. Sedangkan seleb wanita akan lebih cenderung mengenakan kerudung ala kadarnya yang sekedar menempel di kepala dengan tetap memperlihatkan jambul depannya, ditambah pakaian yang lumayan panjang meskipun terkadang masih eksplisit untuk menerjemahkan "bahasa tubuh".
Itu jika dilihat dari segi pakaian. Lalu silahkan lihat dari segi "profesi" yang mereka geluti, dan perhatikan apa yang mereka kerjakan saat Ramadhan maupun sebelum dan sesudahnya. Jika mereka adalah seorang penyanyi, maka di bulan Ramadhan mereka akan mendendangkan tembang-tembang relijius penuh hikmah dan pujian. Sedangakan di luar Ramadhan mereka akan menyanyikan lagu-lagu cinta monyet.
Atau jika mereka adalah grup band, maka Ramadhan adalah saat mereka mendendangkan "Allahu Akbar Maha Besar… Memujamu begitu indaahh… selalu Kau berikan semua kebesaran-Mu Tuhan…" namun kontan sesaat Ramadhan telah usai mereka akan menyanyikan "Putuskanlah saja pacarmu, lalu bilang I love you… padaku…"
Berbeda lagi jika mereka adalah pemain sinetron, dimana Ramadhan adalah saat bagi mereka berperan sebagai ibu rumah tangga yang baik, istri yang patuh kepada suaminya, suami yang setia, dan seterusnya. Namun dalam dunia nyata, keluarga mereka sendiri sering dilanda fitnah, kawin-cerai seenaknya, selingkuh juga sudah biasa, sungguh sebuah "sandiwara" yang nyata.
Belum lagi jika diikuti acara Ghibah-tainment yang secara intens menyimak perkembangan para seleb itu. Dimana saat Ramadhan tiba mereka akan diliput mulai dari sahur hingga buka puasa, sampai tentang apa makanan favorit mereka dan bagaimana cara menjaga stamina tubuh saat syuting, serta ke mana mereka akan mudik dan dengan siapa, sungguh merupakan suguhan yang kurang bermutu untuk dikonsumsi di bulan yang suci.
Namun ketika Ramadhan telah usai, para seleb itu akan dikabarkan tentang perselingkuhan mereka, perceraian, keterlibatan narkoba, kasus kekerasan keluarga, dan beragam permasalahan lainnya yang terkadang sang presenter pembawa acaranya sendiri tak lebih baik dari orang-orang yang telah ia buka aibnya itu. Terkadang sang presenter yang gemar menggosip itu terkena batunya sendiri dan terlibat kasus yang sama sehingga ia pun menjadi bahan gosipan oleh orang se-Indonesia.
Begitulah para seleb menunjukkan dualisme individu mereka, dimana Ramadhan adalah saat untuk menunjukkan simbol-simbol keagamaan yang seringkali tidak diiringi oleh penghayatan aplikatif, hingga setelah Ramadhan usai baru mereka akan membuka kedok aslinya seraya bernyanyi; "terbukalah toopengku…"
Tapi lain selebritis, lain pula aparat keamanan. Mereka juga tak mau kalah dengan para seleb itu untuk turut "bersandiwara" di bulan Ramadhan ini dan menunjukkan simbolisme agama menurut cara mereka sendiri. Maka dapat ditemukan dalam tayangan berita setiap bulan suci tiba, bahwa mereka akan mengadakan razia minuman keras di beberapa toko penyalur barang haram tersebut, lantas menghancurkannya di hadapan publik dengan melindasnya memakai silinder.
Sebenarnya aparat sangat paham mengenai hal itu, yaitu jika memang mereka "serius" untuk memusnahkan minuman haram tersebut, mereka akan menyegel pabriknya langsung, dan bukan malah menuju warung dan toko distributornya. Karena membakar kedai-kedai arak dengan tetap membiarkan pabriknya terus memproduksi, sama halnya dengan mengepel lantai namun membiarkan atap rumah tetap bocor terkena air hujan. Terlalu sia-sia dan buang-buang tenaga.
Tapi berhubung operasi minuman keras memang sedari awal tidak diniatkan untuk memberantas ke akar-akarnya, maka pembekuan pabrik minuman keras pun tak akan mereka lakukan. Sebaliknya, operasi minuman keras tersebut akan tetap dilacarkan setiap bulan puasa saja karena merupakan momentum yang tepat untuk "cari muka" dan meraup simpati masyarakat guna mengangkat prestige mereka. Dengan demikian, akan lahir opini publik yang mengangkat citra aparat bahwa mereka "berwibawa dan tegas" dalam memberantas kemunkaran.
Sama halnya dengan penonaktifan tempat-tempat lokalisasi yang juga menjadi agenda tahunan aparat keamanan yang selalu digalakkan ketika bulan Ramadhan tiba, menandakan bahwa aparat seolah begitu "perhatian" dengan masyarakat muslim dan sangat menghormati bulan Ramadhan ini. Padahal, saat Ramadhan usai tempat lokalisasi tersebut akan kembali aktif seperti semula.
Jadi terdapat beberapa tempat lokalisasi yang setiap tahunnya, setiap Ramadhan tiba akan "diblokir" oleh pemerintah, namun pada tahun berikutnya dan tahun-tahun mendatang tempat tersebut akan kembali berulang kali ditutup oleh pemerintah. Sampai masyarakat pun hafal akan berita tahunan yang mengabarkan bahwa "Setiap Ramadhan tiba aparat keamanan akan menutup tempat lokalisasi yang terletak di jalan itu."
Tempat lokalisasi seperti ini tentu saja akan tetap dibiarkan beroperasi karena merupakan salah satu "aset" yang telah membayar "uang keamanan" bagi para "pengayom masyarakat" tersebut. Sama halnya dengan pabrik minuman keras dan klub-klub malam yang tidak mungkin disegel karena telah membayar "pajak" untuk pemerintah yang menjadikan para pemegang kekuasaan tersebut kecipratan dananya.
Dengan kata lain, razia minuman keras dan operasi rumah bordil hanyalah "sandiwara" bulan Ramadhan yang dilakukan oleh beberapa pemegang otoritas negara untuk mengelabui masyarakat dan melahirkan opini publik bahwa mereka adalah "pengayom masyarakat" dan "pelindung umat". Namun sejatinya mereka telah menusuk masyarakat dari belakang karena turut menyuburkan penyakit sosial tersebut dengan melegalisasi tempat-tempat haram itu untuk tetap eksis menjalankan "kegiatan" mereka di tengah kehidupan umat.
Begitulah dualisme pemerintah dalam "menegakkan hukum" di negeri ini. Hal tersebut bahkan dapat terlihat jelas dari barang yang remeh sekalipun; yaitu bungkus rokok yang tercantum di dalamnya; "Peringatan pemerintah bahwa merokok dapat menyebabkan kanker… bla bla bla…" namun dalam bungkus yang sama terdapat logo burung garuda dengan label hologram menunjukkan persenan PPN yang juga harus dibayar setiap perokok kepada pemerintah.
Jadi istilah kasarnya, pemerintah di satu sisi menginginkan rakyatnya sehat dan hemat dengan tidak merokok, namun di sisi lain pemerintah juga ingin "kecipratan rejeki" dengan mengambil pajak dari setiap bungkus rokok yang telah ia larang itu. Tentu saja ini adalah sebuah bentuk premanisme yang terlembagakan karena memiliki unsur memaksa rakyat lemah dengan kekuasaan yang dimiliki. Seolah pemerintah berkata, "Kalau kamu mau merokok, bayar ke aku!"
Demikianlah simbol-simbol tersebut disalahgunakan. Mulai dari simbol baju takwa, kerudung, sorban, peci, jubah, hingga simbol burung garuda sekalipun. Maka dapat dipahami bahwa tingkat kesalehan seseorang tidak dapat diukur dari atribut formalitas yang sifatnya eksternal saja. Keislaman seseorang juga tidak dapat ditimbang melalui KTP maupun tato semata. Bukan berarti kalau orang sudah memakai kostum full-dress ala ulama berarti dia seorang alim. Lha wong Mirza Ghulam Ahmad si nabi palsu itu juga berjenggot, memakai ikat sorban, dan selalu membawa tasbih kok. Namun dengan demikian tetap saja dia ingkar Nabi.
Belakangan, simbol-simbol agama telah menjadi barang profit yang dapat menghasilkan banyak pemasukan. Karena logo-logo agama tersebut dapat dijadikan komoditi jual-beli sesuai kebutuhan si empunya. Jika masa-masa pemilu atau pilkada, banyak ditemukan muslim simbolik seperti ini yang memanfaatkan gelar Haji-nya untuk sekedar meraup simpati rakyat. Atau ketika Ramadhan tiba banyak acara televisi yang selalu mengangkat tema-tema agama yang dipenuhi simbol-simbol tersebut namun tak jarang itu hanyalah pragmatisme belaka.
Penulis jadi teringat seorang pentolan grup band yang dalam salah satu konsernya ia mengenakan kalung heksagram (bintang daud) yang merupakan lambang resmi orang Israel itu. Namun ketika ditanya ia menegaskan bahwa simbol ini adalah bukti cintanya kepada Nabi Daud ‘alaihissalam. Sungguh mengherankan cara berpikir artis tersebut, jika memang ia cinta Nabi Daud kenapa tidak mengikuti ajarannya saja dengan cara berpuasa Daud yaitu sehari puasa dan sehari tidak. Kenapa ia lebih memilih untuk memakai logo yang kini menjadi simbol penjajah dunia itu?
Bisa jadi nanti akan ada artis lain yang konser menggunakan kalung "Palu-Celurit" di lehernya dan ketika ditanya ia menjawab, "Ini adalah bukti tanda cinta saya kepada Nabi Daud, karena dulu beliau adalah seorang pandai besi yang sering menggunakan Palu untuk membuat pedang dan Celurit".
Tapi masyarakat tentu sangat paham bahwa itu sebenarnya merupakan simbol PKI, dengan demikian tiada gunanya menutup kedok asli dengan beragam aksesoris retorika. Jangankan manusia yang berakal, bahkan seekor semut saja takkan terkecoh dengan garam yang diletakkan dalam sebuah kaleng bertuliskan; "Ini Tempat Gula".
Wallahu a’lam.
Musa Yusuf al-Amien
Mahasiswa Post-Licence Universitas Al-Azhar Cairo
YM & FB : [email protected]