Secara garis besar, Mukjizat yang dimiliki oleh Rasulullah saw. ditinjau dari “masa terjadinya” terbagi menjadi empat macam. Pertama adalah mukjizat yang hanya terjadi pada masa kerasulan beliau, seperti terpancarnya air di antara jari-jemari Rasulullah pada hari Hudaibiyah, terbelahnya bulan, Isra’-Mi’raj, batu yang mengucapkan salam kepada beliau dan masih banyak mukjizat lainnya yang hanya terjadi pada masa kenabian dan tidak terjadi sebelum atau sesudahnya.
Kedua adalah mukjizat yang telah terjadi pada masa Rasulullah, dan akan terus berlaku hingga akhir zaman nanti. Inilah kitab suci Al-Qur’an itu, sebuah mukjizat yang mengandung ilmu dan hikmah dimana ruang dan waktu tidak akan mampu mengikisnya.
Ia akan tetap kekal hingga akhir zaman nanti tanpa ada sebuah makhluk pun yang dapat memalsukannya, menandinginya, apalagi menghancurkannya. Al-Qur’an juga dapat dibedah melalui sudut pandang disiplin ilmu apapun, dan Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang paling banyak dihafal oleh manusia selama bumi ini diciptakan.
Ketiga adalah mukjizat yang tidak terjadi pada masa Rasulullah, melainkan ia telah terjadi di masa lampau. Maksudnya, mukjizat tersebut berkenaan tentang pemberitaan Rasulullah mengenai perihal umat-umat terdahulu secara detail dan tepat, sehingga orang yang mendengarkannya seolah menyaksikan kejadian tersebut dengan mata-kepala mereka.
Disebabkan oleh hal itu pula, akhirnya banyak rahib, pendeta, maupun rabi yahudi dan nasrani yang langsung beriman kepada Rasulullah karena beliau mampu menceritakan kisah Nabi Musa dan Nabi Isa –’alaihimassalam– persis sebagaimana yang mereka dapatkan dalam Taurat dan Injil. Rasulullah dapat menceritakan kejadian mulai dari penciptaan Nabi Adam, perahu Nabi Nuh, perihal kaum ‘Ad, Tsamud, Namrudz dan Fir’aun semuanya dengan “tajam dan terpercaya”.
Dan keempat adalah mukjizat yang berhubungan dengan masa depan. Dimana Rasulullah dapat memberitahukan tentang kejadian yang belum terjadi pada saat itu. Sebagaimana beliau mengungkapakan bahwa suatu saat bangsa Romawi –yang kala itu ditaklukkan oleh Persia– akan berbalik mengalahkan Persia dan memenangkan peperangan dalam tempo tidak lebih dari 9 tahun, kemudian hal itu pun benar terjadi dan terekam jelas dalam surat “ar-Ruum” yang dengan kabar itu pula menegaskan bahwa segala yang dikatakan oleh Rasulullah adalah benar adanya.
Tetapi masih banyak hal yang diungkapkan Rasulullah pada masa kerasulan beliau yang menceritakan hal-ihwal umat manusia pada masa yang akan datang dan sebagiannya telah terwujud namun banyak pula yang belum terjadi. Di antara yang telah terwujud adalah berita tentang tanda-tanda kedatangan kiamat. Seperti banyaknya seorang anak yang berbuat durhaka kepada orang tuanya.
Tentu saja tanda tersebut sangat mudah ditemukan saat ini, karena tidak sulit untuk mencari sosok “Malin Kundang” di zaman sekarang, dimana seorang anak tidak lagi patuh kepada orang tuanya dan memperlakukan mereka seperti budaknya. Bahkan tak jarang seorang anak tega membunuh orang tuanya sendiri. Ini adalah salah satu tanda “kecil” dari kiamat yang telah diberitakan Rasulullah 14 abad silam dan telah terbukti saat ini.
Sedangkan tanda-tanda kiamat yang belum terwujud hingga sekarang adalah seluruh tanda “besar” yang menandakan bahwa kiamat telah sangat dekat, seperti kemunculan ya’juj-ma’juj dan dajjal. Sebagaimana tercatat dalam kitab-kitab hadits, bahwa Rasulullah telah mewanti-wanti akan kemunculan dajjal di akhir zaman kelak. Beliau sangat detail dalam mengungkap identitas dajjal beserta ciri-ciri fisiknya, apa pekerjaan dan tujuannya, serta berapa lama dia berada di bumi.
Salah satu ciri fisik yang paling menonjol dalam diri dajjal adalah matanya yang buta sebelah (a’war) dan di jidatnya terdapat tulisan “ka-fa-ra” yang dapat dibaca oleh semua orang mukmin sekalipun yang buta huruf. Pekerjaan dajjal adalah menebar kebohongan dan fitnah (ujian) yang merupakan fitnah paling besar selama bumi diciptakan. Tujuannya adalah “menuhankan” diri, serta mencari “hamba” sebanyak-banyaknya untuk menemaninya di neraka akhirat yang kekal selamanya.
Sedangkan masa keberadaan dajjal di dunia ini adalah 40 hari lamanya. Dimana terdapat satu hari yang lamanya seperti satu tahun, dan terdapat satu hari yang lamanya seperti satu bulan, kemudian satu hari yang lamanya seperti satu minggu, dan hari-hari lainnya (37 hari) seperti hari-hari normal biasanya (24 jam). Dengan demikian akan terjadi sebuah “keajaiban” pada masa itu karena teori peredaran bumi yang berotasi pada porosnya sekali setiap 24 jam tidak akan berlaku.
Perihal keberadaan dajjal selama 40 hari di bumi dengan disertai munculnya “kemacetan” tata-surya tersebut, semuanya telah dikabarkan Rasulullah dalam hadits beliau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahih-nya melalui riwayat Nawwas ibnu Sam’an.
Hadits yang cukup panjang tersebut secara sistem transmisi periwayatan (sanad) tidak terdapat “gangguan” teknis alias clear, oleh karenanya hadits ini mendapatkan rating sebagai hadits shahih yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Bahkan Imam Syafi’i sempat berkata, “Jika sebuah hadits mencapai derajat shahih, maka itulah madzhabku.” Salah satu penggalan dari hadits tersebut adalah:
…قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا لَبْثُهُ فِى الأَرْضِ ؟ قَالَ « أَرْبَعُونَ يَوْمًا يَوْمٌ كَسَنَةٍ وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ وَسَائِرُ أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ ».
Kita (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, berapa lamakah ia (dajjal) berada di bumi?” Rasulullah menjawab, “Empat puluh hari, sehari seperti setahun, dan sehari seperti sebulan, lalu sehari seperti sepekan, kemudian sisanya seperti hari-hari kalian pada biasanya”
قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَذَلِكَ الْيَوْمُ الَّذِى كَسَنَةٍ أَتَكْفِينَا فِيهِ صَلاَةُ يَوْمٍ ؟ قَالَ « لاَ اقْدُرُوا لَهُ قَدْرَهُ »…
Kita (para sahabat) bertanya kembali, “Wahai Rasulullah, apakah pada hari yang lamanya seperti satu tahun itu cukup bagi kita mengerjakan shalat –lima waktu– sekali saja?” Rasulullah kemudian menjawab, “Tidak, akan tetapi tentukanlah waktu seperti biasanya (dan dirikanlah shalat sesuai ketentuan waktu tersebut)”.
Jadi apa yang kita bicarakan mengenai keberadaan dajjal di bumi selama 40 hari tersebut bukanlah rekaan atau mitos belaka. Melainkan sebuah realita yang akan terjadi kelak. Karena hal tersebut telah dikabarkan langsung oleh Rasulullah, dan segala yang beliau kabarkan adalah wahyu dari Yang Maha Mengetahui.
Para sahabat ketika Rasulullah mengabarkan tentang berita kedatangan dajjal ini mereka tidak pernah bertanya tentang bagaimana bumi tidak beredar selama satu tahun, atau bagaimana rotasi bumi mengalami “slow motion” sedemikian rupa. Para sahabat dengan tingkat keimanan mereka yang tinggi tidak pernah menemui kesulitan dalam “mencerna” setiap permasalahan gaib yang diceritakan Rasulullah seperti ini.
Mereka tidak pernah mengingkari bahwa Rasulullah dapat melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis lalu ke Sidratul Muntaha dalam semalam saja ketika Isra’-Mi’raj. Mereka juga bukan seperti Bani Israil yang enggan menyembah Tuhannya Nabi Musa sebelum mereka melihat-Nya dengan kasat mata.
Oleh sebab itu, para sahabat tidak menanyakan tentang hal-hal remeh yang terlalu kecil untuk dapat terjadi atas kehendak Allah seperti “kemacetan” tata-surya pada masa dajjal itu. Yang mereka tanyakan justru tentang amalan ibadah yang mungkin akan terganggu jika bumi tidak bergerak secara normal sekian lamanya.
Mereka lalu bertanya kepada Rasulullah, “Apakah pada hari yang lamanya seperti satu tahun itu cukup bagi kita mengerjakan shalat –lima waktu– sekali saja?” Rasulullah kemudian menjawab, “Tidak, akan tetapi tentukanlah waktu seperti biasanya (dan dirikanlah shalat sesuai ketentuan waktu tersebut)”.
“Kemacetan” rotasi bumi pada masa dajjal tersebut tentu menimbulkan problem dalam prosesi ibadah, karena kita ketahui bahwa shalat lima waktu memiliki ketergantungan kepada perputaran bumi dan peredarannya terhadap matahari, dimana shalat Subuh wajib dilaksanakan ketika fajar, shalat Dzuhur yang wajib didirikan ketika matahari tergelincir dari puncak vertikal, shalat Maghrib yang wajib dikerjakan saat matahari tenggelam. Dan juga shalat Jum’at yang wajib dilaksanakan sekali dalam sepekan.
Belum lagi dengan peribadatan lainnya seperti kapan bulan Dzulhijjah datang sehingga orang dapat melaksanakan ibadah Haji, kapan orang wajib mengeluarkan Zakat yang telah mencapai nishab dan haul, kapan Idul Fitri, Idul Adha dan beragam ibadah lainnya yang susah untuk diterapkan pada masa kedatangan dajjal ini.
Lebih pelik lagi adalah; bagaimana cara kita berpuasa? Misalkan saja dajjal datang pada bulan Ramadhan, dan kebetulan hari itu merupakan hari yang memiliki durasi selama satu tahun, itu artinya hari tersebut akan mengalami waktu siang selama enam bulan dan akan diselimuti malam selama enam bulan juga.
Tentu ini menimbulkan hambatan serius dalam berpuasa, karena puasa adalah menahan lapar-dahaga dan segala sesuatu yang dapat membatalkannya dari Subuh hingga Maghrib. Lalu apakah pada masa itu umat Islam diwajibkan berpuasa dan menahan makan-minum dari pagi hingga petang yang tenggang waktunya adalah enam bulan? Jangankan menahan makan-minum selama enam bulan, untuk menahan selama 14 jam saja masih banyak yang tidak kuat. Apa lah puasa selama setengah tahun, untuk puasa sehari saja masih banyak yang bolong-bolong.
Untungnya para sahabat dahulu telah mempertanyakan hal tersebut, sehingga Rasulullah dapat memberikan solusinya dan jawaban Rasulullah inilah yang dijadikan landasan syariat tentang bagaimana tata-cara umat Islam melaksanakan Shalat, Zakat, Puasa dan Haji pada saat “kemacetan” tata-surya tersebut terjadi di masa dajjal nanti.
Banyak ulama yang telah menjelaskan hadits di atas dan menerangkan tata-cara ibadah jika perjalanan waktu “tersendat” sedemikian rupa. Salah satunya adalah apa yang diterangkan Ibnu Taymiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya (kompilasi fatwa Ibnu Taymiyah) bahwa, “(Ibadah pada masa itu) tidak lagi menggunakan patokan waktu yang berdasar akan terbitnya matahari maupun tenggelamnya…” Karena pada masa itu peredaran matahari tidaklah normal sebagaimana hari-hari biasanya.
Fatwa Ibnu Taymiyah ini kemudian diperjelas oleh syaikh Abdullah ibn Baz dalam fatwanya yang menegaskan bahwa; “Satu hari yang memiliki masa satu tahun tersebut tidak dihitung sebagai satu hari, dengan demikian tidak cukup mengerjakan shalat lima waktu sekali saja dalam tenggang waktu tersebut. Akan tetapi wajib mengerjakan shalat lima waktu setiap 24 jam sekali dengan cara membagi hari tersebut sesuai patokan jam yang digunakan pada negara masing-masing yang berlaku pada hari-hari biasa…”
Kemudian syaikh Ibn Baz melanjutkan “…demikan halnya wajib –bagi para muslimin– untuk mengerjakan puasa Ramadhan dan menentukan kapan permulaan Ramadhan dan kapan berakhirnya, serta kapan permulaan fajar dan kapan berakhirnya…” Maka dapat dikiaskan juga atas hadits ini tentang ibadah lainnya seperti Zakat dan Haji.
Sehingga wajib mengeluarkan zakat maal ketika sudah mencapai nishab (standar minimum) dan telah berlalu selama haul (setahun). Sama halnya dengan ibadah Haji yang harus ditentukan kapan bulan Dzulhijah yang dengan itu dapat diketahui pula kapan hari Tarwiyah, hari Arafah, Idul Adha dan hari-hari Tasyriq tiba.
Dari sini dapat kita bayangkan, betapa sulitnya tantangan yang akan dihadapi umat Islam pada era dajjal kala itu. Oleh karenanya, saat itu harus ada integrasi antara pemimpin umat dan para ulama untuk bisa membagi waktu menjadi “pecahan” 24 jam. Mereka juga dituntut untuk mempublikasikan hal tersebut kepada segenap umat Islam di seluruh pelosok dunia.
Dengan kata lain, mereka lazim menciptakan sebuah sistem “Kalender Darurat” bersifat temporal yang khusus digunakan pada masa “kemacetan” tata-surya ini terjadi. Tanpa itu, umat Islam akan kebingungan mengenali kapan datangnya Dzuhur maupun Maghrib, karena Dzuhur yang biasanya ditandai dengan waktu siang dan Maghrib yang ditandai oleh terbenamnya matahari, kala itu kedua-duanya akan dilaksanakan pada waktu siang hari atau malam hari tanpa ada pembeda.
Dengan demikian, hadits di atas merupakan rujukan utama untuk umat Islam dalam melaksanakan ritual ibadah di akhir zaman kelak. Pun demikian, untuk mengamalkan hadits shahih ini tidak pula harus menunggu hingga datangnya dajjal nanti, karena hadits tersebut dapat diterapkan juga pada zaman sekarang oleh para penduduk bumi bagian utara maupun selatan yang terkadang matahari tidak muncul sampai beberapa bulan lamanya.
Seperti penduduk Eskimo misalkan, jika terdapat penduduk muslim di sana yang menemui kesulitan dalam beribadah hingga tidak mengetahui kapan bulan Ramadhan tiba, lalu fajar terbit dan terbenam secara tidak normal, maka mereka dapat menggunakan patokan waktu 24 jam ini atau menggunakan waktu yang berlaku di negara terdekat dari wilayah mereka.
Beginilah hebatnya sebuah mukjizat Rasul. Dapat menjelaskan mengenai perkara yang “kira-kira” akan dibutuhkan oleh umat Islam di masa mendatang, mampu menerangkan secara exact tentang perkara gaib yang belum terjadi. Karena seluruh berita yang dikabarkan Rasulullah tentang masa depan bukanlah berdasarkan prophecies (ramalan) yang bersifat prediktif-spekulatif. Sehingga tingkat akurasinya mencapai titik seratus persen dan pasti akan terjadi.
Berbeda halnya dengan para jin yang “mencuri informasi” dari kabar lagit lalu menbocorkannya kepada tukang sihir dan para dukun sehingga menjadikan ramalan mereka sering kali tidak benar. Toh walaupun benar, itu hanyalah kebetulan saja.
Allah telah menegaskan bahwa bangsa Jin tidaklah mengetahui tentang perkara gaib sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an, “Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan.” (QS. Saba’ [34]: 14).
Namun kini terkadang manusia bukan hanya percaya kepada jin maupun dukun saja. Melainkan percaya juga kepada Paul si Gurita yang jelas-jelas makhluk tak berakal itu. Sungguh ini merupakan dekadensi iman yang telah menghujam jauh ke titik nadir. Bagaimana mungkin seorang manusia sempurna yang diberi nalar sehat meyakini terjadinya masa depan dari seekor “cumi-cumi?”.
Lantas apa bedanya antara menyembah seekor lembu dengan mempercayai berita masa depan dari seekor gurita? Keduanya sama-sama memiliki unsur “menggantungkan diri” terhadap makhluk tak berakal yang terlalu sulit untuk diterima akal.
Jika ini tetap dipertahankan, bagaimana mungkin kita dapat menghadapi fitnah dajjal yang –dengan istidraj– dapat “menghidupkan” dan “mematikan”? Bagaimana kita dapat memungkiri “ketuhanan” dajjal yang palsu itu? Bagaimana kita dapat mengelak dari tawaran dajjal yang mampu memberikan surga dunia, sedangkan tawaran sekardus mie instant dari seorang misionaris saja kita terima meskipun harus menjual akidah?
Bagaimana mungkin kita akan menolak tipu-muslihat si “mata satu” itu jika tawaran sepeser dolar dari kaum orientalis saja kita santap meskipun harus menukar agama dengan nilai-nilai liberal?
Layaknya kita perlu “mencontek” para sahabat Nabi yang tidak terlalu care dengan permasalahan sepele yang kurang berbobot. Mereka hanya peduli tentang bagaimana cara meningkatkan ibadah, bagaimana memaksimalkan puasa dan mengoptimalkan bulan Ramadhan. Mereka tahu bahwa agama itu bukan hanya dilandaskan kepercayaan saja, melainkan amal perbuatan riil yang juga diperankan oleh segenap raga. Wallahu a’lam.
Musa Yusuf al-Amien
Mahasiswa Post-Licence Universitas Al-Azhar Cairo
YM & FB : [email protected]