Tokyo, 18 Ramadhan 1432H. Malam ini kami sholat taraweh di rumah setelah sore tadi Haidar bilang malas untuk pergi ke mana-mana dan meminta buka puasa di rumah saja. Sebenarnya sore ini kami berencana melanjutkan “safari masjid” ke Yoyogi Uehara. Di sana ada masjid Tokyo yang berdiri megah dan indah, mungkin inilah mesjid yang paling besar di Tokyo ini.
Masjid ini didirikan dan dikelola oleh kedutaan besar Turkey di Tokyo, sebagai bagian dari alat promosi budaya mereka. Turkey menyadari betul sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, masjid menjadi salah satu symbol budaya turkey. Tidak sedikit orang Jepang yang awalnya hanya datang untuk melihat-lihat keindahan masjid ini menjadi ingin tahu lebih jauh tentang Islam dan kebudayaan Islam. Dan hampir setiap bulan selalu saja ada orang Jepang yang masuk Islam di masjid ini.
Indonesia sebenarnya juga merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim. Tapi negara dan pemimpin negara tidak memiliki kepercayaan diri untuk menjadikan budaya Islam yang kaya menjadi salah satu symbol budaya nasional. Kita memiliki banyak sekali masjid yang indah, bahkan masjid Baiturrahman di Aceh termasuk dalam satu dari 11 masjid terindah di dunia.
Jika bicara budaya dan pariwisata, Bali dan berbagai candi seperti menjadi satu-satunya andalan bagi negara kita. Kita bisa melihat hal ini dari media-media promosi yang dihadirkan oleh kementerian pariwisata kita. Karena Budaya Indonesia di”kecil”kan hanya sebatas Bali, maka tidak heran jika setiap tahun kita hanya mampu mendatangkan 6 juta turis mancanegara, sementara Malaysia yang kecil mampu mendatangkan 22 juta turis mancanegara setiap tahunnya.
Hari ini media-media di Indonesia masih ramai bicara tentang kemerdekaan dan nasionalisme. Beberapa pejabat mengeluhkan nasionalisme bangsa di kalangan rakyat yang katanya semakin memudar, rakyat dan para pemuda dianggap mulai melupakan nasionalisme. Hal ini menjadi lucu. Nasionalisme seperti apa yang diinginkan kalau pemerintah menutup mata dari realitas rakyatnya.
Contoh sederhana, Islam sebagai komunitas terbesar bangsa Indonesia yang memiliki kontribusi besar dalam pembangunan budaya bangsa, dianggap tidak layak merepresentasikan kebudayaan Indonesia di dunia internasional. Datanglah ke bandara-bandara internasional yang disitu ada counter Garuda, kita hanya akan bertemu dengan pajangan-pajangan candi di sana.
Para pejabat merasa rakyat kehilangan nasionalisme, kehilangan kecintaan pada bangsa dan negara. Hilangnya nasionalisme ini bahkan dianggap oleh Panglima TNI sebagai ancaman yang lebih besar dibanding ancaman dari luar. Pertanyaannya se-nasionalis apakah para pemimpin kita? Ketika rakyat kesulitan mendapat pangan murah, mereka hidup mewah, inikah pemimpin yang nasionalis? Ketika rakyat kesulitan bergerak, kesulitan menikmati keindahan tanah-tanah Indonesia di berbagai wilayah karena sulitnya transportasi, pemimpin dengan seenaknya mempertontonkan kendaraan mewah mereka.
Inikah pemimpin kita yang nasionalis? Ketika rakyat berusaha berdikari, memenuhi pasar dalam negeri dengan produk sendiri, menteri perdagangan asyik membuka lebar keran import, inikah menteri kita yang nasionalis? Ketika anak bangsa berusaha memproduksi senjata, TNI kita malah memilih membelinya dari luar, inikah tentara kita yang nasionalis? Ketika PTDI berusaha memproduksi pesawat dalam negeri, Merpati malah membelinya dari China, inikah BUMN kita yang nasionalis?
Sejak orde baru hingga hari ini bangsa ini belum pernah memiliki pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Kita belum memiliki pemimpin yang lahir, tumbuh, berkembang dan hidup bersama rakyat. Sehingga wajar jika mereka tidak mengerti denyut aspirasi dan derita rakyatnya. Mereka seringkali hanya menjadikan rakyat sebatas objek politik yang akan diambil legitimasinya lima tahun sekali untuk bisa merebut kuasa. Mungkin ada pemimpin-pemimpin yang lahir dari rakyat, tapi begitu mereka menjadi pejabat, dalam sekejap mereka berjarak dengan rakyat. Perilaku, kebiasaan dan budaya mereka tiba-tiba berubah dan menjadi asing di mata rakyatnya sendiri.
Dalam situasi yang seperti ini masih layakkah para pemimpin itu menuntut nasionalisme dari rakyatnya? Marilah kita bicara dengan bahasa yang sederhana yang mudah dicerna. Nasionalisme kita tidak lain adalah ekspresi kecintaan kita pada bangsa dan tanah air yang telah setiap merawat dan membesarkan kita. Karena cinta syarat dengan pengorbanan, maka rasa cinta pada tanah air haruslah bermakna kesungguhan dan keikhlasan untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa.
Kecintaan seorang wakil rakyat pada rakyat yang diwakilinya dapat dilakukan dengan menjadikan dirinya sebagai cermin yang jujur dari kondisi rakyatnya. Dalam hal ini, di sebuah daerah yang mayoritas rakyatnya masih miskin, sangat tidak pantas ada wakil rakyat yang hidup mewah. Wakil rakyat yang semacam ini sama sekali bukan cermin jujur dari gambaran rakyat yang diwakilinya.
Di suatu negara yang masih terbelit hutang, sangat tidak masuk akal jika ada pemimpin yang membuang uang ratusan juta rupiah hanya untuk menyusun sebuah naskah pidato. Di negara yang masih bergelut dengan kemiskinan, sangat tidak layak ada pemimpin yang menghabiskan dana milyaran hanya untuk baju dinasnya.
Nasionalisme kita bukan sekedar kata-kata. Pemimpin harus menjadi orang yang berada di garis depan dalam menunjukkan sikap nasionalime mereka, dengan perilaku dan tindak nyata yang mencerminkan aspirasi rakyatnya. Nasionalisme kita harus kita tunjukkan dengan banyaknya karya bagi bangsa, bukan banyaknya kata untuk membangun citra, seperti kata pepatah jawa "Sepi ing Pamrih, Rame ing Gawe", kita butuh pemimpin yang banyak bekerja bukan sekedar banyak bintang jasa.
Mukhamad Najib, Mahasiswa S3 Universitas Tokyo