Iedulfitri kemarin adalah untuk yang kedua kalinya saya rayakan di Tokyo, jauh dari keramaian lebaran yang biasa kita rasakan di tanah air, jauh dari simbolisasi ketupat sebagai pelengkap lebaran, dan yang paling menyedihkan adalah jauh dari orang tua yang biasa kita bersimpuh dikakinya untuk memohon pengampunan. Meski ditemani oleh keluarga dan merayakan bersama warga Indonesia di Tokyo, tetap saja ada yang terasa berbeda.
Berkumpul dengan keluarga buat banyak orang adalah sumber kebahagiaan. Pepatah jawa yang mengatakan “makan tidak makan yang penting kumpul” menemukan relevansinya. Karena dalam kebersamaan lahir kehangatan, yang dengannya kita mampu melalui hari-hari penuh kebahagiaan. Terkadang kita merasakan kurangnya makanan seringkali tidak menjadi soal dalam kebersamaan.
Kebahagiaan seringkali menjadi suatu hal yang sangat mahal, bahkan banyak orang yang rela membayar dengan apapun untuk memperolehnya. Di Jepang kebahagiaan menjadi isu yang ingin diperjuangkan secara kolektif. Pada pemilu lalu, salah satu partai peserta pemilu di Jepang adalah The Happiness Realization Party. Dalam platformnya dikatakan bahwa tujuan utama dari partai ini adalah menciptakan kebahagiaan bagi semua.
Kalau kita di Indonesia masih berjuang dalam isu-isu keadilan dan kesejahteraan, orang-orang di Jepang sudah tidak terlalu mempersoalkan lagi keduanya. Karena memang penduduknya telah hidup dalam tingkat keberlimpahan materi yang tinggi dan pemerintahnya telah mampu mendistribusikan keadilan dengan baik. Tapi apakah keberlimpahan materi membuat masyarakat Jepang bahagia? Ternyata belum.
Masyarakat Indonesia yang masih berjuang mencapai kesejahteraan dan masyarakat Jepang yang telah mencapai kesejahteraan sebenarnya memiliki persoalan yang sama. Yakni sama-sama berusaha mencapai kebahagiaan. Namun penentu kebahagian yang mungkin berbeda diantara keduanya. Kalau masyarakat Indonesia berfikir bahwa mereka akan menemukan kata bahagia ketika bertemu dengan kesejahteraan, maka kebahagiaan yang dicari masyarakat Jepang justru terletak pada apa-apa yang sesungguhnya sudah lama kita miliki, yakni kebersamaan, kehangatan dalam keluarga dan kebermaknaan dalam kehidupan.
Sejak umur satu tahun, anak-anak di Tokyo umumnya sudah masuk ke Tempat Penitipan Anak, karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Masuk remaja mereka umumnya tinggal di apartemen yang terpisah sampai mereka kuliah. Sementara saat menginjak usia tua, giliran anaknya yang mengirim mereka ke panti-panti lanjut usia. Kebersamaan antar manusia di Jepang menjadi suatu yang mahal. Maka jangan heran jika dimana-mana kita melihat orang Jepang lebih akrab dengan anjingnya. Kemana-mana mereka pergi bersama anjingnya, bermain, berolahraga, makan bahkan tidur bersama anjingnya. Anjing dianggap sebagai mahluk yang paling setia. Bahkan disalah satu stasin dibangun sebuah patung anjing yang konon melambangkan simbol dari sebuah kesetiaan.
Banyak orang Jepang hidup dalam kesendirian dan kesepian, itulah sebabnya mereka suka sekali berpesta. Setiap hari sibuk bekerja, tapi ketika datang hari Jumat atau hari-hari libur lainnya, mereka berkumpul di tempat-tempat judi dan bar untuk sekedar melepas kepenatan dan kejenuhan. Dalam kesendirian mereka merindukan kebersamaan dan kehangatan, dan yang lebih penting lagi mereka ingin sekali menemukan kebermaknaan. Ketidakmampuan menemukan kebermaknaan seringkali menyebabkan mereka frustasi. Sehingga tidak heran jika Jepang termasuk Negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia.
Kebersamaan, kehangatan dan kebermaknaan dalam hidup sesungguhnya sesuatu yang sangat berharga yang kita punya. Oleh karenanya kita perlu menjaga dan merawatnya, karena ternyata disanalah letaknya kebahagiaan setelah kepemilikan atas materi terlampaui. Sayangnya banyak saudara maupun sahabat-sahabat kita yang justru lebih suka mengabaikan kebersamaan ini. Banyak orang yang gelap mata ketika bertemu dengan harta, sehingga ada yang berkata “duit tidak kenal saudara”.
Dalam kehidupan sosial dan politik kita yang begitu penuh intrik dan persaingan, kebersamaan dan kehangatan seringkali hanya menjadi sebuah seremoni yang tak bermakna. Meski masing-masing saling tersenyum satu sama lain, namun dibelakang telah siap dengan strategi untuk saling menikam dan menyingkirkan. Anehnya hal ini makin hari makin dianggap biasa dan wajar. Mereka seolah dapat tersenyum bahagia setelah mengalahkan yang lainnya. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah mereka sekedar mengumpulkan kebahagiaan semu, karena hati dan fikiran mereka tidak pernah tenang dari kemungkinan serangan balasan dari orang-orang yang telah dikalahkannya.
Masyarakat Jepang sudah membuktikan bahwa harta dan kuasa sama sekali bukanlah sumber bahagia. Oleh karenanya, mengapa kita harus membunuh kebersamaan, kehangatan dan kebermaknaan hanya untuk sesuatu yang menjauhkan kita dari kebahagiaan yang sejati. Haruskah kita melalui jalan yang dilalui oleh orang Jepang dulu untuk bisa memahami hakikat harta dan kuasa? Haruskah kita mengalami kehampaan, kekosongan dan kesendirian terlebih dulu sebagaimana yang dialami orang Jepang untuk bisa percaya bahwa kebersamaan, kehangatan dan kebermaknaan adalah sesuatu yang mahal?
Rosulullah mengatakan “hikmah adalah milik kaum muslimin yang hilang, maka ambillah dimana saja kamu menemukannya”. Tentu kita bisa mengambil hikmah dari apa yang tengah dialami masyarakat Jepang dengan keberlimpahan yang dimiliki saat ini. Kita tidak perlu harus jatuh dilubang yang sama dengan yang dialami oleh masyarakat Jepang untuk bisa meraih kebahagiaan yang sejati. Oleh karenanya jangan sampai kita salah membangun obsesi, jangan sampai kita salah menentukan sumber-sumber kebahagiaan jika tidak ingin sesal datang di kemudian. Wallahu’alam.