Kemarin saya mengikuti field trip bersama beberapa mahasiswa internasional lainnya ke perkebunan strawberry di Chiba. Sebelumnya kami mengunjungi situs-situs bersejarah, salah satunya patung Budha terbesar di Jepang yang tengah duduk bersandar di tebing tinggi.
Saya tidak terlalu tertarik dengan situs-situs tua itu, karena di Indonesia kita memiliki yang lebih dahsyat seperti Borobudur, Prambanan dan lain-lain. Di bis kami berbincang dengan Professor Kobayasi yang sering ke Indonesia. Dia menyampaikan banyak hal termasuk soal minyak dimana Indonesia yang kaya akan minyak namun tetap harus bergantung pada impor karena tidak mampu melakukan penyulingan sampai minyak jadi.
Tentu pembicaraan tentang minyak juga kurang menarik, selain kita semua sudah tahu mengenai banyaknya kebijakan “aneh” seputar pengolalaan kekayaan tambang dan energi kita, kita juga tidak bisa berbuat banyak untuk melawan hegemoni perusahaan tambang dunia yang telah berkolaborasi dengan pemerintah. Kenyataannya sampai hari ini belum tersedia pemimpim yang berani menggugat ketidakadilan perusahaan-perusahaan tambang dunia demi kesejahteraan rakyat.
Mungkin masih terlalu jauh untuk bermimpi memiliki pemimpin seperti Hugo Chaves atau Evamorales yang berhasil mengembalikan kekayaan tambangnya untuk rakyat.
Satu topik yang menurut saya menarik saat ngobrol dengan Kobayasi adalah tentang perbedaan perilaku antar generasi. Dia menceritakan adanya keinginan dari sebagian masyarakat Jepang untuk kembali pada nilai-nilai dan budaya Jepang yang asli.
Orang-orang tua di Jepang merasa generasi baru telah banyak meninggalkan system nilai dan budaya yang dulu selalu dijaga oleh para leluhur.
Sebenarnya situasi seperti ini terjadi dimana-mana, dari level keluarga, organisasi sampai negara. Generasi pertama, generasi perintis atau generasi pendiri umumnya memiliki spirit yang tinggi, memiliki nilai-nilai perjuangan, nilai-nilai kedisiplinan yang dipegang dengan penuh komitmen. Jika proses alih generasi berlangsung baik, nilai-nilai ini akan terwariskan pada generasi kedua, generasi pembangun atau generasi penjaga keberlanjutan.
Namun ketika sudah mencapai puncak keberhasilan, akan muncul generasi baru, generasi penikmat, generasi yang sebenarnya diharapkan menjadi generasi yang mampu “melanggengkan” masa kejayaan. Namun generasi ini seringkali terlena oleh kejayaan dan kenikmatan sehingga lebih bersikap hedonis dan konsumtif.
Generasi penikmat ini seringkali menjadi titik balik dari hancurnya kejayaan, karena umumnya mereka tidak berkreasi apalagi berproduksi, mereka lebih senang mengkonsumsi dan menikmati segala hal yang telah diwarisi.
Kita lihat orang-orang tua di sekitar kita yang perantau. Jika mereka generasi pertama yang datang ke kota, biasanya mereka memiliki daya survival yang tinggi, memiliki daya juang dan kedisiplinan yang tinggi, memiliki spirit produktif yang tinggi, karena mereka adalah generasi perintis, generasi “babat hutan” yang tertantang untuk membuktikan keberhasilan.
Jika mereka mampu menuntaskan siklusnya sampai fase “kejayaan”, sampai fase kemakmuran, maka lihatlah generasi berikutnya, lihatlah anak-anak mereka atau cucu mereka. Umumnya semua karekteristik yang melekat pada fase perintis tidak terlihat lagi pada generasi baru, yang muncul seringkali karakter-karakter baru yang konsumtif, hedonis dan kurang memiliki daya juang.
Di jepang, lahirnya generasi baru yang konsumtif, hedonis dan kurang memiliki daya juang kini menjadi kegelisahan orang-orang tua. Mereka sadar betul kondisi ini akan berbahaya bagi masa depan bangsa Jepang jika tidak segera direspon dengan baik.
Oleh karena itulah muncul kelompok-kelompok yang ingin mengembalikan generasi baru pada nilai-nilai lama, nilai-nilai yang telah membawa bangsa Jepang menjadi bangsa yang berjaya di dunia.
Persoalannya adalah realitas dunia yang berubah seringkali menjadi alasan untuk mengatakan nilai-nilai lama tidak lagi relevan dan keinginan mengembalikannya dianggap sebagai sebuah kemustahilan. Hal ini juga terjadi di Indonesia dimana orang-orang tua sering gelisah dan khawatir menyaksikan perkembangan generasi baru yang dianggap semakin “tidak karuan”.
Ada pergaulan bebas, malas dan tidak mau bekerja keras, suka jalan pintas, tidak ada penghormatan pada orang tua, sangat konsumtif dan hedonis, dan masih banyak lagi gelar yang dinisbatkan pada generasi baru yang sedang tumbuh. Jika kekhawatiran orang-orang tua di Indonesia itu merupakan kenyataan, tentu kita patut berduka.
Kalau generasi baru Jepang dianggap mengkhawatirkan setelah Jepang mencapai kejayaan, di Indonesia, belum lagi sampai pada masa kejayaan, generasi baru sudah mengkhawatirkan.
Dalam konteks keorganisasian, baik organisasi sosial, politik maupun bisnis, kita juga sering melihat fenomena yang tidak jauh berbeda. Generasi penikmat datang dengan budaya baru yang seringkali bertolak belakang dengan budaya lama yang dibangun oleh generasi pertama.
Kesederhanaan, keseriusan, kedisiplinan yang seringkali melekat pada generasi awal dari sebuah organisasi, seringkali lenyap ketika organisasi mulai tumbuh besar. Generasi baru datang menduduki pusat-pusat kepemimpinan dengan mendistribusikan budaya baru yang lebih “high cost” dengan menghadirkan pribadi-pribadi yang obsesif.
Kalau pada generasi awal organisasi berdiri, masing-masing orang sangat menghormati orang lain dan memberi kesempatan pada yang lebih baik untuk menduduki posisi kepemimpinan, maka pada generasi baru, posisi kepemimpinan seringkali menjadi bahan rebutan.
Pada generasi awal, kepemimpinan adalah komitmen dalam pengorbanan dan pelayanan, sementara pada generasi baru, kepemimpinan adalah kehormatan, kejayaan dan kekayaan.
Pada generasi awal, roda organisasi bertumpu pada efisiensi dan efektifitas, sementara pada generasi baru, organisasi bertumpu pada “kenyamanan” dan “kepantasan” yang diukur berdasarkan norma publik yang telah terpolusi oleh budaya materialistik.
Banyak contoh dimana “family business” juga organisasi yang tumbuh menguat dengan mengakomodasi “klan” gagal melakukan alih genarasi dengan baik ketika masalah perbedaan budaya ini tidak dapat diselesaikan dan dianggap angin lalu yang tak perlu dihiraukan.
Yang terjadi adalah konflik budaya yang bisa mengarah pada perpecahan yang menyebabkan sebagian elemen yang menopang kekuatan organisasi menyingkir atau disingkirkan.
Untuk mengatasi hal ini, maka sebuah organisasi harus senantiasa kembali pada misi awal pendiriannya. Internalisasi nilai-nilai yang mendukung pencapaian misi harus menjadi pegangan yang tidak boleh dilepaskan dalam setiap transisi antar generasi.
Zaman boleh berganti, manusia boleh berganti, namun selama cita-cita organisasi belum bisa direalisasi, setiap orang dalam organisasi harus menunjukkan kesetiaan dan komitmennya pada misi awal organisasi, serta sistem nilai yang melekat didalamnya tidak boleh berganti.
Dengan komitmen yang tidak berubah pada misi, maka hadirnya generasi penikmat dan potensinya dalam merusakan sistem nilai organisasi bisa diminimalisasi.
Mukhamad Najib, Mahasiswa S3 Universitas Tokyo