Beberapa minggu ini para politisi dan pengamat ramai membicarakan materi-materi iklan politik yang dianggap kurang proporsional. Masing-masing partai politik melakukan klaim atas “keberhasilan” pemerintah, seperti penurunan harga BBM, kenaikan anggaran pendidikan 20%, swasembada beras, dan lain sebagainya. Iklan-iklan tersebut menjadi kontroversi karena dianggap membohongi publik, bahkan ada yang menyebutnya sebagai kejahatan informasi.
Iklan sendiri memiliki tiga fungsi dasar, yakni memberikan informasi, mengingatkan kembali, dan menguatkan preferensi. Atau dengan kata lain sebuah iklan memiliki fungsi agar orang yang tidak tahu menjadi tahu, yang tahu menjadi tertarik, yang tertarik menjadi memilih. Sehingga isi pesan dari sebuah iklan diusahakan sedemikian rupa untuk memenuhi salah satu atau keseluruhan fungsi dasar ini.
Dalam konteks iklan politik, adalah wajar jika masing-masing partai berusaha mengkomunikasikan keberhasilannya dengan tujuan agar pemilih tahu, tertarik dan selanjutnya memilih kembali partai tersebut. Persoalannya adalah partai-partai saat ini miskin akan keberhasilan, sehingga keberhasilan di kabinet yang sejatinya adalah hasil dari kerja kolektif ingin di klaim secara parsial.
Seandainya masing-masing partai memiliki keberhasilan-keberhasilan lain tentu akan lebih banyak fakta keberhasilan yang bisa diinformasikan kepada masyarakat lewat iklan yang lebih dari sekedar klaim. Misalnya bagaimana kinerja anggota dewan yang mereka miliki baik di pusat maupun daerah, bagaimana kinerja kepala daerah yang berasal dari partainya, atau bagaimana partai sendiri secara langsung telah menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Jika mereka memiliki keberhasilan-keberhasilan tersebut tentu rakyat akan lebih bersemangat memilih partai.
Klaim-klaim politik dalam iklan sebenarnya juga menunjukkan bahwa dunia politik kita saat ini tengah defisit negarawan. Salah satu ciri negarawan adalah ketika dia gagal dalam kepemimpinannya dia akan mengatakan “ini adalah kegagalan saya, dan saya mohon maaf kepada rakyat karena tidak mampu menjalankan amanah sesuai dengan yang dijanjikan saat kampanye”. Sebaliknya ketika dia berhasil dalam kepemimpinanannya dia akan mengatakan “ini adalah keberhasilan seluruh rakyat, saya hanya memfasilitasi keberhasilan-keberhasilan ini sesuai dengan apa yang diamanahkan rakyat pada saya”.
Pemerintahan yang berhasil adalah hal yang wajar, karena memang rakyat mengamanahkan mereka bukan untuk gagal. Sementara pemerintahan yang gagal itulah yang tidak wajar, karena rakyat memberikan amanah bukan hanya dengan suaranya, tapi juga dananya. Mereka difasilitasi oleh rakyat dengan gaji dan fasilitas yang luar biasa, bahkan mereka menentukan sendiri anggaran yang mereka butuhkan untuk sebuah keberhasilan melalui APBN, sehingga menjadi aneh jika mereka gagal.
Alangkah gembiranya hati rakyat jika mereka bisa menemukan negarawan-negarawan ditengah berbagai kesulitan yang belum terselesaikan, meski hanya dalam iklan.