Mengapa Orang Baik Bertindak Buruk?

Dalam bukunya “Tyranny of the Bottom Line”, Ralph W. Estes menceritakan tentang fenomena banyaknya orang baik yang bertindak buruk. Awalnya Ralph mempertanyakan “Why Good People Do Bad Things”. Kemudian berdasarkan hasil penelitiannya di berbagai perusahaan dia menemukan bahwa tyranny of the bottom line telah menyeret banyak orang baik untuk melakukan hal buruk. Apa saja yang termasuk dalam tyranny of the bottom line ini?

Dalam konteks perusahaan, Ralph menyebutkan tekanan untuk mencari profit yang sebesar-besarnya telah menyebabkan perusahaan kehilangan kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya dalam melindungi konsumen, memberikan produk terbaik yang sesuai dengan kebutuhan konsumen, mengembangkan pekerja-pekerjanya dan membuat mereka sejahtera, serta turut menjaga lingkungannya. Orang-orang baik di perusahaan, orang-orang pintar, orang-orang ahli seakan kehilangan semua kemampuan, kebaikan, kejujuran, dan keahliannya dibawah tekanan pemilik modal yang menginginkan keuntungan sebesar-besarnya. Malah yang terjadi sebaliknya, dimana orang-orang pintar berusaha melegitimasi tindakan-tindakan tidak terpujinya dengan kepintarannya berargumentasi.

Tekanan untuk mencari profit sebesar-besarnya telah menjadi tyranny yang membuat orang pintar tak berdaya dan membuat orang baik bertindak buruk. Tentu kita bisa melihat banyak contoh dimana tyranny ini begitu luar biasa merusak akal sehat manusia. Dokter-dokter di rumah sakit misalnya, tentu mereka faham betul bagaimana seharusnya menangani pasien dengan baik. Nilai-nilai kemanusiaan yang mereka miliki, sumpah profesi yang telah mereka jalani, tentu mendorong mereka untuk berbuat yang terbaik bagi pasien. Namun tekanan pemilik rumah sakit seringkali menyebabkan dokter kehilangan nurani. Ibu hamil tua yang tidak seharusnya disesar malah disesar, pasien miskin sulit dilayani, bahkan mereka yang sekarat dibiarkan tetap merintih sebelum ada orang yang bisa menggaransi bagaimana keuangannya nanti.

Guru-guru faham betul misinya sebagai pendidik. Namun tekanan-tekanan sekolah, maupun tekanan-tekanan ekonomi keluarga telah memaksanya melakukan tindakan-tindakan yang sama sekali berlawanan dengan tugas dan tanggung jawab seorang pendidik. Mereka tahu bahwa memberikan contekan saat ujian adalah tindakan kecurangan yang tidak hanya melanggar hukum, melainkan juga telah merusak semua ajaran kejujuran yang telah ditanamkan sebelumnya. Tapi tyranny bernama reputasi sekolah, tekanan kepala sekolah, ataupun tekanan kepala dinas telah memaksa mereka bertindak melawan nilai-nilai kejujuran yang diajarkannya sendiri.

Para birokrat faham betul mengenai doktrin-doktrin pelayanan terhadap masyarakat. Sumpah jabatan saat mereka diangkat maupun pada setiap kenaikan pangkat sangat jelas menuntut komitmen mereka untuk mengabdi dan mendahulukan kepentingan orang banyak. Namun dorongan untuk mencari kekayaan pribadi lewat jalur birokrasi telah menyebabkan mutu layanan publik berantakan. Ketika datang ke instansi pemerintah, rakyat merasa mereka tidak sedang berhadapan dengan para pelayannya melainkan berhadapan dengan para penghisap yang harus diwaspadai dan disiasati. Kalau tidak ada urusan yang memaksa rasanya mereka lebih memilih untuk tidak kembali. Bahkan jika urusannya bisa dialihkan, rakyat memilih mengalihkan urusannya kepada pihak ketiga untuk berhadapan dengan birokrasi.

Da’i-da’i sangat faham mengenai tugas da’wah mereka dalam mendidik dan mencerahkan ummat, memberikan pegangan hidup berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah secara konsisten dan konsekuen. Namun saat pemilihan presiden kemarin kita menyaksikan tidak sedikit da’i yang mencari-cari alasan keberfihakan yang tidak sesuai dengan tuntunan syar’i hanya semata-mata tekanan kursi dan materi. Ummat dibuat bingung, karena doktrin yang mereka terima selama ini mengarahkan mereka untuk memilih pemimpin yang paling beriman dan bertakwa diantara alternatif yang ada. Tiba-tiba doktrin ini seperti dibatalkan dengan alasan “politik”. Pemimpin yang relatif lebih Islami tidak dipilih, sementara pemimpin yang percaya sihir malah diperjuangkan sampai “mati”. Kita melihat ayat-ayat Qur’an seperti diperjualbelikan dengan harga yang murah sekali. Tyranny of the bottom line bernama kursi dan materi tanpa sadar telah memaksa Da’i yang seharusnya melakukan pencerahan malah melakukan pembodohan terhadap ummat.

Tyranny of the bottom line sesungguhnya bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan pada siapa saja. Tyranny ini muncul akibat manusia terjebak pada kepentingan-kepentingan jangka pendeknya. Mungkin banyak juga diantara kita yang rela mengorbankan masa depannya hanya untuk kepentingan sesaatnya, baik disadari maupun tidak. Situasi langka pilihan, keadaan mendesak, maupun keinginan cepat sukses seringkali mendorong kita memilih untuk menuntaskan semuanya hari ini, sehingga seakan-akan hari depan telah mati. Karena berlomba memenuhi kepentingan hari ini, banyak orang yang tidak peduli dengan prinsip, nilai, akal sehat, maupun hati nurani.

Tentu kita masih ingat bagaimana dulu mantan presiden Suharto berusaha mengembangkan lahan sejuta hektar diatas lahan gambut di Kalimantan. Saat itu banyak ahli-ahli tanah dan ahli-ahli pertanian yang menilai proyek tersebut sama sekali tidak feasible untuk dikerjakan. Namun proyek itu tetap berjalan, karena tidak sedikit ahli-ahli lain yang melegitimasi proyek ini. Akhirnya bangsa ini menyaksikan proyek lahan sejuta hektar hanya menjadi cerita yang menguras banyak biaya tanpa menghasilkan apa-apa. Tyranny of the bottom line telah memaksa para ahli bertindak buruk dengan menggunakan otoritas keahliannya untuk melegitimasi sebuah obsesi. Kejadian-kejadian seperti ini tentu masih terjadi sampai hari ini.

Islam sesungguhnya mengajarkan kita untuk menyeimbangkan antara pemenuhan kepentingan jangka pendek dengan pemenuhan kepentingan jangka panjang. Dalam Al Qur’an Allah swt mengatakan “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu berupa kebahagiaan akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al Qashsash : 77).

Pada ayat diatas jelas Allah swt menganjurkan kepada kita untuk mengejar kepentingan jangka panjang, namun tidak boleh melupakan kepentingan jangka pendek. Kita harus mengejar masa depan tanpa harus melupakan hari ini. Kita tetap harus berusaha memenuhi kepentingan-kepentingan jangka pendek sebagai syarat memenuhi kepentingan jangka panjang. Namun tidak berarti kita harus terjebak pada kepentingan jangka pendek dan melupakan kepentingan jangka panjang. Allah swt mengatakan “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS. an-Nazi’at: 37-41).

Mudah-mudahan kita tidak terjebak dalam tyranny yang menyebabkan orang baik bertindak buruk ini. Mudah-mudahan kita bisa menjadi manusia yang selalu memilih kepentingan masa depan tanpa melupakan kepentingan-kepentingan hari ini. Amin.

[email protected]