“Ganyang Mafia!”, begitu nama kotak pos yang baru diperkenalkan presiden sebagai bagian dari agenda prioritas program kerja 100 hari. Dengan sigap dan penuh semangat kepolisianpun menyambut program ini dan siap berpartisipasi penuh dalam mensukseskan “Ganyang Mafia!”.
Tentu masyarakat sangat senang dengan pencanangan “Ganyang Mafia” ini. Hal itu berarti presiden, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, betul-betul menyadari bahwa persoalan hukum memang menjadi hal penting yang harus diprioritaskan. Karena hal ini menyangkut persoalan keadilan, persoalan yang sangat sulit ditemukan masyarakat Indonesia sampai hari ini.
Persoalan ini tentu sangat berat, karena masyarakat saat ini sudah sampai pada tingkat kepercayaan yang terendah pada aparat penegak hukum. Terbukanya kolaborasi pengusaha dengan aparat hukum untuk merekayasa jalannya proses hukum membuat rakyat sedih sekaligus gembira. Rakyat sedih karena apa yang selama ini diisukan mengenai mafia peradilan ternyata bukanlah sekedar cerita tetapi benar-benar nyata.
Rakyat gembira karena dengan terbukanya kasus ini, rakyat berharap akan adanya tidakan tegas dari kepala negara untuk memberantas para mafia.
Sebenarnya kolaborasi pengusaha bermental bejat dengan aparat penegak hukum di Indonesia bukan cerita baru. Ia sudah terjadi secara turun temurun seperti budaya yang terwariskan dan terlestarikan dengan baik. Namun selama ini sulit sekali dibongkar karena masing-masing yang terkait selalu berusaha untuk saling menutupi.
Lihat saja pernyataan Kapolri yang habis-habisan membela diri, sementara Kajagung lebih jujur ketika mengatakan “sulit memberantas makelar kasus dengan anggaran hanya Rp 2 triliun”. Kajagung secara jujur mengakui bahwa praktek mafia itu ada, namun ia tak berdaya.
Pada zaman orde baru, keadilan sosial bagi rakyat Indonesia hanyalah mantra yang tidak pernah ada wujudnya. Begitu juga dengan kemanusiaan yang adil dan beradab sangat sulit ditemukan rakyat. Hal ini tidak lain karena kolaborasi aparat dengan pengusaha bejat begitu erat, sehingga kasus-kasus seperti pembunuhan buruh Marsinah ataupun wartawan Udin tidak bisa diungkap sampai sekarang.
Kolaborasi pengusaha dan aparat bahkan sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka. Ann Laura Stoler, dalam bukunya “Capitalism and Confrontation in Sumatra’s Plantation Belt”, menceritakan bagaimana kolaborasi pengusaha dan pemerintah yang terjadi pada jaman penjajahan.
Sekitar tahun 1929, ketika para pengusaha perkebunan karet kesulitan menghadapi buruh-buruh yang protes karena tidak diperlakukan manusiawi, mereka berkolaborasi untuk mengatasi hal ini dengan pemerintah. Pemerintah membuat undang-undang yang menyulitkan buruh untuk protes.
Pasal-pasal karet seperti tuduhan subversif dengan mudah digunakan untuk menahan dan menghukum setiap buruh yang melakukan protes. Dan dalam persidangan buruh selalu kalah, karena proses hukum sudah direkayasa sedemikian rupa.
Dalam buku ini diceritakan bagaimana pengusaha perkebunan bersedia menyediakan dana yang besar untuk memperbaiki kantor-kantor pemerintah, memperluas penjara-penjara, membiaya aparat kepolisian dan lain-lain. Pada waktu tertentu kolaraborasi keduanya memang bisa berjalan efektif. Buruh ditekan, dikurangi gajinya, bahkan dipenjarakan tanpa pengadilan.
Namun ketika para buruh terus memupuk rasa keberaniannya, terus melakukan perlawanannya atas ketidakadilan dan mereka menemukan media massa yang berpihak pada nasib mereka, aksi yang massif dan pembangunan opini publik yang kuat ternyata mampu merubah perilaku aparat dan pengusaha.
Aparat dan pengusaha yang terdesak memilih mengurangi tekanan dan bersikap lebih moderat pada buruh-buruh yang protes. Namun ini tidak berlangsung lama, karena perubahan yang terjadi lebih disebabkan oleh tekanan publik, bukan kesadaran internal yang tulus ingin benar-benar memperlakukan buruh secara manusiawi dan meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan mereka.
Apa yang terjadi hari ini sesungguhnya hanyalah perulangan dari apa yang pernah terjadi di masa lalu. Kolaborasi pengusaha bejat dan aparat sudah begitu terlihat. Tekanan publik yang semakin menguat mampu membuat aparat terjepit. Aparatpun mengurangi tekanannya, bernegosiasi dengan situasi.
Tapi apakah aparat berubah? Apakah penguasa berubah? Apakah pengusaha bejat berubah? Ternyata tidak! Anggodo dan aparat yang telah berkolaborasi untuk menegasikan aturan hukum masih tetap bebas berkeliaran. Prita yang mengungkap kejujuran dimuka publik malah diganjar penjara dan denda ratusan juta.
Usaha-usaha membongkar skandal penyelewengan uang Negara dalam kasus Century yang melibatkan penguasa dan pengusaha juga masih terlihat setengah hati.
Sampai hari ini kita tidak menemukan cerita baru melainkan hanya aktor-aktornya yang berbeda. Itu artinya sampai saat ini kita belum bergerak maju. Hal ini terjadi antara lain karena gerakan-gerakan perubahan yang selama ini ada tidak pernah berhasil menuntaskan perannya dengan baik.
Mereka hanya berhasil menciptakan masa transisi yang tidak pasti, dan masa transisi ini selalu dimenangkan oleh orang-orang lama yang mewarisi gen jahat yang akut.
Kita bisa melihat bagaimana reformasi tahun 1966 yang dilakukan mahasiswa ternyata memenangkan Soeharto yang sejatinya adalah bagian dari aparat lama. Begitu juga reformasi tahun 1998 yang berhasil menciptakan masa transisi yang tidak pasti ditangan Amin Rais, Gusdur dan Megawati. Pada akhirnya transisi ini diselesaikan oleh SBY yang sejatinya adalah bagian dari aparat lama.
Tentu setiap orang bisa berubah. Meski SBY sejatinya adalah anak kandung orde baru namun dia membawa amanah reformasi. Pernyataan “Ganyang Mafia” sedianya tidak hanya sekedar retorika untuk menaikkan citra. Kalau SBY tulus dengan agenda “Ganyang Mafia”, benar-benar keluar dari hati bukan sekedar karena tekanan publik maka sesungguhnya semua kuasa sudah ada ditangannya.
Mayoritas partai politik ada dalam barisannya, kepolisian dan kejaksaan ada dalam kuasanya, maka tidak ada hal sulit untuk bisa dilakukan kalau memang SBY benar-benar menginginkan perubahan. karena rakyat pasti akan memberikan dukungan yang besar.
Partai-partai politik dibelakang SBY, terlebih lagi partai-partai Islam yang komit terhadap pembangunan negeri yang bersih dari korupsi sedianya mendorong SBY untuk berani melakukan tindakan yang serius dalam pemberantasan korupsi.
Jika politik tanpa kompromi dalam memberantas korupsi dan mafia dinegeri ini bisa dilakukan SBY dan para pendukungnya tentu rakyat akan sangat diuntungkan, karena mereka akan mudah mendapatkan keadilan di negeri ini. Dan ini akan menjadi babak baru sejarah Indonesia, dimana kolaborasi pengusaha bejat dan aparat tidak lagi menemukan tempat di bumi pertiwi yang kita cintai.
Semoga ini benar-benar bisa terjadi, karena sesungguhnya rakyat sudah lama menanti hadirnya negeri tanpa mafia !
Mukhamad Najib