Beberapa waktu lalu publik Indonesia dikejutkan oleh dua kematian dua orang populer secara berturut-turut, yakni kematian mbah Surip dan WS Rendra. Bahkan kepala negarapun merasa perlu mengeluarkan pernyataan dan memberi komentar khusus atas kematian kedua orang ini.
Proses kelahiran dan kematian sebenarnya hanyalah proses alamiah biasa. Yang membuatnya seolah luar biasa adalah karena yang meninggal kebetulan adalah sosok terkenal. Khusus untuk mbah Surip, publik merasa terkejut karena kematiannya seolah tiba-tiba. Jika hanya memandang dari sisi biologis tentu orang akan mengatakan “mungkin memang sudah waktunya”. Yang membuatnya seolah tiba-tiba adalah karena mbah Surip meninggal justru di saat prestasi seninya tengah berada dipuncaknya. Mbah Surip meninggal justru ketika publik tengah membutuhkannya.
“tiap-tiap yang bernyawa pasti akan mati” begitu Allah swt mengatakan (QS 3:185). Dan Allah tidak pernah bicara kapan Dia mengutus Izrail untuk mencabut nyawa manusia. Buat saya peribadi, kematian kedua orang ini cukup menggetarkan, bukan karena saya ada kaitan dengan kedua orang ini, sama sekali tidak. Tapi karena beberapa hari sebelumnya sahabat saya baru saja mengingatkan soal kematian. “Tidak ada seseorang pun yang mengetahui kapan ajal menjemput, sekarang lebih baik, sebelum kesempatan hidupmu terenggut”, begitu dia mengatakan.
Saat madrasah dulu, di dinding madrasah saya tertulis “bekerjalah kamu seolah kamu hidup seribu tahun lagi” di satu sisi dan tertulis “sholatlah kamu seolah kamu akan mati esok pagi” di sisi yang lain. Meski tidak faham benar apa maksud tulisan tersebut pada waktu itu, namun karena selalu terpampang di dinding saya pun mengingatnya dengan baik sampai sekarang.
Saat ini saya menyadari betapa dua kalimat ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan hidup kita. Perasaan akan hidup seribu tahun lagi memberikan motivasi yang luar biasa bahwa prestasi tidak boleh berhenti hanya karena fisik terlihat sudah tidak muda lagi. Begitulah kira-kira yang telah ditunjukkan oleh Mbah Surip dan WS Rendra. Keduanya menunjukkan pada bangsa ini bahwa semangat hidup yang luar biasa, semangat untuk tetap berkarya tidak harus terkendala oleh usia.
Sebaliknya, perasaan akan mati esok pagi, memberikan kontrol diri bahwa tidak ada yang takterbatas dalam hidup ini. Semua akan berakhir dan semua akan dipertanggungjawabkan. Sehingga ketika kita kenang kematian ini dalam ritual sholat kita, maka perasaan khusyu karena dipenuhi oleh harapan dan pengampunan yang sangat akan datang menyelimuti hati kita. Do’a-do’a akan menjadi lebih bermakna, karena kita tidak hanya mengucapkannya di bibir saja, melainkan merasuk kedalam jiwa.
Sayangnya, saya menemukan banyak orang yang bersikap sebaliknya. Saat bekerja justru yang diingatnya adalah kematian. Sebaliknya banyak orang yang sangat gelisah ketika sholat, karena seakan pekerjaan yang menumpuk harus segera diselesaikan saat itu juga. Yang terjadi akhirnya adalah bekerja kurang semangat, sholat tidak pernah menemukan ketentraman atau kekhusyuan.
Seorang teman pernah mengatakan kepada saya “buat apa sih ngoyo, toh hidup di dunia cuma sementara, sebentar lagi mati, dan gak ada harta yang bisa dibawa mati”. Tentu tidak ada yang salah dalam pernyataan tersebut jika hanya dilihat secara harfiah. Namun jika kita melihatnya dalam konteks amanah kita sebagai khalifah, sebagai manusia yang mendapat mandat untuk mewakili Allah swt dalam mengelola dan memakmurkan bumi dan kehidupan ini, maka pernyataan tersebut menjadi kurang tepat.
Sebagai khalifah kehidupan kita harus bekerja keras karena kita tidak boleh menjadi beban orang lain. Kalau kita telah mampu untuk tidak menjadi beban orang lain, maka kita tetap harus bekerja keras, karena kita harus menafkahi keluarga. Bukan hanya sekedar menafkahi, melainkan juga kita harus menciptakan syurga di rumah kita. Allah swt mengingatkan “jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Tentu kita harus menjaga diri dan keluarga kita dari neraka yang sebenarnya di yaumil akhir kelak, tapi kita juga harus menjaga keluarga kita dari neraka dunia.
Kalau segala kebutuhan keluarga sudah terpenuhi, maka kita juga harus terus bekerja keras, karena kita harus membantu orang lain memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana Rosulullah mengatakan “yang terbaik diantara kalian adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. Kalaupun kita telah mampu menyelesaikan persoalan orang disekeliling kita, kita juga tetap harus bekerja, karena Allah swt memerintahkan kita memakmurkan bumi ini, menjadi solusi bagi persoalan kemanusiaan secara keseluruhan. Dan ketika kita telah mampu menjadi solusi bagi persoalan kemanusiaan secara keseluruhan maka pada saat itulah kita sempurna sebagai khalifah kehidupan.
Jadi jelas, semangat hidup yang perlu kita hadirkan dalam setiap aktifitas kerja kita dan bukan semangat kematian. Bahkan Rosulullah pernah mengatakan “seandainya kiamat datang, dan ditanganmu masih ada segenggam benih, maka tanamlah benih itu”. Dari sudut pandang logika tentu hal tersebut seolah sia-sia, kiamat tiba tapi benih tetap harus ditanam. Namun itulah cara Islam menghargai kerja dan kehidupan, semua harus diperjuangkan sampai titik penghabisan.
Semoga Allah swt senantiasa memberikan semangat dan kekuatan kepada kita semua untuk terus berkarya bagi diri sendiri, bagi keluarga, bagi bangsa, bagi ummat manusia, dan bagi alam semesta, tak peduli seberapa senja usia kita. Amin.
Mukhamad Najib, Mahasiswa program Doktoral Universitas Tokyo Jepang, [email protected]