Beberapa minggu lalu ada berita kehebatan putra-putri Indonesia dipentas dunia. Pertama tentang Shofwan Al-Banna, mahasiswa Indonesia yang memenangkan The 39th St Gallen Symposium di Swiss. Dalam acara ini, ratusan pemimpin muda diseleksi lewat karya tulis bertema krisis global, untuk diambil 3 terbaik. Shofwan terpilih sebagai yang terbaik dengan mengalahkan Jason George dari Harvard University (peringkat 2) dan Aris Trantidis dari London School of Economics (peringkat 3). Berita kedua mengenai Riana Helmi yang berhasil lulus sebagai dokter dalam usia 18 tahun dari UGM, dengan IPK 3,67. Dengan prestasinya yang luar biasa Riana tercatat sebagai pemegang rekor dokter termuda di Indonesia.
Tentu prestasi dunia dari putra-putri Indonesia tak terhitung jumlahnya, baik dibidang akademik, olahraga, seni dan lain sebagainya. Dalam berbagai keterbatasan, ternyata putra-putri Indonesia bisa merealisasikan impian-impiannya. Hal ini seharusnya membuat kita sebagai bangsa lebih percaya diri untuk membangun impian-impian besar, tidak hanya untuk diri kita sendiri tapi juga untuk bangsa, bahkan untuk dunia.
Sayangnya kita sering kali merasa terperangkap oleh kelemahan dan ketidakberdayaan yang sebenarnya belum pasti. Belum pasti karena memang kita belum pernah mencobanya, sebatas mana sebenarnya kekuatan maksimal kita. Banyak orang yang lebih suka men-diskon kemampuan dirinya dengan mengatakan “mustahil-lah” atau “saya realistis”. Sebenarnya inilah syndrome inferior alias minder, yang menahan orang untuk tidak berani berhadapan dengan kekuatan atau tantangan yang nampaknya seperti lebih besar, yang menyebabkan orang berhenti mengeluarkan seluruh potensi yang dimiliki, yang menyebabkan sebuah bangsa takut untuk berfikir menjadi bangsa yang mandiri.
“Allah tidak akan membebani suatu kaum dengan beban yang tak sanggup dipikulnya” begitu Alquran mengatakan. Pertanyaannya siapa yang menentukan sanggup atau tidak sanggup? Diri sendiri? atau lingkungan kita? Dalam sebuah hadits qudsi Allah mengatakan “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku”. Kalau sejak awal kita sudah mengatakan tidak sanggup, maka tidak sangguplah kita. Semua alasan akan segera mudah kita temukan untuk membenarkan ketidaksanggupan kita, begitu juga sebaliknya.
Dalam perang badar, Rosul dan sahabatnya sama sekali tidak siap berperang. Dari sisi jumlah personil, peralatan dan logistik sama sekali tidak seimbang. Tapi Rosul tidak lari, apalagi berfikir untuk koalisi dengan kekuatan musuh yang lebih besar. Rosul juga tidak melihatnya sebagai beban yang pasti tak sanggup dipikul olehnya dan sahabatnya. Rosul justru berusaha melawan keadaan dan keterbatasan dengan kekuatan dan keberanian yang maksimal, dan berserah diri seraya berdoa “Ya Allah, itulah kaum Quraisy yang telah datang dengan sombong dan congkaknya. Aku hanya meminta pertolongan yang telah Engkau janjikan kepada hamba. Ya Allah, binasakanlah mereka!”
Rosul hanya memilih berkoalisi dengan Allah ketika menghadapi kekuatan yang lebih besar tanpa harus men-diskon kemampuan diri dan sahabatnya dengan apologi ketidakbedayaan. Rosul tidak berapologi dengan jumlah pendukung yang sedikit atau ketiadaan peralatan dan logistik. Rosul percaya janji Allah nyata kebenarannya. Manusia bisa dusta, harta bisa binasa dan kuasa bisa tak berdaya. Hanya Allah yang layak sebagai tempat bersandar hamba Nya. Dan perang Badar membuktikan bahwa keyakinan mampu mengalahkan segala ketidakberdayaan dan kekurangan. Rosul dan sahabatnya memperoleh kemenangan yang gemilang.
Kisah keyakinan akan kemenangan dalam perang badar mengingatkan saya pada ahli fisika Indonesia yang luar biasa. Saat bertemu Prof. Yohanes Surya, beliau menjelaskan pada saya konsep MESTAKUNG (semesta mendukung). “jika kita yakin akan mampu, maka seluruh atribut lingkungan disekitar kita akan memberikan dukungan dan akhirnya kita benar-benar akan mampu, inilah yang disebut semesta mendukung” begitu katanya. Beliau menceritakan bahwa beliau dan anak-anak bimbingnya sering membuktikan hal ini dalam olimpiade internasional.
Saya juga teringat James Douglas yang memukul KO juara dunia tinju kelas berat Mike Tyson dalam pertemuan di Tokyo tahun 1990. Douglas yang sama sekali tidak diunggulkan mampu menjatuhkan Tyson yang saat itu memiliki rekor bertanding 37-0 dengan 33 KO. Douglas yang sempat dipukul jatuh pada ronde 8 mampu bangkit kembali dan menjatuhkan Tyson di ronde 10. Dalam sebuah wawancara Douglas mengatakan “saya selalu mengatakan kepada mereka, tidak ada yang tidak bisa kamu lakukan. Jika kamu ingin mencoba, cobalah, lakukanlah karena kamu tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi jika tidak mencobanya”. "Saya adalah contoh yang paling jelas dari prinsip ini. Jangan pernah berkata tidak mungkin," kata Douglas.
Hari ini kita membutuhkan kumpulan manusia yang penuh harapan, keyakinan dan keberanian untuk memiliki dan berusaha mewujudkan impian-impian besar. Kumpulan manusia seperti inilah yang akan mampu membawa bangsa ini menjadi bangsa besar, bangsa yang tidak hanya mampu menyelesaikan persoalan dirinya, tapi juga mampu berkontribusi bagi perbaikan dunia. Bangsa yang tidak hanya mampu menjadi pengikut dari agenda negara-negara lain di dunia, melainkan bangsa yang memiliki agenda yang bisa dilaksanakan oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Semoga bangsa ini tidak pernah kekurangan stok manusia-manusia yang seperti ini. Dan semoga kita adalah bagian dari manusia yang semacam ini.