Salah satu alasan mengapa Indonesia didirikan adalah untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD’45. Betapa tidak, pada masa kolonial dulu, para sejarawan ekonomi mencatat bahwa pada tahun 1928, 12% pendapatan nasional Belanda diperoleh dari Indonesia dan 1 dari 5 penduduk Belanda sangat bergantung secara financial dari perdagangan Indonesia. Sementara pada saat yang sama, rakyat Indonesia sebagai pemilik syah atas kekayaan negeri ini hanya bisa makan, yang dalam istilah Soekarno hanya “sebonggol sehari”.
Mengapa penjajahan bisa berlangsung sangat lama dan kemelaratan terlestarikan dengan begitu luar biasa? Seorang sejarawan mengatakan “penjajahan terjadi karena ada bangsa yang mau dijajah”. Rasionalitas kita mungkin akan berkata “tidak mungkin ada bangsa didunia ini yang mau dijajah”. Tentu pernyataan ini benar bahwa tidak ada bangsa yang mau terlantar, sengsara dan lestari dalam kemelaratan dan penderitaan.
Tetapi jangan lupa, disetiap bangsa, disetiap kelompok seringkali ada pengkhianat-pengkhianat yang mau berkerjasama dengan para penjajah untuk menyengserakan bangsa sendiri. Alasannya sederhana,”toh yang sengsara orang lain, sementara saya dan keluarga bisa hidup terhormat dan berkelimpahan”. Orang-orang seperti inilah yang pada dasarnya telah menjual bangsa sendiri untuk kepentingan dan kenikmatan pribadi. Orang-orang seperti inilah yang sesungguhnya telah membantu melestarikan penjajahan. Orang-orang seperti ini biasanya memiliki kuasa atau dibuat supaya berkuasa oleh para penjajah, sehingga para penjajah tidak perlu repot-repot berhadapan dengan rakyat jajahan karena sudah ada anak negeri yang menjalankan tugas tersebut.
Pada jaman penjajahan dulu, para penjajah datang dan bekerjasama dengan raja-raja, tuan-tuan tanah, dan orang-orang kaya serta para jawara di masyarakat. Mereka berkolaborasi dalam merampas tanah-tanah rakyat, memaksa rakyat bekerja untuk tanah-tanah mereka, dan merampas hasil-hasilnya untuk kesejahteraan mereka. Kerakusan dan sikap hanya mementingkan kenikmatan sendiri membuat anak negeri rela menyakiti bangsanya sendiri.
Apakah kondisi ini sudah berubah setelah kita mendeklarasikan kemerdekaan? Ternyata tidak. Profesor Veth seorang peneliti Indonesia diawal abad 20 pernah mengatakan Indonesia sejak awalnya selalu menjadi bangsa yang terjajah. Dalam tulisannya ia menyitir sebuah syair seperti di bawah ini:
“dipantainya tanah jawa rakyat berdesak-desakan
datang selalu tuan-tuannya setiap masa
mereka beruntun-runtun bagai runtunan awan
tapi anak pribumi sendiri tak pernah kuasa”
Ya! Itulah yang terjadi sampai hari ini. Para penjajah boleh pergi secara fisik, tapi penjajahan tidak pernah pergi dari bumi pertiwi. Hari ini kita justru dijajah oleh bangsa sendiri. Mereka menentukan aturan, membuat keputusan yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak namun demi kepentingan penguasa, orang-orang kaya atau para “jawara”. Di Jaman Orde Baru, Suharto memproduksi aturan yang sengaja ditujukan untuk membantu orang-orang kaya. Ada aturan tentang Mobil Nasional yang menguntungkan anaknya, ada aturan subsidi pajak impor gandum sebesar Rp 2,1 Trilyun untuk pengusaha China penguasa Bogasari, dan masih banyak lagi.
Di era reformasi, kita juga menyaksikan pemerintah membuat aturan-aturan yang memudahkan para koruptor merampas uang negara melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Begitu juga sampai hari ini, modus kolaborasi orang kaya dan pemerintah untuk membuat aturan yang berfihak pada orang-orang kaya masih saja dengan mudah terlaksana. Bank Century adalah salah satu contoh yang sangat nyata, meski pemerintah berusaha setengah mati untuk memanipulasi dan menutup-nutupi.
Saat orang-orang kaya, para “jawara” dan penguasa dengan mudah membuat aturan-aturan yang hanya menguntungkan mereka, rakyat malah terus didera oleh berbagai derita dan tragedi atas nama hukum. Rakyat miskin sangat mudah diadili sementara koruptor besar sangat disayangi. Uang negara untuk subsidi rakyat kecil terus dihabisi, tapi pengusaha besar yang lari keluar negeri membawa uang rakyat di Century malah disubsidi.
Korupsi pada hakikatnya adalah penjajahan terhadap bangsa sendiri. Karena korupsi yang merajalela dan dilindungi penguasa atas nama aturan yang mereka buat sendiri telah menyebabkan rakyat kehilangan kesempatan untuk menikmati kekayaan negeri ini. Rakyat kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kesejahteraannya dan itu artinya negara telah kehilangan relevansinya karena salah satu alasan dari berdirinya negara ini adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, kesejahteraan seluruh rakyatnya.
Salah satu tujuan utama dari penjajahan adalah proses pemiskinan bangsa jajahan dan pengayaan bangsa penjajah dengan cara menjarah semua kekayaan yang ada di negeri jajahan, baik secara kasar dengan senjata, maupun secara “kooperatif” dengan membuat aturan-aturan yang merugikan rakyat. Korupsi sesungguhnya sangat identik dengan penjajahan, karena merupakan proses pemiskinan rakyat yang dilakukan melalui penjarahan terhadap kekayaan rakyat untuk memperkaya para koruptor. Oleh karena itu selama pemimpin kita, pengusaha-pengusaha kita dan para aparat kita bermental korup, maka penjajahan terhadap bangsa sendiri akan terus terjadi.
Inilah negeri dimana kita harus semakin meningkatkan energi dan keberanian untuk terus melakukan perlawanan, karena ketidakadilan, penindasan dan penjajahan sepertinya masih akan terus kita temukan. Kita harus selalu melakukan pembaruan tekad untuk lebih berkomitmen lagi dalam memperjuangkan kebebasan negeri dari korupsi, berkomitmen untuk mengusir penguasa dan pengusaha yang ingin menjarah dan menjajah negeri untuk kepentingan sendiri, agar kesejahteraan umum benar-benar bisa tercipta di negeri ini.
Mukhamad Najib, Mahasiswa S3 Universitas Tokyo